Oleh : Fauzan Azima*
Kita tidak tahu perjalanan hidup seseorang. Kalau kita tahu Ir. Nova Iriansyah, MT akan menjadi gubernur, mungkin sejak dahulu kita akan berusaha dekat dan bersahabat dengan beliau. Kalaupun tidak masuk dalam struktur pemerintahannya, setidaknya bergengsi punya teman orang nomor satu di Aceh.
Demikian juga, Tuhan menutup pengetahuan waktu keberuntungan seseorang. Betapa Teungku Amran dulu hanya sebagai staf di BPKEL (Badan Pengelola Kawasan Ekosistem Leuser), pada hari ini akan dilantik sebagai bupati Aceh Selatan definitif.
Dulu dibenci karena dicap sebagai pemberontak, kini disanjung karena menjadi orang nomor satu di kabupaten yang beribukota Tapaktuan.
Kami pernah membuat Mantan Komandan Operasi GAM Wilayah Lhok Tapaktuan itu bangga, berkeliling melihat-lihat hutan KEL Aceh Selatan dari udara dengan eurocopter yang kami rental dari perusahaan kertas PT. APRIL yang berkedudukan di Riau. Tentu saja sekarang bagi Teungku Amran itu hanya mainan kecil.
Begitupun, setelah lama tidak bertemu dengan salah seorang staf BPKEL, Teungku Yusrizal ternyata sudah menjadi Wakil Bupati di Abdya. Kita tidak menyangka seorang yang biasa-biasa saja, ternyata bisa menjadi Wakil Bupati. Seperti kata orang tua dahulu; kita bisa mengukur dalamnya sumur, tapi nasib seseorang siapa yang tahu.
Ahmadi Samarkilang anak sekolah pengantar beras untuk GAM ternyata sukses sebagai bupati di Bener Meriah. Siapa pun tidak menduga, seorang anak dari daerah terpencil bisa menjadi orang nomor satu di Kabupaten Bener Meriah.
Pada hari ini, jabatan itu bukan lagi menjadi barang mewah yang eksklusif. Jokowi yang melanglang buana sampai ke dataran tinggi Gayo, ternyata bisa juga menjadi presiden. Dari sudut pandang apapun Jokowi mustahil menjadi orang nomor satu di Indonesia, kecuali yang beliau punya hanya “wangsit” sebagai mana kepercayaan orang Jawa.
Bukan hanya soal pemegang jabatan yang menjadi rahasia ilahi, tetapi juga soal ilmu pengetahuan. Orang yang sebelumnya tidak faham pengkajian alif dan ba, dalam waktu semalam bisa menjadi “rektor”.
Seperti yang terjadi pada Syech Baba Daud yang dianggap santri yang paling tidak berilmu pada perguruan tinggi yang dipimpin Teungku Syiah Kuala di Kampung Mulia, Kota Raja.
Sampai pada satu saat cincin Teungku Syiah Kuala (Syechku Allah) jatuh ke dalam lubang WC. Dalam pada itu, beliau mengumpulkan santrinya dengan kerelaan untuk mengambil cincinnya, namun tidak ada yang mau, kecuali Baba Daud yang dengan ikhlas menguras lubang WC yang dipakai puluhan tahun oleh puluhan ribu santri dari seluruh dunia.
Setelah sholat subuh, Baba Daud menghadap kepada Teungku Syiah Kuala dan memberikan cincinnya. Setelah menerimanya, Mufti Sri Ratu Safiatuddin itu mengumumkan di depan ribuan santrinya; “Mulai subuh besok, para santri belajar pada Baba Daud.”
Semua santri tercengang. Bagaimana mungkin belajar pada Baba Daud yang dikenal kurang ilmu dari mereka. Namun tidak ada yang mustahil bagi Teungku Syiah Kuala dan tentu saja bertanggung jawab terhadap ucapannya.
Subuh besoknya benar Baba Daud benar-benar telah menjadi Syech (guru) yang mengetahui dan mengajarkan ilmu pengetahuan kepada seluruh santri yang tidak mereka ketahui. Sejak itulah lahir; Adab lebih tinggi derajatnya daripada ilmu.
Syech Baba Daud menyadari bahwa kemampuan manusia di masa depan dalam mempelajari ilmu hakikat dan ma’rifat akan sulit dijangkau akalnya. Sehingga sebagai jembatannya beliau susun kitab “Masailal Mubtadi” untuk memudahkan orang awam belajar ilmu di atas tingkatan syariat dan tarikat.
(Mendale, Kamis, 25 Juni 2020)