Kisah Mantan Pasukan GAM Linge : Menswepping TNI di Samarkilang

oleh

Oleh : Fauzan Azima*

Kami tidak menyangka, pada awal darurat militer, pertengahan tahun 2003 bisa berjumpa dengan Panglima GAM D IV Wilayah Linge, Tengku Ismuddin atau Pang Renggali bersama sebagian pasukannya di Jamur Iwih kawasan Kemukiman Bintang.

Kami berharap di daerah yang dipimpin Pang Renggali aman dan kami bisa berlindung di sana. Sebaiknya pasukan Pang Renggali juga berharap di daerah Samarkilang dan Pasir Putih bisa sebagai tempat berlindung. Ternyata tidak ada lagi tempat yang aman bagi pasukan GAM.

Pertemuan yang mengharukan itu adalah kesempatan untuk bercerita dan mengetahui keadaan pasukan. Dari cerita Pang Renggali saya tahu Tengku Sabri atau Pang Hunter sudah syahid karena sakit di Kampung Umang. Semua pasukan total gerilya dan dipecah untuk memudahkan mendapatkan logistik.

Semula kami hanya tiga orang; saya, Aman Sahuri atau Pang Kalang Samarkilang dan Pang Ujang Pane. Sekarang menjadi delapan orang setelah bergabung Pang Renggali, Pawang Samarkilang, Win Umang, Tengku Zulkarnain atau Pang Karem dan Aman Dewi atau Pang Gele Bayak.

Sementara senjata yang kami miliki; satu pucuk AK-56, satu pucuk sniper, satu pistol colt, satu pistol FN dan satu pucuk doble loop. Cukup untuk bertahan.

“Kita istirahat di sini malam ini. Besok perjalanan kita masih panjang dan melelahkan,” kata Pang Gele Bayak.

Pada esok harinya kami berangkat lewat Wih Siyu. Kebetulan di sana banyak umbi janeng. Kami mengolah seadanya sekedar untuk perjalanan ke Pasir Putih.

Sayangnya belum sempurna untuk bisa dikonsumsi, kami sudah memakannya dan tentu saja semua kami mabuk janeng tingkat pertama; badan terasa sakit, kepala migrain dan mulai bersikap bodoh.

Dalam “kebodohan” itu kami menyusun rencana untuk melakukan sweeping terhadap mobil yang melintas dari Kota Pondok Baru ke Samarkilang. Tempat sweeping itu adalah daerah Genting Keken yang jauh dari jangkauan Pos TNI di Samarkilang. Strateginya, dua orang memantau dari jarak 100 meter dari arah Pondok Baru.

“Kalian pantau dengan benar, kalau tidak ada anggota TNI dalam mobil itu, kalian tembak ke atas sekali. Lalu kami akan turun ke jalan. Namun kalau ada anggota TNI, maka diam saja, tentu kami pun tidak akan turun,” perintah Pang Renggali sore itu.

Sayup-sayup dari kejauhan sudah terdengar mobil milik Ateng, satu-satunya angkutan ke Samarkilang. Hati kami mulai berdebar. Semakin dekat mobil itu, semakin kencang degup jantung kami. Namun ada keyakinan yang membangkitkan semangat; impian tidak akan didapat dengan gratis, dia harus diraih dengan perjuangan.

Dooor…terdengar suara tembakan AK-56 menggema di lembah gunung Bur Temun itu. Pang Karem melompat tepat di depan mobil itu dan menghadapnya dengan senjata Sniper, tetapi mobil itu malah tancap gas dan hampir saja menabraknya. Saya dan Pang Renggali bersiap turun ke jalan.

Tiba-tiba rentetan tembakan SS-1 menyasar ke arah kami. Kami berlari menyelamatkan diri ke arah pematang. Sesekali musuh melepas pelontar TP yang jaraknya sekitar empat meter meledak di atas kepala kami. Suaranya menggelegar dan memekakkan telinga.

Terdengar sekali suara senjata sniper milik Pang Karem, sejenak suara senjata TNI berhenti, namun selanjutnya tembakan demi tembakan terus berlangsung.

Setelah jauh dari jangkauan senjata musuh, kami menunggu Pang Karem dengan penuh khawatir. Rasanya sudah lama menunggu, tapi belum juga muncul.

Kami semakin khawatir. Hujan mulai turun dan hari mulai gelap. Dari kejauhan tampak bayangan, kami meyakini itu Pang Karem. Kami menghampirinya dan memeluknya.

“Ama, ternyata penumpang mobil itu banyak TNI. Saya ditembaki dari jarak dekat. Saya melompat ke semak-semak dan terpaksa melepas sepatu karena susah berlari dengan sepatu boots, ditambah senjata sniper ini larasnya terlalu panjang,” kata Pang Karem menahan kesedihan.

“Sabar Pang Karem! Yang penting semua kita selamat. Ayo kita terus berjalan sampai ke puncak. Di sana kita istirahat,” ajak saya membesarkan hatinya.

Sementara Pang Kalang dan Pang Ujang Pane yang merasa bersalah melepas tembakan, berkali-kali memohon maaf karena menurut penglihatan mereka yakin tidak ada TNI dalam mobil itu.

“Langkah kita tidak baik hari ini. Jangan menyalahkan diri. Ini salah kita semua,” saya berusaha menenangkan situasi. Saya memberi kode kepada Pang Gele Bayak sebagai orang yang paling tua untuk memberi nasehat yang membangkitkan semangat kepada pasukan.

Malam mulai gelap! kami mendirikan bivak sederhana. Suara binatang malam bersahutan menemani malam kami yang dingin, lapar dan sedih. Kami semua diam, masing-masing larut dalam fikir dan dzikir.

“Apakah ada yang lebih menderita dari kami malam ini?” tanya hati saya.

(Mendale, Ahad, 7 Juni 2020)

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.