Oleh : Fauzan Azima*
Akhir-akhir ini “larangan merokok” membahana sejak Sekretaris Daerah Aceh Tengah, Ama Karimansyah Idris menegur perokok di teras sebuah mesjid dan Gubernur Aceh Irwandi Yusuf membuat pernyataan pada sebuah akun sosial media: “Rokok memang bikin miskin”. (24 Mei 2018)
Pernyataan tersebut tentu ditanggapi pro kontra. Bagi bukan perokok kedua pejabat ini adalah pahlawan, dengan propaganda macam-macam; intinya merokok menyebabkan kemiskinan dan membahayakan kesehatan.
Bagi “ahli hisap sejati” banyak alasan mereka merokok. Di antaranya; aktivitas merokok adalah kegiatan praktek “dzikir makrifat”; ketika menghisap dengan mentafakurkan “Hu” dan ketika melepaskan asapnya dengan membathinkan “Ha”.
Dengan alasan itu, mereka berani menantang; “katakan kepada saya, adakah Wali Allah tidak merokok?” Dan lebih ekstrem lagi ada yang berpendapat bahwa perdebatan; bid’ah soal shalat tarawih antara 8 atau 11 rakaat akan tuntas dengan beberapa batang rokok. Walhu alam.
Allah menciptakan langit dan bumi sebagai petunjuk bagi orang berakal, demikian juga pada rokok merupakan petunjuk dari merek; 234, 153 (sembilan wali), Magnum (maklumi orang awam), bahkan barcode yang berada di sisi samping bermakna kalau ditafakurkan, kata salah seorang perokok berat.
Alasan lain merokok adalah kampanye kasih sayang sebagai perwujudan “Bismillahirrahmanirrahiim” yang bertujuan menjadikan hamba yang seratus prosen “Abdurrahman” dan “Abdurrahim.”
Sebelum sampai kepada perokok; petani tembakau membuka lahan dengan keringat dan air mata, memetik, mencincang, menjemur, dan menjual kepada pabrik-pabrik rokok. Ribuan petani tembakau, ribuan kuli angkut, ribuan SPG, sampai bintang iklan menggantungkan hidupnya pada rokok. Di mana perasaan dan kasih sayang kita sesama hamba Allah kalau mereka menjadi pengangguran?
Hitungan secara matematika merokok memang “bikin miskin” tetapi itu tidak seberapa dibandingkan dengan tingkat stress kalau orang dilarang merokok. Pada masa konflik; anggaran untuk rokok kombatan mencapai 30 prosen. Kalau difikir-fikir lebih baik beli senjata dan peluru daripada membeli rokok, tetapi apa jadinya “tentara tanpa rokok,” mereka akan kehilangan semangat juang. Sebenarnya kalau Pemerintah RI tahu rahasia ini, mereka tidak usah mengirim tentara, cukup menstop rokok masuk ke Aceh, perjuangan GAM akan lumpuh.
Tidak salah dengan larangan merokok, tapi jangan sampai mematikan kreatifitas anak bangsa. Sebelum dibuat peraturan dan tetek bengek lainnya, siapkan dulu sarana dan prasarana merokok pada lokasi fasilitas umum dan fasilitas sosial agar merokok jalan terus, kesehatan terjaga dan masyarakat nyaman. Dengan demikian katakan dengan lantang, “Jaga kesehatan dan merokoklah dengan teratur!”
(Mendale, 16 Agustus 2020)