Anak Beru Dalam Adat Dan Budaya (Edisi VIII) : Angkap

oleh

Oleh : Jamhuri Ungel, MA*

Di antara fungsi anak dalam keluarga adalah sebagai pelanjut keturunan, sehingga apabila seseorang meninggal dunia maka nama anak yang ditinggalkan akan dilaqabkan kepadanya, dan apabila seseorang tidak diketahui siapa nama ayahnya maka anak tersebut akan dilaqabkan kepada Nabi Adam dengan sebutan Ibnu Adam.

Dari itu bisa kita pahami kalau seseorang tidak mempunyai anak maka garis keturunannya putus atau berakhir, fungsi lain dari anak adalah menjaga dan merawat orang tua bila orang tua sakit atau menjaganya ketika sudah tua. Bagaimana bisa kita bayangkan kalau ada orang tua yang tidak mempunyai anak atau mempunyai anak namun tidak berfungsi dalam mengurus dan merawat.

Peran atau fungsi dalam perawatan orang tua dari anak bisa digantikan oleh orang lain, karena itu banyak orang yang mengambil atau mengangkat anak saudara atau keluarga dekatnya atau boleh anak dari orang lain dijadikan sebagai anak, yang disebut dengan anak angkat.

Lalu dalam masyarakat patrelinial yang melaksanakan perkawinan eksogami, dimana anak beru dinikahkan dengan anak bujang di luar belahnya dan anak beru tersebut akan berpindah belah ke belah suaminya (sebagai telah dibahas sebelumnya = juelen).

Masyarakat yang mengenal sistem perkawinan juelen juga mengenal yang namanya perkawinan angkap, yakni perkawinan dengan cara mencari dan mengajak anak bujang tinggal dan menetap di belah anak beru setelah pernikahan.

Diantara alasan terjadinya sistem perkawinan anggap adalah, dimana keluarga anak beru mempunyai anak (anak beru semata wayang) kalau dilaksanakan perkawinan juelen dikhawatirkan orang tua dari anak beru tidak ada yang menjaga dan merawatnya.

Alasan lain adalah karena anak bujang yang akan dijadikan suami anak beru tidak memiliki harta untuk kebutuhan hidup setelah menikah, maka anak bujang bersedia tinggal dalam keluarga atau belah pihak istri.

Dalam perkawinan angkap dikenal ada dua cara, yakni perkawinan angkap biasa. Perkawinan bentuk ini anak bujang tinggal dalam keluarga anak beru, bekerja dan berusaha di tanah (sawah atau kebun) yang dimiliki keluarga anak beru dan hasilnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan keluarga.

Anak bujang yang menjadi suami anak beru tidak membawa barang dan juga tidak perlu menyiapkan lahan usaha sebagai pemenuhan kebutuhan, karena lahan usaha telah disiapkan oleh keluarga anak beru.

Perkawinan angkap biasa ini tidak menjadikan suami berpindah belah menjadi belah istri, tetapi suami hanya tinggal dan berusaha dan membantu keluarga istri.

Ada juga perkawinan angkap dalam bentuk yang lain yaitu perkawinan angkap nasab, yakni pihak laki-laki menjadi keluarga istri dan laki-laki berpindah belah menjadi belah istri, untuk perkawinan bentuk ini disamping laki-laki berpindah belah juga pihak laki-laki akan mendapat harta (pemberian) yang mempunyai kekuatan hukum adat sama dengan harta warisan, yang tidak bisa didanggu oleh ahli waris pihak perempuan.

Jadi inilah dua bentuk perkawinan yang dikenal dalam masyarakat Gayo yakni perkawinan juelen atau julenen dan perkawinan angkap, yang menjadi perkawinan dasar adalah perkawinan juelen atau julenen dan perkawinan angkap dijadikan sebagai alternatif bagi keluarga yang tidak bisa melakukan perkawinan juelen atau julenen.

Kalau dalam perkawinan juelen yang menyiapkan apa yang menjadi permintaan dari isteri adalah pihak suami dan kalau perkawinan angkap maka yang menyiapkan (memberikan) adalah pihak atau keluarga isteri. Untuk perkawinan angkap ada ungkapan adat sebagai petunjuk fungsi suami yaitu sebagai “penurip murip penanom mate”, artinya suami angkap berfungsi untuk menjaga, merawat orang tua isteri dan nanti kalau unturnya habis maka suami angkap yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan tajhiz mayatnya. []

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.