Pasien Rumah Sakit Jiwa dan Tongkat Estapet Kepemimpinan Aceh Tengah

oleh

Oleh : Fauzan Azima*

Dokter Rumah Sakit Jiwa bertanya kepada tiga orang pasiennya. Siapa saja yang bisa menjawab pertanyaan yang bisa diterima oleh akal sehat, maka dia dinyatakan sembuh dan boleh pulang ke rumahnya.

“Kalau kalian sedang berada di padang pasir yang panas, apa yang akan kalian lakukan?” tanya dokter.

“Saya akan membawa kipas angin,” jawab pasien pertama.

“Tidak masuk akal, kamu masih perlu dirawat,” kata dokter kepada pasien pertama.

“Saya akan membawa kulkas, dok, kalau saya kepanasan, saya akan masuk ke dalamnya,” jawab pasien kedua.

“Tidak masuk akal, kamu masih perlu dirawat,” kata dokter kepada pasien kedua.

“Pak Dokter, kalau saya kepanasan di gurun pasir, saya akan membawa pintu mobil,” kawan pasien ketiga.

“Kok, pintu mobil?” tanya dokter penasaran.
“Kalau saya kepanasan, saya akan membuka kacanya,” jawab pasien itu.
“Masuk akal! Kamu sudah sembuh dan boleh pulang,” kata dokter RSJ itu.

Demikianlah sebuah anekdot antara dokter dan pasien RSJ yang saya kira sangat relevan dengan masa depan kepemimpinan di Aceh Tengah, khususnya untuk calon bupati dan wakil bupati yang akan berkompetisi pada Pilkada tahun 2022 yang akan datang.

Seperti kata orang, “Belanda masih jauh” tetapi untuk Aceh Tengah sudah bisa berancang-ancang dari sekarang karena daerah yang ikon wisatanya danau Lut Tawar kini sedang krisis pemimpin. Pengalaman di bawah “bendera Shafda” dengan segala tetek bengeknya telah menjadi bukti nyata.

Kalau kita cari dari garis bujur barat ke timur dan lintang utara ke selatan Aceh Tengah tidak akan muncul tokoh yang memiliki jiwa pemimpin. Kasarnya, orang-orang di bawah standar akan berebut menjadi orang nomor satu dan nomor dua di negeri Malem Dewa itu.

Pada saatnya para calon bermunculan nanti, masyarakat yang membaca rekam jejaknya tidak mustahil akan berkomentar “Aduh! Orang-orang sakit jiwa, kok mencalonkan diri.” Walau pahit rasanya, kenyataan itu harus ditelan.

“Apa boleh buat, tidak ada rotan, akar pun jadi.” Kita harus rela dipimpin oleh orang yang paling waras di antara orang-orang yang sakit jiwa.

Krisis pemimpin di Aceh Tengah tidak terlepas dari para pemimpin sebelumnya yang tidak melakukan kaderisasi. Bapak Bupati Mustafa M. Tamy pemimpin terakhir menciptakan tokoh dan pemimpin.

Setelah beliau lengser, para pemimpin berikutnya cenderung saling menjatuhkan. Bahkan demi tidak munculnya tokoh, Bapak Mahreje Wahab pada pemilu legislatif tahun 2009 menjadi korban dan tersingkir sebagai anggota DPR-RI, semata-mata karena cemburu kalau beliau bisa duduk di Senayan, Jakarta.

Sudah menjadi takdir Aceh Tengah begini jadinya. Nasi telah menjadi bubur! Agar lahir banyak tokoh dan pemimpin di masa depan, maka siapa pun dia dari sekarang sudah bisa mulai pasang niat untuk menciptakan kader birokrat, pengusaha, polisi, militer, seniman, penulis, ilmuan, olahragawan, dan mungkin juga dukun yang paten agar pemimpin kita kelak bukan lagi dari kalangan atau sederajat dengan orang sakit jiwa.

(Mendale, Kamis, 16 Juli 2020)

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.