Labelling

oleh

Oleh : Muhammaddinsyah*

Labelling adalah proses melabel seseorang. Label, menurut A Handbook for The Study of Mental Health, adalah sebuah definisi yang ketika diberikan pada seseorang akan menjadi identitas diri orang tersebut, dan menjelaskan orang dengan tipe bagaimanakah dia.

Dengan memberikan label pada diri seseorang, kita cenderung melihat dia secara keseluruhan kepribadiannya, dan bukan pada perilakunya satu per satu.

Teori Labelling, secara sederhana, hanya menyatakan dua hal. Pertama, orang berperilaku normal atau tidak normal, tergantung pada bagaimana orang lain menilainya.

Penilaian itu ditentukan oleh kategorisasi yang sudah melekat pada pemikiran orang lain. Segala sesuatu yang dianggap tidak termasuk ke dalam kategori-kategori yang sudah dianggap baku oleh sebagian kelompok, otomatis akan dikatakan menyimpang.

Kedua, penilaian itu berubah dari waktu ke waktu, sehingga orang yang katakanlah hari ini dinyatakan Pro Pemerintah bisa dinyatakan Kontra Pemerintah (dengan gejala yang sama) beberapa waktu kemudian, atau sebaliknya.

Amatan penulis makna dari Teori Labelling diatas kerap terjadi disekitar kita khususnya para penggiat sosial, bahkan terjadi sangat masif. Mengkategorisasi kelompok atau individu seolah sudah menjadi hal yang biasa.

Kita tidak lagi perduli apa dan bagaimana individu atau kelompok berprilaku dan bersikap asal individu atau kelompok tersebut berbeda pandangan dengan apa yang kita yakini benar maka akan dianggap berprilaku menyimpang dan harus di benci juga di jauhi.

Untuk lebih memahami hal ini, penulis akan mencoba memberikan ilustrasi. Pada sebuah tempat terdapat dua kelompok manusia yang berbeda pandangan terhadap cara menikmati kopi. Kelompok A meyakini bahwa kenikmatan meminum kopi adalah ketika Kopi dicampur dengan gula.

Kelompok B meyakini bahwa kenikmatan meminum kopi ialah dengan tidak mencampur kopi tersebut dengan apapun khususnya gula.

Kedua kelompok ini akan memunculkan kategorisasi terhadap orang-orang disekitarnya. Seseorang yang menikmati kopi dengan gula maka bukan bagian dari kelompok peminum kopi tanpa gula, begitu juga sebaliknya.

Mirisnya, situasi ini kemudian memunculkan dinding pemisah antar penikmat kopi. Kedua kelompok tetap bersikukuh bahwa keyakinannya adalah yang paling benar. Benar menurut versinya masing masing, begitu penulis menyebutnya.

Konyolnya lagi, kedua kelompok ini cenderung berkeyakinan bahwa yang tidak bersepakat dengan apa yang mereka yakini adalah musuh dan harus dijauhi. Kedua kelompok tersebut sampai melupakan fakta bahwa keduanya adalah penikmat kopi.

Kembali ke pokok pembahasan di atas, perilaku label dan melabeli ini tidak dapat dihindari. Kita semua cenderung terjebak dalam keharusan berfikir untuk mengklasifikasi orang lain.

Kendati demikian, menurut penulis memberikan label kepada individu atau kelompok bukanlah sesuatu yang baik, terkhusus bagi penggiat sosial. Prilaku tersebut justru akan memunculkan narasi-narasi negative yang memecah belah.

Memaksa dua orang atau lebih yang telah lama bersahabat untuk saling membenci hanya karena berbeda pandangan soal cara menikmati kopi adalah sebenar-benarnya kejahatan. Apalagi membumbui keduanya dengan alasan kemanusiaan atau Demi umat dalam prosesnya.

Penulis meyakini berbeda pandangan dalam menyikapi sesuatu adalah hal yang biasa. Lumrah terjadi dan wajar. Seperti ilustrasi di atas, tidak perlu terlalu terobsesi untuk memberikan label kepada seseorang atau kelompok. Yang diperlukan hanya kedewasan berfikir untuk menyikapi perbedaan tersebut.

*Aktivis Pemuda Bener Meriah,Bagian dari Tim Asistensi Percepatan Pembangunan Kemasyarakatan Bener Meriah

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.