Oleh : Fauzan Azima*
Hampir sembilan puluh persen, hidup saya dalam kesendirian. Katanya orang yang dalam hidupnya lebih banyak menyepi, cara berfikirnya cenderung intuitif atau lebih banyak dipengaruhi gerak bathin. Saya awam cerita tentang itu, yang jelas saya merasa nyaman dan menikmati “kesepian” itu.
Ketika sedang berada sendiri, saya merasa sangat berdaulat. Tidak ada yang menjajah hati dan fikiran ini, sampai datang godaan yang mengusik; waktunya harus membayar uang sekolah anak-anak, kredit tagihan bank yang sudah jatuh tempo, dan segudang pekerjaan yang bersifat duniawi yang harus diselesaikan.
Padahal betapa dahsyatnya hasil karya yang lahir dari kesendirian. Syair, lagu, lukisan, cerpen, novel, ilmu tasawuf, sain dan teknologi, merubah dari kegelapan kepada nur, membangun peradaban dan lain sebagaimana.
Kesendiriannya adalah membangun “tower” berupa do’a, ratib, semedi, tafakur, tahajud, ngerowot, ngalong, bertapa, suluk, merapal mantra dan daim dalam upaya menangkap sinyal-sinyal “gelombang elektro magnetik” untuk kebaikan dirinya yang seterusnya didistribusikan kepada masyarakat luas untuk hidup dan kehidupan di dunia dan akhirat.
Saya tidak ingin hidup yang singkat ini terjebak ke dalam perbuatan sia-sia. Hidup ini harus berguna dan bermanfaat bagi tubuh yang terhormat ini. Tidur dan jaga pun harus berkualitas sehingga sehat jasmani dan rohani. Bahkan ketika seseorang mengajak makan pun harus saya pastikan; apakah makanan yang saya makan itu, sarinya baik untuk darah daging saya.
“Zan, mari kita makan” ajak kakak saya untuk makan siang.
“Saya masih kenyang, Kak” saya tolak kebaikan kakak itu dengan sopan.
“Ayolah! Sengaja kakak masak lauk rendang sapi, nih” lagi ajaknya setengah memaksa.
“Kalau itu boleh, kak, tadi saya kira lauknya iyek acin (ikan asin)” saya pun luluh dengan ajakannya.
Soal kesendirian, bukan saja karena suasana pandemi Covid-19, saya sangat berhitung untung ruginya keluar rumah. Apalagi kulit saya sangat sensitif terhadap sinar matahari. Saya tidak mau merusak struktur tubuh saya untuk kegiatan yang tidak bermanfaat. Begitulah cara saya mensyukuri nikmat titipan roh, arwah, nyawa dan semangat ke dalam tubuh ini.
Hanya saja kalau sendiri itu penyakitnya; susah tidur, makan tidak teratur, kebanyakan baring di kasur, hayalan “ngelantur”, tidak sadar tua umur dan sebentar lagi dikubur. Na’udzubillah min dzalik.
Sadarlah! Kita ini makhluk sosial yang tidak bisa hidup tanpa kehadiran orang lain. Hidup bersama kita bisa berbagi pengalaman, menceritakan kekecewaan, mempengaruhi pencapaian satu tujuan, mewarnai masyarakat banyak dengan sifat-sifat terpuji, dan lain-lain yang dibutuhkan dalam kehidupan bermasyarakat.
Sendiri, bersama, sepi, ramai, sedih, gembira, sengsara dan bahagia, ternyata itu hanya soal fikiran. Beramai-ramai pun kita kalau berfikir sedang sendiri, maka rasanya seperti sendiri. Sebaliknya sendiripun kita, kalau berfikir sedang beramai-ramai, maka rasanya sedang beramai-ramai.
Satu hal yang penting untuk pengetahuan bersama; jangan pernah bermusuh dengan orang yang bahagia dengan kesendiriannya. Percayalah! Dia lebih nekad dan fokus merencanakan sesuatu kepada kita. Kesendiriannya menyimpan rahasia tentang dahsyatnya serangan balik kepada kita.
(Mendale, Ahad, 15 November 2020)
Ikuti channel kami, jangan lupa subscribe :