Oleh : Johansyah*
Saya menganal dan mendalami istilah post truth menjelang pilpres 2019. Saat itu saya menyimak sebuah video singkat yang menerangkan apa dan bagaimana post truth. Intinya bagaimana seseorang atau kelompok mendesain opini publik dengan post truth.
Dia pun menceritakan bagaimana Donald Trump dapat memenangkan pilpres Amerika Serikat yang diduga kuat karena mampu memainkan post truth melalui media.
Post truth berarti pasca-kebenaran, di mana kebenaran publik dikaburkan dari fakta-fakta objektif. Dengan perkembangan media sosial yang begitu pesat saat ini, penyebaran berita serampangan yang memengaruhi opini masyarakat begitu mudah.
Saat android sudah berada pada semua, dan setiap detik informasi masuk melalui media tersebut, muncullah kebingungan dalam menentukan mana yang benar dan mana yang salah. Minsalnya kita mengklaim bahwa sekelompok orang telah melakukan upaya manipulasi data terkait permasalahan tertentu.
Lalu kelompok tersebut melakukan pembantahan. Klaim dan bantahan ini terus berlangsung episode demi episode yang pada akhirnya memunculkan pertanyaan di publik; mana yang benar?
Bisa dikata di era digital ini, post truth menjadi trend masyarakat dunia. Meski dilanda kebingungan dan ketikpastian, tapi android sebagai rumah media sosial sepertinya kita nikmati dan pada akhirnya kita sepakat menyatakan; ‘sekarang ini tidak jelas, mana yang benar, mana yang salah’.
Saat pernyataan ini ramai-ramai kita katakan dalam menyikapi berbagai informasi yang beredar di publik, itulah post truth, di mana kebenaran di ranah publik menjadi kabur.
Ini adalah konsekuensi logis dan kelihatannya menjadi salah satu ciri utama dan trend di era revolusi industri 4.0. Ada dampak positif dan negatifnya.
Dampak positifnya, kemudahan dan kecepatan dalam menyebarkan informasi karena tersebar melalui jaringan internet. Kini tidak ada lagi batas antar satu negara dengan negara lain.
Dari aspek ini kita berada dalam satu komunitas dan perkumpulan, yakni masyarakat dunia. eksistensi antara satu negara dengan negara lainnya hanya dibatasi oleh wilayah teritorial yang sudah disepakati, terkadang itu juga hanya simbolis.
Tidak bisa dipungkiri, dampak negatif dari penyebaran informasi yang begitu cepat karena terintegrasi melalui jaringan internet, masyarakat terjebak pada aneka dan keberagaman informasi yang pada akhirnya memunculkan kebingungan, dan mereka menentukan pilihan kebenaran kepada sering dimunculkan media, meskipun kebenaran tersebut mungkin mengandung unsur kebohongan.
Suhu kaburnya kebenaran mungkin juga kita rasakan selama masa pandemi covid saat ini. Beberapa informasi masuk ke android kita, baik di whatsapp, facebook, instagram, twitter, dan lain-lainnya yang menyatakan bahwa covid merupakan rekayasa medis untuk tujuan bisnis tertentu.
Bahkan beberapa hari lalu sebuah video masuk ke whatsapp saya. Dalam video tersebut beberapa orang berbicara tentang covid. Mereka mengaku dan menyatakan diri sebagai kelompok asosiasi dokter seluruh dunia.
Mereka dengan tegas mengatakan bahwa covid tidak sengeri yang diberitakan selama ini di media sehingga membuat takut masyarakat dunia. Mereka menyerukan tidak usah takut terhadap informasi yang beredar saat ini. Tetap tenang dan covid sama sekali tidak berbahaya.
Di saat yang sama, kita selalu disuguhi dengan informasi sebaliknya. Bahwa covid itu berbahaya dan tidak boleh main-main dengan virus ini. Kita pun sering menyaksikan beberapa kasus orang yang meninggal karena covid.
Mereka dimakamkan sesuai protokol covid; menggunakan pakaian seperti astronot, tidak boleh dihadiri keluarga, dan mayat dibungkus dengan bungkusan khusus, serta disemprot. Pokoknya dalam benak orang yang melihat covid itu ngeri.
Pada kesempatan lain, Najwa Shihab dalam sebuah video singkatnya menjelaskan dengan mengutip pendapat salah seorang dokter, bahwa orang yang sudah terkena virus menular dan meninggal dunia, maka virusnya akan mati ketika inangnya mati sehingga tidak mungkin menular lagi. Maka apa yang kita katakan? ‘mana yang benar di antara informasi ini?’. Inilah post truth.
Di era ini, post truth bahkan bukan saja dimanfaat untuk kepentingan politik, tapi juga dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan, salah satunya adalah bisnis. Jika anda memiliki sebuah produk dan bagaimana caranya produk tersebut bisa dengan mudah dikenal dan dipercaya masyarakat di seluruh wilayah nusantara, salah satu caranya adalah dengan membayar satu demi satu orang dari masing-masing provinsi yang ada di Indonesia untuk mengatakan bahwa produk anda itu bagus.
Nanti di sebuah video singkat mereka akan komen bahwa produk ini sudah dipakai dan terbukti bagus. Begitu video ini beredar ke publik dengan settingan iklan yang mewah, megah, dan terdesain dengan rapi, maka orang-orang sedikit demi sedikit akan mempercayainya meskipun apa yang dikatakan dalam iklan itu belum terbukti sama sekali.
Jadi, pertimbangannya bukan soal kebenaran informasi yang disampaikan, melaikan bagaimana memengaruhi orang lain agar mereka percaya dan membeli produk kita.
Kebenaran hakiki terancam
Keberanaran yang sebenarnya atau kebenaran hakiki dalam kondisi ini terancam karena kita sudah berada di lorong jaman kekaburan dan ketidakjelasan. Di mana orang-orang secara umum terpengaruh dengan informasi media yang mendominasi, dan pada saat yang sama malas mencari kebenaran informasi yang sesungguhnya.
Bagaimana menghadapi situasi ini? Apakah memang kita harus turut melebur ke dalamnya? Ataukah kita harus melakukan upaya untuk melawan-minimal mengimbangi kalau tidak bisa mengalahkannya? Konsep yang ditawarkan al-Qur’an sebenarnya sangat sederhana tapi itulah yang sejatinya kita lakukan, yakni tabayyun (menecari kejelasan informasi) dalam bentuk apapun.
Ketika informasi itu kita baca dan dengar, jangan langsung mempercayainya, tapi lakukan penelusuran semaksimal mungkin sehingga kita menemukan sebuah kecenderungan bahwa informasi yang diterima benar atau salah.
Dalam hal ini salah satu metode yang dapat digunakan adalah metode sanad, di mana secara berantai kita harus menelusuri karakter informan, mulai dari informan awal hingga sampai ke kita.
Dalam konteks negara sebenarnya post truth dapat dijinakkan oleh pada penguasa maupun tokoh agama. Ketika mereka mengatakan informasi itu benar atau salah, masyarakat akan mengikutinya. Akan menjadi masalah ketika elektabilitas penguasa atau para tokoh itu rendah.
Di era post truth, kondisi seperti ini merupakan musibah terbesar bagi sebuah negara. Nanti yang terjadi adalah benturan antara penguasa dan rakyatnya, saling curiga dan saling menuding. Mungkin juga inilah jawaban al-Qur’an terhadap persoalan post truth, yakni role model (keteladanan) ketika ada keteladanan yang kuat dari penguasa dan tokoh agama dalam sebuah negara, post truth dapat dijinakkan sehingga membuat publik tenang.
Wallahu a’lam bishawab!
*Pegawai Dinas Syari’at Islam dan Pendidikan Dayah Kabupaten Aceh Tengah dan Ketua STIT Al-Washliyah Aceh Tengah
Ikuti channel kami, jangan lupa subscribe :





