Kisah Putri Burung Mergah Dan Gelingang Raya Bagian (Bag. 11) : Misteri Yang Berkelebat

oleh

[Kisah]

Putri Burung Mergah Dan Gelingang Raya
Bagian. 11
Misteri Yang Berkelebat

Diceritakan kembali oleh:
Aman Renggali

Rasa penasaran Gelingang Raya tidak habis-habis, bahkan terkadang bulu kuduknya merinding. Hampir setiap waktu dan jadwal makan bagi ibunya makanan sudah tersedia. Tidak jarang ibunyapun mengaku sudah disuapi makan.

Lalu siap yang menyiapkan makanan dan yang menyuapi ibunya makan sedang ia tidak berada di rumah. Adakah orang lain yang dating untuk melakukan itu semua.

Sempat terpikir oleh Gelingang Raya akan Basyar, almarhum ayahnya.

“Jangan-jangan yang melakukan ini semua adalah arwah ayah. Ayah sangat mencintai ibu dan ia ingin membantuku dalam kebutaan ibu, bisik Gelingang Raya dalam hati.

“Tetapi itu semua mustahil” pikirnya lagi. Mustahil orang yang sudah meninggal dunia dapat melakukan hal yang dilakukan seperti layaknya orang yang masih hidup.

“Ahhhhh”, teriak Gelingang Raya dalam hati sebagai puncak kepenasarannya terhadap kenyataan yang ia hadapi setiap harinya.

“Ah, itu suatu hal yang tidak mungkin. Aku tidak boleh percaya terhadap hal-hal yang berbau khurafat dan ketahayulan,” kata Gelingang Raya meneguhkan keyakinan pada dirinya sendiri.

Sambil duduk merenung di bawah pohon geluni Gelingang Raya kembali terpikir dengan kejadian aneh dirumahnya selama beberapa waktu ini. ia bertanya dalam hati, siapa gerangan yang melakukan ini semua, sementara ibunya tidak mungkin melakukan semua itu dalam kondisi berbaring dan buta lagi. Masakan yang terhidang selain nasi juga ada makanan kesukaannya, dan semua tertata rapi sebagaimana layaknya sebuah jamuan makan pada setiap waktunya.

Satu saat Gelingang Raya sempat mencicipi setiap menu masakan yang telah tersedia, rasanya benar-benar lezat dan istimewa. Bahkan setelah bertahun-tahun sejak ayahnya Basyar wafat dan ibunya Hayya jatuh sakit dan buta baru kali ini ia merasakan kembali nikmatnya masakan khas Bukit Gentala.

Keanehan itu terjadi berulang kali pada setiap harinya, bahkan dengan menu dan sajian masakan yang berbeda-beda. Bukan hanya itu, pakaian kotor yang biasanya ia cuci empat hari sekali kini dalam keadaan bersih semua. Hampir tidak ada kain atau pakaian yang tergantung di balik pintu atau di dinding.

Demikian juga dengan halaman dan teras rumah panggungnya, semua tampak bersih tanpa sampah dedaunan kering yang gugur.
Rumah panggung peningggalan ayahnya itu terlihat lebih nyaman dan asri, tidak ada lagi kayu bakar yang berserakan di halaman, atau sarang laba-laba yang menggantung di sudut dan langit-langit rumah. Demikian pun dengan dapur dan tempat tidur peraduan ibunya. Semua tanpaak bersih dan rapi.

Keanehan-keanehan ini pernah hendak ia tanyakan kepada ibunya, tetapi mulutnya selalu saja terasa berat. Ia tidak mau mengusik atau menambah beban pikiran ibunya dengan hal-hal yang dapat mengusik ketenangannya dalam menikmati hari tua.

Tetapi rasa penasaran Gelingang Raya sudah tiba pada tahap yang puncak, ini bukan lagi teka-teki yang harus dijawab, ini juga bukan sebuah khurafat. Ini fakta dan kenyataan yang harus diketahui siapa gerangan yang melakukannya.

Sementara di Bukit Gentala tidak ada satu manusia pun selain ia dan ibunya, lalu bagaimana mungkin ini semua terjadi?, Gelingang Raya membatin. Ini benar-benar sesuatu yang sangat misterius. Sementara burung Mergah yang ia selamatkan masih tetap berada di dalam sangkar, walau kelihatannya sudah agak sehat dari lukanya tetapi belum dapat mengepakkan sayap dengan baik.

Rasa penasaran dan sikap ingin tau Gelingang Raya semakin membesar. Suatu hari ia mengatur rencana untuk menjebak siapapun yang telah melakukan semua ini di rumahnya. Dengan berpura-pura tidak tau atas semua yang terjadi, ia pun melakukan aktivitasnya seperti biasa. Pergi ke kebun pada pagi hari lalu kembali ke rumah pada siang harinya.

Demikian seterusnya hingga Gelingang Raya telah menyiapkan sebuah rencana besar untuk membongkar misteri yang terjadi di rumahnya.
Suatu pagi ia berangkat ke kandang dan ke kebun seperti yang biasa ia lakukan setiap hari.

Segala keperluan ia siapkan dengan lengkap, seperti parang dan cangkul. Ia berjalan menjauh dari rumah menyusuri jalan setapak, kira-kira sudah tidak tampak lagi dan terhalang tikungan jalan ia bersembunyi di balik rerumputan.

Dari pagi hingga menjelang tengah hari ia menunggu dengan rasa gundah dan penasaran. Ketika matahari sudah meninggi, ia mendekati rumah panggungnya dengan mengendap-endap dibalik warna-warni bunga. Mengintip dari balik rerimbunan pohon dan semak yang tumbuh dil ingkungan rumahnya. Menunggu dengan harap-harap cemas apa gerangan yang akan terjadi.

Menjelang keputus asaannya mengintai sesuatu yang tak pasti, ia melihat ada kelebat bayangan memasuki rumahnya dari balik jendela sebelah barat. Jendela yang persis berada tepat di bagian dapur. Bayangan itu terlihat mondar-mandir antara ruang dapur dan sudut ruangan dimana ibunya terbaring. Bayangan itu seperti melakukan dan mencari sesuatu.

Gelingang Raya semakin yakin bahwa selama ini di rumahnya ada orang lain selain dirinya dan ibunya. Tetapi siapa?, gumannya dalam hati. Mungkinkah itu bayangan Basyar ayahnya yang sudah meninggal? Ah, tidak mungkin, bisiknya seperti tengah berbicara dengan dirinya sendiri.

Tidak lama kemudian dari dalam rumah panggung terdengar suara memanggil-manggil nama kesayangan Gelingang Raya.

“Win, Win…!”
Suara itu jelas adalah suara ibunya.

“Tetapi bukankah tadi aku telah berpamitan kepada ibu untuk berangkat ke kebun, dan akan kembali menjelang zduhur nanti”, bisik Gelingang Raya membathin.

Meski Hayya sudah tua dan tidak dapat melihat apa-apa lagi, tetapi ingatannya masih sangat kuat. Dimana panci digantung, kapan beli beras terakhir, kemana arah kiblat dan lain sebagainya. Bahkan beberapa hari yang lalu Hayya masih sempat menceritakan masa lalunya kepada Gelingang Raya.

Bagaimana ia bertemu dengan ayahnya di sebuah pasar di Tampon Ibu Kota Kerajaan Meluem. Saling senyum dan sapa seadanya kemudian saling berkirim surat melalui bilah pelepah bambu yang dihanyutkan.

Tak luput kisah cintanya dengan Basyar yang melanggar adat kampung berupa Parak, hingga menikah dan menetap di Bukit Gentala. Semua itu ibunya masih sangat ingat dengan jelas, bukan saja hari dan tempat bahkan waktunya pun ia ingat dengan persis.

“Apakah ibu lupa pamitanku tadi pagi?”, pikir Gelingang Raya. [SY] Bersambung…

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.