Oleh : Zarkasyi Yusuf*
Abu Musa Al-Asy’ari pernah bertanya kepada Khalifah Umar bin Khattab, mengapa surat yang dikirim kepadanya tanpa tahun, hanya tanggal dan bulan saja. Kebingungan mencari jawabnya, Khalifah Umar mengumpulkan sahabat untuk dimintai pendapat tentang kalender Islam, akhirnya pendapat Ali bin Abi Thalib yang diterima.
Usul Ali bin Abi Thalib bahwa Hijrah Rasulullah dari Mekkah ke Yasrib (Madinah) dijadikan patokan penentuan awal tahun, sedangkan nama-nama bulan dalam kalender Hijriah diambil dari nama-nama bulan yang telah berlaku pada masa itu di wilayah Arab.
Mengapa pendapat Ali bin Abi Thalib yang diterima, karena Hijrah adalah pemisah antara yang haq dan bathil, demikian alasan Umar bin Khattab. Rasulullah melakukan hijrah dari Mekkah menuju Madinah adalah karena perintah Allah sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an dalam surat al-Isra ayat 76-77. Di Madinah, Rasulullah meletakkan konsep masyarakat madani, masyarakat yang selalu diridhai oleh Allah SWT.
Mewujudkan masyarakat madani adalah impian dan cita cita. Namun, mewujudkannya tidak semudah membalikkan telapak tangan, orasi yang berapi-api serta slogan yang bernyali tidak akan mendukung terwujudnya cita-cita tersebut, apalagi tidak pernah didukung dengan keberanian dalam mengambil sikap dan tindakan.
Model masyarakat madani mengacu pada konsep Madinah al-Fadhilah “Madinah sebagai Negara Utama” yang pernah dikemukakan oleh al-Farabi pada abad pertengahan. Ahmad Hatta, seorang peneliti di Institut Pengembangan Pesantren dan Studi Islam, al-Haramain, menyatakan bahwa Piagam Madinah merupakan dokumen penting yang membuktikan bagaimana kemajuan sangat pesat masyarakat yang dibangun pada waktu itu, serta memberikan kejelasan hukum dan konfirmasi konstitusi dari masyarakat.
Hamidullah (First Written Constitutions in the World, Lahore, 1958), menyatakan bahwa Madinah sebagai konstitusi tertulis pertama dalam sejarah manusia.
Apa mungkin Aceh dapat mewujudkan masyarakat Madani, apalagi Aceh berjuluk Serambi Mekkah? Sebenarnya, topik masyarakat Aceh madani telah lama diwacanakan, bahkan pada permulaan munculnya gagasan tersebut telah terjadi diskusi dan kajian panjang.
Dalam mewujudkan masyarakat Aceh madani, tidak hanya butuh narasi dan orasi, tetapi harus dilakukan dengan kekuatan regulasi, tindakan bernyali, serta kepastian hukum yang berjalan sesuai prosedur. Mewujudkan itu, setidaknya ada dua hal yang harus dilakukan.
Pertama; Menutup celah Maksiat. Dalam surat ar-Ruum ayat 41 Allah jelaskan bahwa “Telah nampak kerusakan di darat dan di lautan disebabkan karena perbuatan tangan (maksiat) manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”.
Perbuatan maksiat baik dilakukan perseorangan maupun kelompok adalah simbul rusaknya tatanan masyarakar yang ideal dan Islami, sebab maksiat merupakan sesuatu yang tidak dapat diterima oleh hati nurani manusia, meskipun ia penjahat kelas kakap. Melihat perkembangan Aceh, sepertinya kita masih menutup mata dengan pelanggaran dan maksiat.
Ibnu Katsir (701-774H) dalam tafsirnya menukil perkataan Imam Abul ‘Aliyah ar-Riyaahi (meninggal tahun 93 hijriyah) “Barangsiapa yang bermaksiat kepada Allah di muka bumi maka (berarti) dia telah berbuat kerusakan padanya, karena perbaikan di muka bumi dan di langit (hanyalah dicapai) dengan ketaatan.
Imam asy-Syaukaani (1759–1834 M) ketika menafsirkan ayat di atas berkata, “(Dalam ayat ini) Allah menjelaskan bahwa perbuatan syirik dan maksiat adalah sebab timbulnya (berbagai) kerusakan di alam semesta”. Jadi, tidak ada celah membiarkan kemaksiatan terjadi di muka bumi ini.
Dalam catatan sejarah masyarakat Madinah, semua masyarakatnya tunduk dan patuh kepada Rasulullah sebagai pemimpin Agama dan Negara, mereka mengikat persaudaraan antara pendatang (Muhajirin) dan pribumi (Anshar) serta bersatu di bawah komando Nabi Muhammad SAW. Banyaknya Pelanggaran dan kemaksiatan adalah bukti bahwa penerapan syariat Islam belum berjalan secara kaffah, maksiat dan kemungkaran adalah langkah syaithan yang akan selalu membayangi penerapan Islam kaffah.
Mengantisipasi terjadinya kemaksiatan, perlu dilakukan revitalisasi peran dan fungsi seluruh elemen masyarakat, mulai dari diri sendiri dan keluarga dan dimulai dari hal-hal kecil. Orang tua menjaga anak-anaknya agar tidak melakukan kemaksiatan dan kemungkaran, pemimpin Gampong menjaga warganya agar tidak terjerumus dalam kemungkaran, begitu pula sampai ke level yang lebih tinggi.
Kedua; bersatu padu membela kebenaran dan memerangi kebathilan. Terkait dua hal ini, yaitu amar ma’ruf dan nahi mungkar dijelaskan Allah dalam al-Qur’an surat Ali-Imran ayat 104, “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung”.
Dalam ayat 114, Allah menjelaskan bahwa amar ma’ruf dan nahi mungkar adalah indikator keimanan dan kesalehan seorang manusia yang beriman kepada hari kiamat. Kesamaan visi amar ma’ruf dan nahi mungkar menunjukkan kualitas komunitas masyarakat. Sebab, masyarakat yang baik pasti gemar mengkampanyekan kebaikan serta tidak senang melihat kemungkaran.
Amar ma’ruf dan nahi mungkar harus dilakukan sesuai dengan tugas, peran dan kemampuan. Ini sebagaimana dijelaskan oleh Imam Muhyiddin an-Nawawi “Tidak cukup memberi nasihat bagi orang yang mampu menghilangkan kemunkaran dengan tangan.
Dan tidak cukup ingkar di dalam hati bagi orang yang mampu mencegah kemunkaran dengan lisan” (Raudlatut Thâlibîn, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2005, cetakan kelima, jilid V). Serta dilaksanakan dengan tahapan yang benar pula, dari cara yang paling ringan hingga sangsi berat. “Wajib bagi orang yang melakukan amar ma’ruf nahi mungkar untuk bertindak yang paling ringan dulu kemudian yang agak berat.
Jika kemungkaran dapat dihilangkan dengan cara/ucapan halus, maka tidak boleh dilakukan dengan cara kasar”, demikian dijelaskan Syekh Abdul Hamid asy-Syarwani, Hasyiyah asy-Syarwani ala Tuhfahtil Muhtaj (Beirut, 2003).
Dalam konteks ini, Tidak hanya persatuan masyarakat yang perlu dikokohkan, tetapi sinergisitas antara Ulama-Umara perlu diteguhkan kembali. Umara jangan pernah mengabaikan pesan, nasehat serta saran-saran Ulama, jika Umara dan Ulama bersatu, maka cita cita menuju masyarakat madani akan sangat mudah diwujudkan di Bumi Aceh.
Ingat sejarah, Rasulullah adalah Ulama dan Umara, dua kendali ini ada pada beliau, sehingga upaya menyatukan masyarakat Madinah dalam ikatan ukhuwah yang kuat begitu mudah beliau wujudkan. Saya yakin, kita semua pasti menghendaki masyarakat Aceh Madani, masyarakat yang hidup dalam kedamaian dan ketentraman serta selalu dalam naungan ridha Allah. Untuk itu, mari berkontribusi untuk menjaga diri dan keluarga agar tidak terjerumus dalam prilaku maksiat, serta bersatu mendukung kebaikan dan melawan kebathilan.
*ASN Pada Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Aceh





