Oleh : Fauzan Azima*
“Sebesar apa cintamu padanya?” sebuah pertanyaan dalam sebuah permainan kalimat challenge.
“Pulau Bali kalau mau dijual akan kuberikan kepadanya,” jawab salah seorang pemain.
Bermacam jawaban yang seluruhnya benar-benar menantang, tetapi ada satu jawaban yang tergolong sadis.
“Demi cinta, saya sanggup merekayasa peperangan atas nama idiologi,” jawab pimpinan orang-orang berseragam.
Inilah sejarah kelam negeri kita, apa yang kita sebut sebagai “Malapetaka cinta” yang mengerikan. Bagaimana demi ambisi Patih Gajah Mada dengan Sumpah Palapanya untuk menyatukan Nusantara dari Kerajaan Maja Pahit tega membunuh semua iring-iringan pengantin yang membawa Putri Dyah Pitaloka Citraresmi dari Kerajaan Sunda.
Putri Dyah Pitaloka Citraresmi sendiri tidak terima atas pembantaian rakyatnya itu dan akhirnya juga melakukan bunuh diri.
Lagu Sunda yang mendayu-dayu juga untuk mengingatkan kepada anak cucunya bahwa mereka pernah berduka atas pembantaian rakyat tanah Pasundan.
Akibat lanjutnya satu-satunya provinsi di Indonesia yang bebas dari nama jalan Gajah Mada adalah Jawa Barat. Dalam sejarah yang sengaja disamarkan; hiduplah dengan damai dua orang penasehat raja. Satu tinggal di barat dan satu lagi di timur. Sampai kemudian penasehat raja dari timur jatuh cinta pada putri raja dan ingin melamarnya.
Bagi raja tidak menjadi soal. Hanya saja, raja tentu harus meminta nasehat dari muftinya yang tinggal di barat. Setelah diselidiki luar dan dalam ternyata penasehat raja dari timur tidak boleh menikah dengan putri raja.
Penasehat raja dari timur merasa sakit hati karena lamarannya ditolak karena pendapat penasehat raja dari barat. Penasehat raja dari timur pun membuat siasat dengan mengirim pengikutnya untuk mencatat semua ceramah penasehat raja dari barat yang berbicara tentang ilmu hakikat.
Penasehat raja dari timur mengeluarkan fatwa bahwa ceramah-ceramah penasehat raja dari barat bertentangan dengan syariat dan harus dihukum mati. Terjadilah pembunuhan terhadap penasehat raja di barat beserta 300 pengikutnya dan kitab-kitabnya dibakar meski ada sebagian yang diselamatkan.
Peristiwa ini pernah terjadi di Aceh dan terulang kembali setelah kemerdekaan yang korban kematiannya mencapai ribuan jiwa. Lagi-lagi juga akibat jatuh cinta dan ambisi ingin menikahi putri raja.
Soal jatuh cinta bukan saja dominasi kaum priyayi, seorang anak muda yang miskin terhina untuk menaikkan derajat diri dan keluarganya harus membunuh puluhan gadis demi mendapatkan “minyak pelet” yang ampuh.
Cita-citanya tercapai, kemampuan minyak peletnya bisa membebaskan dirinya dari hukuman mati di tiang gantungan dengan setetes minyak pelet karena terbukti membunuh beberapa gadis.
Pada satu ketika, dia pulang kampung agar mendapat perhatian dari masyarakat yang selalu menghinanya. Anak muda itu menuangkan sebotol minyak pelet itu ke badannya.
Reaksinya, seluruh manusia dan makhluk hidup mengejarnya untuk mendapatkan kasih sayangnya, namun karena terlalu banyak yang mengejarnya sehingga dia terjepit dan tidak bisa bernafas lagi dan anak muda itu akhirnya mati.
(Mendale, Rabu, 19 Agustus 2020)