Oleh : Johansyah*
Ada satu istilah populer di kalangan pemuda dan remaja, yakni pedekate, istilah lain dari pendekatan. Tujuan utamanya adalah ingin membangun kedekatan. Seorang laki-laki yang menaruh hati pada seorang perempuan, berusaha melakukan pendekatan.
Caranya bermacam-macam, mengajak berkenalan, berusaha menjalin komunikasi, memberi perhatian, hadiah, dan sebagainya. Intinya dengan cara yang dilakukan itu diharapkan terjalin kedekatan.
Usaha pendekatan ini tentu saja bukan hal muda-mudi, tapi juga dalam hal lain, minsalnya di musim pilkada. Di mana banyak para calon yang melakukan pedekate ke berbagai pihak, kalangan, dan masyarakat umum.
Lebih dari itu, kira pendekatan yang dilakukan bukan sekedar bertujuan memenuhi hasrat belaka, tapi itu semua dilakukan atas dasar kebaikan seseorang sehingga melahirkan rasa aman dan nyaman ketika kita dekat dengannya.
Kedekatan seperti ini dapat menjadi gerbang terciptanya kehidupan yang harmonis dari berbagai aspeknya.
Ikatan suami istri yang penuh cinta kasih itu terbangun karena adanya proses kedekatan. Suami menyayangi istri dengan setulus hati, memenuhi kebutuhan secara lahir dan batin, memiliki perhatian yang istimewa kepada istri.
Demikian halnya istri yang selalu melayani suami dengan setulus hati, bertutur lembut, menghidangkan makanan pada suami dengan senyuman, dan seterusnya. Antara keduanya menyatu dalam satu jiwa. Itu semua merupakan efek positif dari kedekatan anata keduanya.
Bergabungnya orang-orang dalam sebuah organisasi itu juga karena kedekatan, terutama kedekatan visi dan pandangan. Orang-orang berkarakter progresif akan begitu mudah menyatu dengan orang yang berkarakter sama.
Dia akan sulit bersatu dengan orang yang berkarakter konservatif atau tradisional. Katakan orang-orang yang bernuansa pemikiran liberal, akan sulit menyatu dengan orang-orang yang agamis karena berbeda pandangan. Begitu seterusnya.
Sekiranya diperhatikan, orang-orang yang mendapatkan pekerjaan ternyata juga banyak yang didasari oleh faktor kedekatan. Mengapa si anu bisa lolos seleksi dan diterima padahal kemampuannya biasa-biasa saja?
Belakangan baru diketahui bahwa alasan utamanya adalah kedekatan. Padahal jika dinilai lebih objektif, mungkin orang ini tidak memenuhi persyaratan.
Dulu, di sebuah kampus, ada seseorang yang dia sebenarnya memiliki kemampuan biasa-biasa saja. Tapi ada yang istimewa darinya, pandai membangun kedekatan dengan para dosen, tapi itu bukan dibuat-buat karena karakter orangnya memang begitu.
Mudah dekat dengan siapa saja. Alhasil, nilainya setiap semester selalu bagus. Bahkan belakangan, beberapa tahun kemudian dia dikabarkan sudah menjadi dosen di kampus tersebut. Begitulah, kedekatan itu sering kali lebih banyak membantu seseorang dari pada kecerdasannya.
Di jajaran pejabat negara juga demikian. Para menteri, juru bicara presiden, ajudan, atau apa saja lah, mereka semua pasti orang-orang terdekatnya presiden yang mau dan mampu menjalin kerja sama dengan baik dalam menjalankan roda pemerintahan.
Para Gubernur dan Bupati juga begitu, mengangkat kepala dinas, kepala bidang, dan kepala seksi yang memiliki kedekatan dengannya. Walau pun ada fit and proper test, itu formalitas saja.
Begitulah adanya, faktor kedekatan itu membuat orang keluar dari kaidah-kaidah hukum yang seharusnya dan menciptakan realitas yang terkadang tidak dikehendaki orang sekitarnya.
Kedekatan akan membuat sebuah situasi itu mudah dan mungkin dimudahkan. Sesuatu yang absurd itu akan sangat memungkinkan apabila ada faktor kedekatan.
Jika kedekatan antar sesama manusia saja mendatangkan banyak kemudahan dan menciptakan banyak peluang, lalu bagaimana dahsyatnya ketika seseorang membangun kedekatan dengan Allah?
Dijamin, kedekatan dengan Allah akan mendatangkan kemudahan dan peluang yang penuh keberkahan, di mana manusia pun akan melihatnya sebagai sebuah kewajaran.
Pastinya, karena faktor kedekatan dengan Allah, maka sesuatu yang menurut ukuran manusia sulit akan jadi mudah, yang sempit akan menjadi lapang, dan nikmat datang dari sisi yang tidak diduga.
Allah telah menegaskan; “Barang siapa yang bertaqwa kepada Allah maka Dia akan menjadikan baginya jalan keluar dan memberinya rezeki dari arah yang tak tidak disangka-sangka” (Q.S Ath-Thalaq 2-3). Takwa itu adalah kedekatan seorang hamba dengan Allah sehingga Dia memenuhi kebutuhan hamba-Nya yang terkadang tanpa diminta terlebih dahulu.
Untuk itu, dekatilah Allah dengan senantiasa memperkokoh iman dan memperbanyak amal saleh. Sujudlah di atas sajadah yang membentang pada waktu-waktu sujud yang diperintahkan. Ingatlah Dia di setiap hembusan nafas tanpa mengenal tempat dan waktu.
Lobilah Allah melalui do’a penuh harap. Sandarkan diri hanya kepada-Nya, niscaya Allah tidak akan menyia-nyiakan seorang hamba yang tulus mendekatkan diri kepada-Nya. Perbanyak amal saleh karena setiap amal saleh itu adalah tangga-tangga yang kita bangun untuk mendekatkan diri kepada-Nya.
Kalau dipikir, apa kurang dekatnya Rasulullah Saw dengan Allah. Tapi beliau menyadari betul bahwa dia takut kehilangan kasih sayang Allah sehingga senantiasa beribadah, terutama tahajjud hingga kakinya bengkak.
Pernah suatu ketika Sayyidah Aisyah bertanya; ya Rasulullah, bukankah Engkau sudah diampuni segala dosamu dan sudah dijamin masuk ke surga? Lalu apa kata beliau; wahai Aisyah, aku tidak ingin menjadi hamba yang tidak bersyukur.
Anehnya, kita yang tidak dekat dengan Allah justru gengsi melakukan pendekatan. Padahal semua yang kita peroleh adalah pemberian-Nya. Jangankan shalat tahajjud, bangun di malam hari, shalat lima waktu saja masih belum kita dirikan dengan disiplin.
Hal apakah yang membuat kita enggan untuk menjalin kedekatan dengan Allah? Jika kita meyakini bahwa menjalin kedekatan itu akan mendatangkan banyak keuntungan dan manfaat.
Tapi sayang aplikasinya masih kita terapkan dalam hubungan antar sesama manusia. Padahal yang paling penting membangun kedekatan itu adalah dengan Dia yang mampu memberi segala-galanya kepada kita, yaitu Allah Swt.
Akhirnya, kedekatan seorang hamba dengan Allah adalah kedekatan yang diridhai. Buah dari kedekatan tersebut adalah kedamaian dan keberkahan hidup. Berbeda dengan kedekatan dengan manusia, meski mendatangkan berbagai peluang dan kemudahan duniawi, tapi belum tentu diridhai Allah.
Ketahuilah, hidup yang paling mulia itu adalah hidup yang diridhai Allah. Untuk itu, marilah kita merangkai kedekatan dengan Allah melalui ketaatan dalam beribadah. Wallahu a’lam bishawab.
*Pegawai Dinas Syari’at Islam dan Pendidikan Dayah Kabupaten Aceh Tengah.