Oleh : Arfiansyah*
Sudah lebih dari seminggu ini, masyarakat Aceh Tengah dibuat resah dan malu oleh sikap kepala daerahnya. Bupati menuntut wakil Bupati ke ranah hukum karena telah mengancam kehidupan bupati dan keluarganya. Sementara Wakil Bupati mengaku melakukan itu karena emosi sebab selama ini dia merasa seperti pengangguran.
Terlebih, perjanjian pengkaplingan wilayah kerja SKPK yang mereka sepakati dikala mencalonkan diri sebagai kandidat pemimpin daerah tidak ditepati oleh Bupati: projek 17 M, yang seharusnya menjadi wilayah kerja Wakil Bupati, serta merta berjalan dikendalikan oleh Bupati tanpa sepengetahuan Wakilnya.
Sementara itu, masyarakat Gayo, terutama pemuda pemudinya sibuk memperbincangkan dan menganalisa cara kerja dan sikap pemerintah saat ini tanpa memberikan sikap yang nyata untuk itu. Hanya merasa malu karena isu ini telah menjadi perbincangan nasional.
Modal Politik Pasca Orde Baru
Perkelahian antara Bupati dan Wakil Bupati tersebut adalah perseteruan yang sering terjadi di pasca Orde Baru saat ini. Tidak banyak memang perseturuan tersebut berakhir di ruang sidang. Karena masing-masing kepala daerah dan wakilnya masih merasa malu menjadi tontonan.
Namun, perseteruan kepala daerah di banyak tempat sering diakibatkan oleh upaya masing-masing menguasai modal politik yang bersumber dari keuangan daerah. Perubahan sistem politik dan pemilihan anggota legislatif pada masa reformasi menuntut politisi untuk mengeluarkan modal besar untuk pemenangan. Untuk itu, mereka perlu pinjaman besar dari pemilik modal.
Berbeda ketika masa Orde Baru dimana kepala daerah dipilih hanya oleh anggota legislatif. Dengan mekanisme seperti ini, hampir bisa dipastikan seseorang dari partai pemenang akan menjadi bupati. Terlebih, menjadi kepala daerah pada saat itu harus mendapatkan restu dan persetujuan dari Kepala Negara. Sistem demikian tidak memerlukan modal politik yang besar.
Sementara saat ini, dukungan keuangan dari partai politik tidak lah besar untuk pemilihan. Sehingga tak heran untuk menjadi anggota legislatif saja, kandidat harus berani mengeluarkan modal besar. Apalagi menjadi kepala daerah.
Syukur bila terpilih, mereka dapat menguasai uang daerah untuk mengembalikan modal yang mereka habiskan. Bila kalah, mereka jatuh miskin total. Dan itu banyak dialami oleh calon anggota dewan dan kepala daerah.
Akibat dari besarnya kebutuhan akan modal besar untuk pemilihan, maka di banyak tempat di Indonesia kepala daerah berkewajiban mengembalikan “pinjaman” dalam beragam bentuk kepada donator politiknya. Umumnya dalam bentuk pemenangan proyek tertentu.
Kalau komitmen tersebut tidak dilakukan, maka tidak heran bila penagih hutang akan menjenguk kantor kepala daerah seperti yang kita baca tentang beberapa kejadian penagihan hutan kepala daerah di Provinsi Aceh.
Selama 20 tahun pengalaman pemilihan kepala daerah pada masa reformasi, pemuda Gayo sudah saatnya melakukan eksperimen politik pemilihan kepala daerah dengan tetap berada pada koredor mekanisme yang ditetapkan oleh negara. Pemuda Gayo dapat memamfaatkan jalur independen untuk menetapkan calon kepala daerah pilihan mereka dengan melakukan hal-hal berikut:
Hindari Kandidat dari Partai Politik
Selama ini, partai politik hanya berfungsi maksimal ketika pemilihan kepala daerah dan anggota legislatif. Di luar masa-masa pemilihan, sebagai politisi, mereka belum mampu menjadi influencer, pengontrol kinerja pemerintah dan anggota legislatif, dan penggerak masyarakat ke arah yang lebih baik. Mereka selama ini lebih berfungsi sebagai “pegawai mulia” di kantor DPRK yang dikontrak 5 tahun sekali. Dan masyarakat yang memberikan kontrak pegawai itu.
Di Kantor Dewan Perwakilan Rakyat, alih alih mereka mewakili aspirasi rakyat, mereka terkadang, bila kata sering terlalu mengada-ada, mewujudkan aspirasi partai politik dan aspirasi diri sendiri. Seperti yang dijelaskan di atas, dengan kebutuhan modal yang besar, mereka pada hakikatnya tidak sering, bila kata “tidak pernah” terlalu besar dan mengada-ada, berkontestasi untuk kepentingan rakyat. Mereka hanya berkontestasi untuk kepentingan modal politik dan diri sendiri.
Demikian juga kepala daerah. Seperti yang kita perhatikan, dikala masyarakat tertimpa musibah kesehatan dan bencana alam, kepada daerah malah berkelahi dengan kata kunci 17 Milliar. Dan kepala daerah Aceh Tengah selama ini berasal dari partai politik tertentu.
Pemuda menentukan kandidat sendiri.
Alternatifnya adalah menentukan secara massal calon kepala daerah ke depan melalui jalur independen tanpa dukungan koalisi partai politik. Para pemuda dan pemudi dapat melakukan penjaringan kandidat yang menurut mereka tepat dan memenuhi kualifikasi.
Kandidat yang terpilih dan pemuda harus menyepakati komitmen politik tertentu sebagai ikatan politik. Kalau perlu komitmen tersebut harus berkekuatan hukum sehingga ketika dia melanggar komitmen politik, dapat diturunkan sewaktu-waktu. Disini, kandidat dan pemuda juga dapat mengatur program kerja yang nyata dan berpihak kepada rakyat sebagai bagian dari komitmen
Calon pemimpin rakyat harus didukung bersama-sama. Pemuda harus mengesampingkan ego dan kepentingan pribadi masa depan. Mendukung kandidat yang diusung harus dengan suka rela.
Pemuda dapat berkontribusi dalam banyak hal pada masa pemilihan. Misalnya, melakukan kampanye di kampong masing-masing, menyebarkan selebaran dukungan melalui lini media online, “menguasai” opini media massa yang semuanya bertujuan untuk mempengaruhi calon pemilih.
Tentu saja, dukungan finansial dari donator tetap dibutuhkan. Tetapi dukungan tersebut tidak boleh terlalu banyak sehingga mengorbankan uang rakyat ketika dia terpilih menjadi kepala daerah. kira-kira, dukungan finansial tersebut diberikan pada takaran yang dapat dikembalikan oleh calon yang diusung hanya dengan setengah gaji bupati. Dukungan juga harus diberikan tanpa ikatan komitmen dan harus jelas dicatat.
Ada beberapa kandidat yang mungkin sudah muncul di publik selama ini dan membuktikan diri peduli terhadap pembangunan dalam bidang yang ditekuni masing-masing. Misalnya, adalah reje Kampong Bale yang terlihat sangat progressif dibandingkan bupati dalam pembangunan pariwisata kampong dan perlindungan hutan.
Selain itu ada Khalisuddin yang telah berjibaku dalam pengembangan olah raga sepeda, arum jeram, media massa online. Disayangkan dia tidak mendapatkan apresiasi yang layak dari Aceh Tengah sehingga dia dilirik oleh Kabupaten tetangga dan diberikan amanah sebagai Camat Samar Kilang. Di sana, dia mulai mengerakan pemuda untuk pembangunan.
Diantaranya adalah pengembangan wisata, pertanian dan peternakan. Tentu, masih banyak kandidat lainnya yang memiliki pengalaman kepemimpinan dan adminitrasi publik yang layak diusung. Pemuda dan pemudi Aceh Tengah tentu lebih mengenal.
Eksperimen seperti ini tentu dapat dilakukan bila pemuda-pemudi yang peduli pada Aceh Tengah dapat bergerak bersama-sama dengan mengeyampingkan perbedaan latar belakang baik belah, organisasi maupun profesi. Pemuda-pemudi tersebut harus dikat oleh persamaan akan pandangan dan cita-cita masa depan masyarakat Aceh Tengah.
Bila ini berhasil, maka fungsi check and balance anggota legislatif akan berjalan Karena Kepala daerah tidak berasal dari salah satu partai politik yang menguasai kursi DPRK. Akan terlihat kemudian siapakah politisi sebenarnya yang mampu menjadi unfluencer, penggerak masyarakat dan memainkan fungsi legislatif. Pada saa itu tentu masyarakat dan anggota DPRK akan bersama-sama melakukan kontroll maksimal terhadap kinerja Kepala Daerah.
Kalau kita terus berharap pada mekanisme pemilihan yang ada, dimana partai politik adalah motor utama, maka perkelahian yang mencoreng muka masyarakat Gayo di dunia maya dan nasional mungkin tidak terjadi lagi. Siapa pun kepala daerah akan mengambil pelajaran penting dari kejadian yang sudah.
Tetapi yang lebih penting dan mendasar daripada itu adalah tentang pembangunan daerah yang berpihak pada rakyat. Bukan pembangunan yang berpihak pada pemberi modal politik, yang menjadi bagian dari muara korupsi, kolusi, dan nepotisme selama ini. Inilah yang membuat pembangunan daerah Aceh Tengah mandek ditengah-tengah gencarnya promosi pariwisata dan kopi yang dilakukan oleh masyarakat secara mandiri.
Pembangun hanya bisa dilakukan bila partisipasi masyarakat tinggi. Bukan hanya menyerahkannya kepada kepala daerah dan wakilnya yang tidak kita kenal. Peran pemuda-pemudi Aceh Tengah sangat penting dalam meletakan pondasi politik yang baik untuk dan demi masa depan Aceh Tengah.
Partai politik tidak akan mampu melakukan ini karena terbatasan dari aturan-aturan partai dan ancaman terhadap popularitas mereka. untuk itu, pemuda-pemudi Aceh Tengah harus berani mengambil inisiatif dan melakukan beragam ekperimen politik untuk kepentingan masa depan masyarakat. []