Bener Mengganti Meriah?

oleh

Oleh : DR. Marah Halim, S.Ag., M.Ag., MH*

Kita masyarakat Gayo, bolehlah berbangga hati dengan semakin harumnya wangi kopi Gayo, dimana-mana kontes dapat menempa nama. Juga bolehlah berpuas hati bahwa Indikasi Geografis (IG) kopi Gayo sudah dalam genggaman. Juga sebutan Gayo Highland (dataran tinggi Gayo) yang tentunya menyaingi Dataran Tinggi Golan di Syria; untuk melaqabi kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah.

Akan tetapi, but and however, seandainya kolega anda dari Suriname bertanya, “dimana persisnya Gayo, tolong tunjukkan di globe (Bola Peta Dunia)”, maka sudah pasti wilayah yang paling mudah ditunjukkan adalah Kabupaten Gayo Lues, sedangkan untuk menjelaskan Aceh Tengah dan Bener Meriah juga Gayo, anda mungkin akan memberikan penjelasan yang agak panjang untuk sesegera mungkin meredam persepsi yang mulai tumbuh di benak kolega anda itu yang mengarah ke sepertinya the real Gayo adalah Gayo Lues, dua kabupaten tetangganya cuma pinggiran atau penyangga Gayo Lues saja.

Mungkin asumsi penulis ini salah, tapi sepertinya begitulah adanya. Jadi, segayo-gayonya Aceh Tengah dan Meriah tetaplah tidak bisa ditunjukkan di peta dunia (Globe), yang duduk manis di peta dunia adalah Gayo Lues, ya, untung saja ada Gayo Lues sehingga semua kita turut merasa ada di dalamnya.

Gayo Lues-lah yang dengan penuh percaya diri dan berjiwa besar menepuk dadanya kepada dunia dengan menabalkan kata Gayo di depan nama kabupatennya, sementara Kabupaten Aceh Tengah mengalami inferiority complex, bersembunyi di balik “keredek” nama provinsi, sama seperti beberapa kabupaten lain yang menabalkan kata Aceh di depan nama kabupatennya dan menambahkan nama lain di belakang nama Aceh, misalnya Aceh Singkil dan Aceh Tamiang, namun belumlah cukup untuk menghilangkan kesan minder alias tidak pede.

Kabupaten-kabupaten lain di Aceh yang memilih arah mata angin di belakang kata Aceh, seperti Aceh Barat, Aceh Timur, dan sebagainya, juga dapat dianggap tidak cukup punya prinsip. Yang sama dengan Gayo Lues dari segi superioritas adalah Kabupaten Pidie, Pidie Jaya, dan Bireun yang sejak awal berdirinya keukeuh tidak mencantumkan nama Aceh di depan nama kabupatennya.

Dari semua kabupaten itu, hanya nama kabupaten Bener Meriah yang agak ganjil karena diklaim diadopsi dari nama tokoh dari kerajaan yang merintis peradaban di Gayo. Tokoh yang dimaksud merupakan korban konflik politik yang tentu saja layak dikenang tapi hendaknya bukan untuk ditabalkan menjadi nama kabupaten, karena nama kerajaannya sendiri jauh lebih layak dan akomodatif untuk menggambarkan eksistensi Gayo.

Hingga kini kita sulit menebak apa yang ada di benak para founding fathers ketika merumuskan nama Kabupaten Bener Meriah itu. Seingat penulis prosesnya sangat cepat dan terkesan tertutup, tidak ada hearing dengan masyarakat.

Orang luar yang pertama mendengar atau membaca nama kabupaten Bener Meriah rata-rata langsung beranggapan bahwa nama itu adalah kata majemuk gabungan kata “bener” dan “meriah”; dugaan mereka “bener” itu adalah benar seperti logat Betawi yang cenderung berbunyi “e”; dan “meriah” berarti meriah sebagaimana istilah lazimnya dalam bahasa Indonesia untuk menggambarkan suasana yang meriah.

Hal ini sulit untuk diluruskan sekaligus tidak ada waktu untuk menjelaskannya. Orang mungkin juga tidak perlu penjelasan karena kedua kata itu lazim digunakan dalam bahasa Indonesia, hanya dalam hati mungkin mereka merasa aneh, kok nama kabupaten kedengarannya lucu. Karena itu, setiap orang yang mengaku berasal dari Bener Meriah, kerap menjadi korban “olol”, setidaknya celetukan “eh, meriah bener, ya” sering terdengar meski mungkin untuk bercanda. Penulis yang pernah mengalaminya hanya bisa nyengir dan memendam jengkel.

Dalam satu obrolan (chat) di Facebook antara penulis dengan seorang tokoh pemuda dari salah satu kabupaten berkaitan status yang penulis angkat terkait perlunya perubahan nama kabupaten Bener Meriah, penulis menyatakan alangkah baiknya jika nama Aceh cukuplah untuk nama provinsi saja, sebab menurut satu teori, kata Aceh merupakan nama untuk mengakomodir atau menggambarkan berbagai suku bangsa yang menghuni Aceh (Arab, China, Eropa, dan Hindia).

Selanjutnya penulis menekankan, nama kabupaten/kota sebaiknya dipilih nama yang mencerminkan identitas yang membuat bangga orang-orangnya; nama kabupaten Pidie, Pidie Jaya, Bireuen, adalah diantara nama kabupaten yang sudah tepat.

Mengapa harus Gayo?

Memanglah Shakespeare berkata “what’s in a name”, apalah arti sebuah nama, tapi ternyata setiap benda pasti ada namanya, konon lagi sebuah daerah yang di dalamnya hidup manusia dengan segenap identitas dan nilai-nilai kemanusiaanya. Dalam ajaran Islam, nama apapun apalagi nama manusia haruslah mencerminkan nilai-nilai baik atau mengandung harapan atau do’a untuk kebaikan bersama.

Begitu kita menyebut suatu nama, maka nilai baik yang terkandung dalam nama itu akan terasa dan hidup. Hingga saat ini mungkin tidak ada orang yang memberi nama anaknya dengan nama Fir’aun, Qarun, atau Namruz karena nama itu adalah nama orang yang dikutuk oleh Allah dalam al-Qur’an.

Nama-nama itu kerap digunakan orang sebagai umpatan atau makian saja untuk menggambarkan karakter jahat orang yang dimaksudnya. Juga tidak ada nama tempat yang mengadopsi nama tempat yang terbukti dalam sejarah mengalami peristiwa buruk.

Mengapa harus Gayo? Jika ada orang yang mempertanyakan demikian, maka baliklah bertanya mengapa harus Aceh? Mengapa harus Jawa, mengapa harus Madura, dan seterusnya, sebab dia harus diberitahu bahwa bukan sedikit nama daerah yang dinamakan berdasarkan suku bangsa yang pertama hidup disana, karena kehadiran manusia sekaligus merupakan kehadiran peradaban yang menggantikan “peradaban” hewan-hewan buas.

Mendesakkan kata Gayo bukanlah egoisme yang seakan mengabaikan eksistensi saudara-saudara etnis lain yang kini berkongsi hidup di Gayo, ini semata-mata merupakan tribute (penghargaan) kepada entah, muyang, datu yang telah “berkejang payah” membuka mata peradaban di Gayo dari rimba belantara menjadi kota (madinah), menaklukkan gunung dan bukit yang terjal hingga panorama Gayo seperti yang tersaji saat ini.

Menabalkan nama Gayo semata-mata bahkan sudah sepantasnya sebagai “in memoriam” dan do’a untuk mereka yang berjasa, meski dalam kenyataan kini, jantung Gayo kota Takengon di Aceh Tengah pun sesungguhnya tidak lagi didominasi etnis pembuka (al-fatih) ini, tapi etnis Gayo tidak pernah mempermasalahkan, mari saja bersama membangun Gayo.

Pemahaman ini harus pagi-pagi kita berikan agar tidak ada kecurigaan apalagi sakit hati yang tidak pada tempatnya berkaitan dengan wacana pergantian nama Kabupaten Bener Meriah.

Momentum yang tepat

Jika memang masyarakat Gayo di Bener Meriah berkeinginan untuk mengembalikan nama kabupaten ini kepada identitas aslinya, maka saat inilah momentumnya. Saat ini kepemimpinan Aceh dipegang oleh putra Gayo, maka tidak ada kesulitan untuk menjelaskan alasan apa nama kabupaten itu harus diganti.

Merujuk ke berita yang diangkat oleh Lintas Gayo, ketika gagasan ini disampaikan pada saat Plt. Gubernur, Nova Iriansyah, berada di Gayo beberapa hari yang lalu (Selasa, 02 Juni 2020), beliau meresponnya cukup antusias. Mengapa? Dugaan kita tentu karena beliau paham benar arah dan makna di balik aspirasi itu.

Secara yuridis, pergantian nama kabupaten atau kota memang dimungkinkan oleh UU Pemerintahan Daerah (UU 23 Tahun 2014). Hal ini diatur dalam Bagian Ketiga Penyesuaian Daerah Pasal 48 yang berbunyi: (1) Penyesuaian Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (3) berupa: a. perubahan batas wilayah Daerah; b. perubahan nama Daerah; c. pemberian nama dan perubahan nama bagian rupa bumi; d. pemindahan ibu kota; dan/atau e. perubahan nama ibu kota.

Selanjutnya pada ayat (2) dinyatakan, perubahan batas wilayah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a ditetapkan dengan undang-undang. Ayat (3) Perubahan nama Daerah, pemberian nama dan perubahan nama bagian rupa bumi, pemindahan ibu kota, serta perubahan nama ibu kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b sampai dengan huruf e ditetapkan dengan peraturan pemerintah. Jadi, dari sisi legislasi dan regulasi yang menjadi dasar tidak ada halangan untuk mengganti nama sebuah provinsi dan kabupaten/kota.

Menutup pengajian ini, lantas nama apa kiranya yang paling layak untuk menggantikan nama Bener Meriah? Beberapa tahun lalu dalam diskusi-diskusi seputar wacana ini, penulis sendiri menggarisbawahi bahwa kata “Gayo” mutlak harus dicantumkan sebagai nama depan kabupaten, sedangkan nama belakangnya dapat memilih sesuatu istilah yang merujuk kepada sejarah atau suatu harapan dan cita-cita di masa depan.

Nama seperti Gayo Linge, Gayo Lut, atau Gayo Deret adalah nama-nama yang cukup berisi untuk mengimbangi nama Gayo Lues yang sangat sarat kebanggaan dan kepercayaan diri.

Alangkah indahnya jika dalam Globe terpampang nama Dataran Tinggi Gayo yang di dalamnya ada tiga (atau bahkan lima, why not?) nama kabupaten Gayo, yaitu Gayo Linge, Gayo Lut, Gayo Lues, Gayo Alas, dan Gayo Kalul/Serbejadi. Jika ini terjadi, maka seandainya suatu saat takdir menjadikan wilayah tengah menjadi provinsi, maka nama yang tepat bukanlah provinsi Aceh Leuser Antara, tetapi provinsi Gayo atau provinsi Gayo Antara, semoga!

*Urang Gayo yang berdomisili di Banda Aceh

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.