Tanpa Skill : Kentang Sebiji 1 Kg Hanya Sebatas Untuk Masam Jing

oleh

Oleh : Drs. Jamhuri Ungel, MA*

Pada hari kamis (29 Oktober 2020) adik sepupu (mamaknya adik bapak) saya menghubungi saya melalui telpon genggan, dia menyapa saya “Bang kalau abang pulang kampung singgah ke rumah, di rumah ada kentang”, sembari muncul rasa haru dalam hati berucap “alhamdulillah” adik-adik saya sedang panen kentang. Kampung dimana mereka tinggal memang menjadikan tanaman kentang sebagai tanaman rutin setiap selesai memotong padi.

Jadi setelah panen padi mereka satu kampong menanam kentang sebagai tanaman palawija. Sampai sekarang kampong mereka (Delung Tue) dikenal dengan kampong penghasil kentang. Kentang hasil tanaman mereka cukup bagus, beratnya satu buah bisa mencapai 1 sampai 1,1 Kg.

Kentang yang dikirim dari kampun tersebut tidak diberi tahu untuk apa kegunaannya dan tidak juga diberi tahu untuk siapa saja dibagi, yang jelas dari jumlah yang dikirim kalau hanya untuk sayur itu terlalu banyak dan kalau tidak habis gunakan lalu busuk dan dibuang dalam pandangan agama itu mubazir.

Terbayang dalam benak saya sebagai orang yang paham agama, apakah saya mempunyai kewajiban dalam bersedekah terhadap harta orang yang disedekahkan kepada saya, bukankah seseorang dianjurkan bersedekah apabila ia memiliki harta dan harta itu betul-betul (sah) miliknya dan tidak ada kitannya dengan harta orang lain.

Atau saya adalah perantara untuk menyedekahkan harta harta adik saya, yang jelas dia tidak berniat bersedekah kepada orang lain, bahkan dia memberikan kentang kepada saya adalah sebagai sedekah di samping juga sebagai silaturrahmi keluarga.

Sebelum kiriman sayur kentang ini, telah banyak keluarga saya yang juga mengirim sayuran, ada yang mengirim daun rukut (salah satu tumbuhan yang biasanya tumbuh di tempat-tempat penanaman palawija) rasanya pahit dan bagus untuk obat diabetes dan lain-lain. Sayur ini jelas penggunaannya yaitu untu obat karena berkhasiat mengobati penyakit yang ada sama saya.

Pada moment yang lain yaitu pada saat bomingnya batu giok, adik saya pernah mengirim saya batu giok dalam ukuran satu atau dua buah mata cincin, kegunaannya pasti untuk cincin. Tapi juga pada saat itu saya berpikir bila semua orang memiliki batu cincin lalu selanjutnya untuk apa lagi digunakan batu giok.

Pikiran saya ternyata benar masa boming batu cincin habis dan kini batu itu seolah tidak ada nilai sedangkan batu yang saya terima dari kiriman sampai sekarang belum terolah menjadi mata cincin.

Selama setengah hari saya duduk di depan laptop memikirkan apa yang mau saya tulis tentang kentang yang dikirim oleh adik saya, karena ada berita terdengan kalau apa yang ditanam oleh petani tidak laku atau tidak ada yang beli, baik kopi yang merupakan kualita ekspor, tomat yang merupakan tanaman unggulan masyarakat, kul, cabe dan lain-lain semua tidak ada yang beli, dan kalaupun ada yang beli harganya murah tidak cukup memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat.

Akhirnya ketika sedang duduk datang seorang kawan yang suka berdiskusi dan hampir jarang tidak menemukan solusi. Beliau adalah Syukri Muhammad Syukri (seorang birokrat dan akademisi).

Dengan pertanyaan beliau mengawali, rencana (pak. Jamhuri) untuk apa kentang tersebut ? saya jawab, ini yang sedang saya pikir di depan laptop dari pagi, tapi setiap menulis satu alenia (gagal) dan saya lakukan berulang-ulang.

Karena yang saya bayangkan bahwa, kentang berada di tangan petani bisa mencapai berat 1 sampai 1,5 kg, bagaimana hebatnya petani dalam menanam, memupuk, memberi obat dan lain-lain sehingga berhasil maksimal, tetapi ketika dikirim (sampai) kepada seorang ilmuan yang juga pedagang, kepada ilmuan yang birokrasi dan kepasa orang-orang lain akhirnya hanya untuk sayur “macam jing” atau sebagai teman dari makanan lain.

Padahal kentang juga bisa menjadi makanan pokok yang menjadikan tanaman atau makanan lain sebagai teman. Inilah fenomena masyarakat bertani di negeri agraris, kehidupan hanya dibatasi pada apa yang dihasilkan dari hasil usaha sendiri.

Mereka bangga dengan tanaman yang mereka tanam, dirawat dengan sekuat tenaga, dikeluarkan modal untuk pupuk, obat dan kebutuhan lain walaupun harus mengutang kepada toke bahkan rentenir tetapi mereka bersedih ketika mendapatkan hasil, karena harga yang mereka dapat ketika menjuan sangat murah bahkan terkadang tidak ada yang membeli.

Mereka tidak tau solusi karena kemampuan pikir mereka hanya pada menanam dan dapat hasil, yang lucu lagi ketika diserahkan hasilnya pada pemerintah, mereka hanya bisa menjawab “masalah harga kita serahkan kepada Tuhan”

Akhirnya semua orang mempunyai pola yang sama Melihat kentang 1 atau 1,5 kg satu buah yang terbayang hanya sayur “Macam Jing”.

*Pemerhati sosial budaya


Ikuti channel kami, jangan lupa subscribe :

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.