Oleh : Fauzan Azima*
“Siapa orang Gayo yang paling bodoh?” tanya kawan tiba-tiba memulai pembicaraan.
“Bardan Sahidi!” jawab kawan lainnya dengan penuh emosi.
“Kok bisa, tapi orang Aceh Tengah dan Bener Meriah memilihnya. Berarti dia pinter dong?” saya menimpali.
“Iya, dari sisi memenangkan pemilihan legislatif, dia pinter, tetapi dari sisi memperjuangkan kepentingan daerah terpencil dia termasuk berakal rendah,” kata kawan yang emosi tadi.
“Bagaimana ceritanya?” tanya saya penasaran.
“Dia mau membenturkan dirinya dengan orang-orang pinggiran yang membutuhkan jalan aspal ke kampungnya,” jawab kawan yang emosi tadi.
“Tenang…tenang…kawan-kawan, apapun pendapat kalian tentang Bardan Sahidi, jangan pernah membencinya. Bagaimana pun beliau adalah representasi kita dari wilayah tengah,” saya berusaha membelanya.
“Untuk apa saudara bela dia. Bagi kami dia sampah!” kawan emosi tadi semakin emosi.
Saya hanya bisa diam dengan reaksi kawan-kawan. Tidak ada gunanya mendebat kawan yang sedang emosi sudah sampai ke ubun-ubun.
Saya hanya khawatir, kalau begini tingkat emosi orang-orang pinggiran kepada Bardan Sahidi, begitu naik sepeda motor kemudian lewat jalan berlubang, mereka akan menggerutu, “Ini semua gegara Bardan Sahidi.” Do’a tulus saya, semoga stikma ini tidak terjadi padanya.
Saya berusaha rasional, tetapi kawan-kawan yang darah tinggi sulit dibendung rasa kesalnya. Saya memandangnya, pernyataan Bardan Sahidi sebagai dinamika politik yang partainya bergabung dalam KAB. Kebetulan beliau dianggap paling vokal sehingga media mengutip pernyataannya. Sebenarnya tidak ada yang salah.
Saya husnudzon saja! Itu hanya semacam “pesan sponsor” yang harus disampaikan karena ketakutannya di PAW. Itu sah-sah saja mungkin orang lain pun kalau pada posisinya akan melakukan hal yang sama. Apalagi pada Pileg 2024 beliau tidak boleh lagi maju di tingkat provinsi, harus naik tingkat ke DPR RI. Tentu banyak modal tentunya akan dibutuhkan. Nah, kalau sampai di PAW “Rugi bandar, Boss.”
Pokoknya antum sekalian dilarang suudzon kepada Bardan Sahidi. Hidup berpartai itu sangat dinamis. Kemarin beliau buat pernyataan menolak proyek multiyears, tidak menutup kemungkinan besok mendukungnya mati-matian. Jelasnya, jangan memandang Bardan Sahidi sebagai diri yang berdiri sendiri. Bayangkan beliau hanya satu baut dalam sebuah mesin. Gaya berpolitiknya harus mengikuti sistem.
“Bagaimanapun saya tidak terima dengan sikapnya?” kata kawan yang emosi. Padahal sudah minum segelas jus mentimun tapi emosinya belum turun-turun juga.
“Tenang kawan! Mungkin saja beliau tidak bicara seperti itu? Hanya media saja yang mengutipnya seolah beliau keras menolak proyek ke daerah terpencil itu” saya meyakinkan kawan-kawan.
“Ah! Tidak masuk akal. Kalau tidak benar, pasti sudah dibantahnya sejak awal” kawan lainnya menjawab dengan nada tinggi.
Sekali lagi, saya hanya bisa diam. Begitulah kalau sudah benci ruman. Baik pun dibilang salah, apalagi salah pasti akan dianggap lebih salah.
Pada kesimpulan saya, Bardan Sahidi satu sisi kita bangga dengan kevokalannya, tetapi cara menyampaikan sesuatu itu tidak dengan “bil hal” karena emosinya masih labil. Sebagai sahabat yang baik, hanya satu pesan saya kepada Bardan Sahidi, tatalah emosi dalam mengelola perasaan masyarakat.
(Mendale, Kamis, 23 Juli 2020)






