Oleh : Fauzan Azima
Kalau kita baca sejarah, perlakuan Belanda terhadap Aceh, khususnya Gayo, tidak ada maaf bagi “urang kafir” itu, namun ada sedikit sumbangan “budaya” yang meskipun awalnya bertujuan untuk memecah belah, yakni seni “didong jalu.”
Dalam “didong jalu” yang dibagi menjadi dua kelompok penyanyi yang saling berlawanan diiringi dengan musik tepuk tangan. Biasanya yang “dijalu atau dipertandingkan” klub didong dari Uken satu pihak dan dari Towa di pihak lainnya atau antar kabupaten; misalnya Aceh Tengah VS Bener Meriah.
Dulu “didong jalu” untuk mencoba ilmu pengetahuan lawan dalam merinci adat dan agama. Dalam perkembangan kekinian, “didong jalu” telah berubah menjadi sarana hinaan dan menelanjangi lawan dengan kalimat-kalimat yang kasar.
Bagaimanapun kerasnya hinaan dan kasarnya celaan, pendidong tidak boleh tersinggung dan sakit hati. Apalagi akhir dari “didong jalu” selalu ditutup dengan dengan “jangin” bermaaf-maafan. Bahkan tidak jarang pada pagi harinya para “pendidong atau ceh” minum kopi semeja bersama.
Begitu juga hendaknya dalam kehidupan bermasyarakat dan berpolitik; dihina, difitnah dan dikasari tetap tenang, “tidak gabuk” tetap “on the track” untuk selalu berbuat baik untuk mencapai tujuan baik.
Kalau ada gesekan sesama orang sendiri itu biasa. Jangan masukan ke hati agar tidak sakit hati. Anggap saja itu ribut-ribut “China saboh gedung.” Gebrak-gebrak meja “proyek” jalan terus.
Kita tidak tahu bagaimana persisnya perjalanan hidup ke depan. Cara menyikapinya adalah dengan salah satu sifat Nabi Muhammad SAW yakni sifat “fathonah” atau “cerdik” dalam bahasa Melayu dan dalam bahasa Inggris adalah “politik.” Dan Ceh didong selalu cerdik memainkan irama dan lagu dalam kondisi apapun.
(Mendale, Jum’at, 24 Juli 2020)







