Rinjani Aku Datang Padamu

oleh

Oleh : Fauzan Azima*

“Ayah perlu mencari ibu baru,” kata seorang anak kecil kepada ayahnya yang sudah lama ditinggal ibunya.

“Berani mencintai juga harus bisa rela kehilangan belahan jiwanya,” jawab ayah dengan bijak.

Keputusan sang ayah untuk tetap menyendiri, berdasarkan memori jalan panjang masa lalu, ketika saat muda dalam memperjuangkan gadisnya sangat mengharubirukan dalam pendakian puncak Gunung Rinjani, Lombok.

“Dia memang berotot dan kuat tetapi engkau lebih pinter dan aku lebih memilih orang yang tidak biasa-biasa saja,” kata gadisnya yang juga sama-sama pendaki yang kemudian memutuskan menerimanya sebagai imamnya.

Bersimpuh di puncak Gunung Rinjani menjadi cita-cita ayah dan ibu si anak kecil. Bagi kedua orang tuanya Rinjani adalah berasal dari bahasa Aceh yakni rinyen atau tangga untuk mencari kesejatian diri yang semakin tergilas roda zaman.

Penamaan Gunung Rinjani sangat penting bagi masyarakat Lombok yang berkaitan dengan kisah-kisah Dewi Anjani serta asal-usul manusia Lombok serta asal-usul atau cikal bakal kerajaan Selaparang.

Gunung Rinjani juga bercerita tentang kisah-kisah Dewi Anjani yang dijadikan sebagai prilaku kearifan lokal masyarakat Lombok Utara yang menyimpulkan kasih sayang sesama makhluk Allah adalah kesimpulan “Kitab Insan Kamil” sebagai mana Gunung Rinjani yang besar dan memiliki puncak yang tinggi.

Perlambang tinggi dan besar penting dalam representasi diri. Gunung Sinai yang besar dan tinggi di Mesir dipercaya sebagai tempat di mana Nabi Musa AS berkesempatan untuk bertemu dengan Allah SWT.

Nabi yang mendapat gelar Kalimullah; yakni seseorang yang berbicara dengan Allah, juga dikaruniai sejumlah keistimewaan, di antaranya adalah menerima Kitab Taurat, tongkat yang bisa berubah menjadi ular, tangan yang dapat bercahaya.

Puncak Rinjani mengajarkan kedua orang tua anak kecil itu, bahwa Indonesia diikat dalam bahasa Sasak; di Sabang ada Balohan (Balo atau kakek) dan di Merauke ada Papua (Papu atau cucu).

Kata dalam Bahasa Sasak banyak sama dengan bahasa ibu dari ayahnya. Seperti salam bahasa Sasak “tiduk sekelem” atau tidur semalam dalam bahasa Gayo.

Gunung Api di Lombok itu juga jawaban atas gulai kangkung yang menyebabkan kantuk bagi para “penyantapnya”. Ternyata sayur kangkung yang dulunya tumbuh di puncak Rinjani yang kemudian dibudidayakan di lembah dataran rendah, tetapi tidak menghilangkan sensasi kantuknya sebagai mana diri ditiup angin sepoi-sepoi.

Puncak Rinjani menjadi guru bahwa tingkat pengetahuan religius yang sama antara ayah dan ibu yang membuat perkawinan menjadi langgeng. Kematian ayah tidak membuat ibu tergoda untuk kawin lagi. Sebaliknya kematian ibu juga tidak membuat ayah mencari peran pengganti istrinya.

(Puncak Rinjani, Ahad, 27 September 2020)


Ikuti channel kami, jangan lupa subscribe :

Comments

comments