Basmi Hoaks: Pemahaman Teoritis Penyebaran Hoaks di Media Sosial

oleh

Oleh : Hery Mulyadi*

Hoaks tak henti-hentinya menjadi topik yang perlu diperbincangkan. Betapa tidak, dengan adanya persebaran berita palsu, masyarakat luas menjadi kesulitan untuk mengetahui manakah kebenaran yang ada berdasarkan data aktual dan manakah berita yang sebenarnya menjerumuskan pada kesalahan. Terlebih pada saat pandemi Covid-19 seperti sekarang ini. Sedikit saja salah dalam mempercayai berita terkait Covid-19, maka bisa saja produktivitas menjadi taruhannya.

Pemerintah harusnya lebih serius dalam menangani penyebaran berita hoaks, terutama yang tersebar di media sosial karena sering menjadi “sarang” bagi penyebar kebohongan. Hanya kampanye kecil melalui media sosial yang dikelola oleh pemerintah saja belum cukup.

Kebanyakan pengguna media sosial sekarang didominasi oleh pengguna dalam demografi umur 18-24 tahun yang jauh lebih mengenal selebriti daripada akun-akun positif, maupun akun yang dikelola oleh pemerintah (data dari jumlah engagement di akun Instagram dan Twitter pemerintah versus selebriti di Instagram).

Media sosial populer seperti Instagram, Facebook, dan Twitter – dimana media sosial tersebut adalah beberapa media sosial yang paling banyak digunakan oleh masyarakat Indonesia memiliki sistem algoritma yang memudahkan penyebaran berita hoaks semakin merajalela.

Hal ini karena algoritma di media sosial memiliki kecenderungan untuk memunculkan berita di kolom beranda maupun kolom pencarian seseorang berdasarkan besarnya interaksi pada suatu unggahan. Dalam arti lain, unggahan yang memiliki jumlah like, comment, serta share yang tinggi akan memiliki kemungkinan lebih besar untuk muncul di kolom pencarian maupun di kolom beranda media sosial.

Sistem algoritma tersebut samasekali tak peduli dengan isi dan fakta yang terkandung dalam suatu konten. Selain itu, kecenderungan manusia untuk mempercayai informasi baru dan sederhana semakin membuka celah bagi para penyebar hoaks dengan membuat berita yang singkat dan terkesan mudah untuk dipahami.

Postingan sederhana seperti hasil screenshot bagian judul yang di bagian sudut dari judulnya dibubuhi nama perusahaan media terpercaya, lebih mudah dipahami ketimbang berita yang di dalamnya terkandung infografik dari berbagai hasil penelitian secara mendalam yang dilengkapi dengan deskripsi terperinci.

Padahal untuk postingan yang sederhana tanpa hasil penelitian lebih dalam, belum tentu berita tersebut adalah berita yang telah teruji keabsahannya. Bisa saja penyebar postingan mengedit fotonya seolah-olah hasil unggahan screenshot berita tersebut dilansir oleh media terpercaya, padahal sebenarnya tidak.

Adapula jenis hoaks yang tak kalah berbahaya serta memberi dampak besar dalam penyebaran di media sosial. Yaitu hoaks dengan membuat suatu berita yang sebenarnya “biasa-biasa saja”, kemudian didramatisir dengan muatan tambahan palsu, menjadi seolah berita tersebut merupakan hal yang benar-benar perlu mendapatkan perhatian lebih.

Judul berita seperti “Seorang Pemuda Kelelahan Akibat Berenang dan Sesak Nafas” tentunya akan kalah menarik ketimbang “Seorang Pemuda di Kolam Renang X yang Sesak Nafas Disinyalir Menderita Covid-19”. Jika ditinjau dari sudut pandang audiens, tentunya manusia akan memilih berita yang kedua. Dengan adanya unsur membesar-besarkan, akan ada lebih banyak audiens lain yang mencoba untuk menjadi pengonsumsi konten hoaks tersebut.

Tentunya ini akan membuka kemungkinan untuk semakin meningkatnya masyarakat untuk lansung percaya dan memberi kesimpulan secara cepat.

Lebih dari itu, dalam segi sains evolusi manusia. Sebagai bentuk dari pertahanan diri, manusia memang memiliki naluri untuk mendramatisir keadaan. Naluri mendramatisir diperlukan untuk mempertahankan nyawa. Dalam sejarah, kita dahulu hidup dalam kelompok-kelompok kecil pemburu pengumpul. Otak kita sering secara kilat melompat ke kesimpulan-kesimpulan tanpa pikiran panjang, naluri itu sangat berguna apabila ada gerakan aneh di semak-semak kita bisa langsung tanggap dan memberi kesimpulan cepat bahwa yang ada di semak-semak merupakan hewan buas.

Naluri mendramatisir tersebut tentunya menyelamatkan sangat banyak umat manusia pada zaman dahulu. Sampai saat ini, naluri tersebut masih tertanam dalam diri manusia bahwa saat mendapatkan informasi baru yang cenderung dramatis, manusia bisa langsung dengan cepat melompat ke kesimpulan yang mereka buat dalam pikirannya sendiri berdasarkan insting alamiah yang ada.

Tentunya naluri tersebut tidak selalu berguna jika kita terapkan dalam kehidupan modern seperti saat ini. Dengan banyaknya persebaran informasi, tidak sepatutnya kita langsung mengambil kesimpulan berdasarkan data yang sangat sedikit.

Jadi, untuk mengetahui hoaks adalah dengan mengecek kebenarannya secara lebih mendalam. Hal tersebut dilakukan dengan lebih berhati-hati terhadap berita dengan judul yang sensasional dan provokatif. Cermati alamat situs dan/atau akun media sosial yang dikunjungi dengan memastikan bahwa situs dan/atau akun media sosial tersebut terpercaya (jika situs, maka akan lebih baik apabila memiliki domain resmi). Periksa juga fakta secara lebih lanjut (darimana berita berasal? Siapa sumbernya? Apakah dari institusi resmi? Seberapa besar massanya?) Selalu pastikan bahwa berita serupa yang disampaikan bukan hanya disebarkan dari satu sumber, hal ini dapat dilakukan dengan membanding-bandingkannya dari hasil berita yang dirilis oleh perusahaan media lainnya.

Solusi pasif yang baik dalam mengurangi jumlah hoaks adalah dengan langsung mengabaikan berita yang memiliki kecenderungan sebagai hoaks. Dengan mengabaikan, maka kita telah menghemat energi untuk tidak terus “mengompori” unggahan yang dapat meningkat popularitasnya apabila semakin “panas”.

Jangan pernah terpancing dengan perdebatan yang terdapat di kolom komentarnya walaupun terlihat sangat memicu perdebatan. Biarkan saja, karena semakin banyak unggahan tersebut diberi interaksi, maka secara tidak langsung akan meningkatkan “bahan bakar” penyebar hoaks.

Sistemnya, jika tidak ada yang memberi like, comment, bahkan share baik itu dalam bentuk respon negatif ataupun positif, maka artinya telah membiarkan berita tersebut “tenggelam” dengan berita lainnya. Tentunya, hanya dengan solusi pasif saja belum cukup untuk memutus rantai penyebaran hoaks.

Solusi aktif terbaik jika mendeteksi hoaks yaitu dengan langsung melaporkannya ke pihak yang berwajib dan berwenang untuk menindaklanjuti konten tersebut. Untuk media sosial, gunakan fitur Report Status (atau sesuatu yang serupa dengannya). Jika mendapatinya dari situs tertentu maka dapat dengan menggunakan fitur feedback yang tersedia pada semua aplikasi penjelajah web.

Semua laporan itu dilakukan tanpa meningkatkan sedikitpun engagement pada hoaks yang ada. Pastikan melaporkan berita tersebut tanpa perlu meninggalkan komentar yang semakin menyulut “api” dalam unggahan tersebut.

Semakin teredukasinya masyarakat dalam mengetahui cara penyebaran hoaks dan tindakan yang harus dilakukan, maka semakin besar pula kemungkinan masalah hoaks di Indonesia dapat diminimalisir. Masyarakat harusnya semakin teredukasi dalam membedakan berita asli dan hoaks tanpa dengan cepat “terpelatuk” emosi saat merasakan suatu kejanggalan. Dengan edukasi mengenai hoaks, maka akan terkurangi pula kecemasan publik, penipuan politik, pengalihan isu penting, dan banyak kerugian negara lainnya baik secara langsung maupun tidak langsung.

*Penulis adalah mahasiswa jurusan ilmu komunikasi Universitas Malikussaleh

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.