Bulan Syawal dalam Dekapan Musibah

oleh

Oleh : Dr. Hamdan, MA*

Bulan suci Ramadan 1441 yang sesenantiasa kita rindukan kehadirannya kini kembali pergi. Kepergiannya diiringi isak tangis dari mereka yang mencintainya.

Baru sekejap kita merasakan indahnya bulan itu dengan segala keutamaanya yang semakin mempertebal keimanan dan ketaqwaan, namun seiring dengan berjalannya waktu maka perpisahanpun terjadilah dengan tetap berharap semoga kembali merasakan indahnya ramadan selanjutnya di 1442 H.

Meski dalam kesedihahan karena perpisahan itu, namun ada kebahagiaan yang tergambar dalam wajah-wajah orang yang beriman, suatu kebahgiaan yang tidak direkayasa, yakni kebahamadhan dengan penuh makna, meski tak dapat dipungkiri banyak pula yang merasakan kebahagiaan karena balutan materi dan pakaian yang melimpah, namun kebahagiaan itu tidaklah hakiki namun hanya bersifat temporer.

Orang yang beriman mendapatkan kebahagiaan dari berbagai sisi. Dari sisi jasmani ia merasakan kebahagiaan karena telah diperbolehkan untuk berbuka, disisi lainnya ia merasakan kebahagian rohani, kebahagiaan yang berasal dari jiwa yang semakin terlatih semakin dekat dengan Tuhannya, dan itulah kebahagian hakiki.
Bertepatan dengan berahirnya ramadhan maka lumrah bagi kita jika pada hari itu yang merupakan hari raya Idul Fitri dirayakan dengan beragam kegiatan yang menggambarkan kebahagian kita.

Dan diantara hal yang cukup terlihat di negeri kita adalah adanya upaya untuk terus mempererat silaturrahmi baik dengan keluarga dan dan sesama muslim baik yang dekat mamupun jauh, sehingga kita melihat mudik yang direncanakan jauh-jauh hari sebelum datangnya Ramadhan tiba.

Banyak diantara kita yang selama ini berada jauh dari keluarga sengaja mengadakan persiapan khusus untuk mennyambut hari nan fitri ini untuk mengadakan silaturrahmi terhadap orang dikampung halaman.

Namun pada bulan Syawal 1441 H kita merasakan perayaan Idul Fitri yang berbeda dengan tahun tahun sebelumnya, Jika biasanya kita menyaksikan acara televisi yang sibuk memberitakan arus mudik dan balik maka pada tahun ini lebih banyak didisi dengan beragam informasi yang menggambarkan Idul Fitri dalam balutan musibah.

Musibah yang kita hadapi kali ini cukuplah beragam bentuk, Wabah Covid 19 yang melanda telah menjadikan banyak orang kehilangan orang yang dicintainya yang bahkan entah sampai bila berhentinya, juga musibah banjir yang melanda berbagai penjuru negeri dari pulau jawa hingga Sulawesi bahkan Sumatera. Tak perlu jauh, dalam Ramadhan ini warga Aceh Tengah juga dikejutkan dengan adanya banjir bandang di daerah Paya Tumpi Aceh Tengah.

Yang paling terasa dalah musibah wabah Covid-19 yang mendunia yang telah memakan korban kematian yang tidak sedikit termasuk di negara kita yang mayoritas muslim. Musibah ini tidak saja menyebabkan kematian yang ditakuti namun imbas dari adanya virus ini menyebabkan diberlakukannya beragam peraturan yang bertujuaan untuk memutuskan mata rantai penyebaran virus-19 tersebut.

Meskipun Aceh hingga saat ini bukanlah daerah yang dikatagorikan dengan daerah zona merah namun disebabkan untuk mengantisipasi penyebaran tersebut maka Social Distancing tetap diberlakukan, hal ini tentunya mempengaruhi kurang berjalannya roda perekonomian masyarakat. Ada beragam sektor kehidupan terutama sektor perekonomian yang terdampak, bukan saja dirasakan golongan ekonomi lemah tapi juja mereka yang tergolong mapan secara ekonomi.

Jika kita meninjau dari bahasa, musibah berasal dari bahasa Arab yang sering disinonimkan dengan bala’, fitnah (ujian) dan juga azab; yang secara kebahasaan diartikan sebagai apa saja yang menimpa. Pada dasarnya jika dilihat dari bahasa, maka apa saja yang menimpa seseorang apakah hal tersebut baik ataupun buruk itulah musibah.

Sementara dalam bahasa Indonesia kata musibah sudah mengalami penyempitan yaitu apa saja yang menimpa seseorang berupa kesedihan maupun kemalangan. Musibah disini diartikan sebagai bencana dan kesedihan yang dialami oleh manusia dimana manusia itu tidak suka jika hal tersebut terjadi pada diri mereka.

Tentu saja tidak ada yang menyukai musibah terjadi pada diri mereka apalagi pada moment Syawal yang seharusnya dipenuhi oleh kegembiraan dan kebahagiaan namun jika kita merujuk kepada ayat al-quran surah al-Baqarah ayat 155 yang artinya ”Sungguh kami akan mencobamu dengan sesuatu berupa ketakutan,kelaparan,dan kekurangan harta benda, jiwa dan buah-buahan dan berilah berita gembira terhadap orang yang sabar”.

Dalam teks ayat tersebut dijelaskan bahwa kami akan menguji kamu dengan beragam ujian. Allah menggunakan dalam teks” kami pasti akan mengujimu” dalam kaidah Bahasa Arab dengan kata fiil mudari’ dengan menggunakan lam taukid. Dalam arti ujian yang Allah berikan tampa memandang waktu kapan Allah memberikan musibah tersebut,dan musibah yang akan Allah berikan bersipat pasti kepada siapa saja.

Namun dalam ayat berikutnya ayat 156-157 orang yang mempunyai sifat kesabaran apa saja yang menimpanya berupa musibahb akan berprinsip bahwa segala sesuatunya adalah milik Allah,dan Allah akan memberikan kebaikan berupa rahmath kepada orang-orang yang mempunyai kesabaran,namun sabar adalah salah satu sipat yang bukan sembarang orang dapat melakukannya.

Dalam puasa yang telah dilakukan sifat sabar adalah salah satu sipat yang dilatih untuk bisa diterapkan dalam kehidupan yang nyata,ulama membagi tiga kesabaran yang harus dimiliki oleh seorang mu’min yang diterapkan. Pertama adalah sabar dalam melakukan kebaikan.

Dalam bulan Ramadan seorang mu’min melakukan puasa menahan lapar dan haus dan sesuatu yang membatalkan puasa,disamping itu dianjurkan untuk melakukan beragam amal ibadah kesemuanya memerlulan kesabaran;kedua sabar dalam meninggalkan maksiat,meninggalkan apa saja yang dilarang oleh Allah merupakan latihan yang dilakukan dalam bulan Ramadan, kita meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah, kemudian ada sebagian yang mendapatkan musibah dalam bulan ramadan berarti Allah menuntun orang tersebut agar bersabar dalam menahan penderitaan tersebut.

Hasil pelatihan dalam bulan Ramadan tersebut Seorang muslim di perintahkan oleh Allah untuk memiliki kesabaran dalam melaksanakan perintah-perintah Allah, perintah-perintah Allah begitu banyaknya, seseorang jika tidak memiliki kesabaran akan merasa jenuh dan juga bosan untuk melakukan kebaikan.

Selanjutnya meninggalkan larangan Allah adalah sangat sulit bahkan sebagiaan ulama menjelaskan bahwa meninggalkan sesuatu yang dilarang Allah jauh lebih sulit dari melaksanakan perintah Allah lalu perintahnya untuk melakukan kesabaran dalam musibah yang menimpa.

Namun dalam pandangan agama musibah apapun yang menimpa seseorang apakah rasa takut, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, buah-buahan, penyakit, kehilangan apa saja yang dianggap berharga dalam pandangan agama adalah kecil dan ringan dibandingkan dengan musibah dan fitnah yang menimpa agamanya.

Dalam arti jika seandainya pelaksanaan agama jauh dari kehidupan seseorang,seorang jauh dari tuhannya dan tidak memiliki keinginan untuk melaksanakan perintah Allah dan juga tidak memiliki keinginan untuk menjauhi larangan Allah disamping itu dalam konteks alhlaq tercela dan terpuji tidak mau melakukan prose takhalli (membersihkan diri dari akhlaq tercela)dan takhalli (enggan menghiasi diri dengan akhlaq mulia.

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Huzaimah dan imam Tarmizi dari sahabat Jabir bahwa Rasululullah ketika menaiki minbar mengucapkan Amin tiga kali, hal tersebut mengherankan para sahabat kemudian para sahabat menanyakan perihal tersebut kepada Rasulullah.

Rasulullah menjelaskan ”ketika aku menaiki tangga pertama, jibril datang kepadaku dan berkata, celakalah seorang hamba yangmendapati bulan Ramadan, namun dosanya tidak diampuni maka aku pun berkata aamiin,kemudian Jibril berkata, celakalah seorang hamba, jika mendapati kedua ataupun salah satu orang tuanya masih hidup namun keberadaan orang tuanya tidak menyebabkan dia masuk kedalam surga. Akupun berkata:aamiin, kemudian Jibril kembali berkata:celakalah seorang hamba jika namamu disebut dia tidak berselawat kepadamu akupun berkata, aamiin.

Dalam konteks bulan Ramadhan Allah membukakan pintu-pintu Rahmatnya kepada umat muslim, kendatipun musibah-musibah silih berganti menimpa seseorang ternyata dalam pandangan islam hal tersebut adalah musibah kecil bila dibandingkan dengan musibah ketika munculnya bulan syawal tidak ada perubahan yang berarti bagi seseorang termasuk dosa-dosa yang belum diampuni disebabkan oleh beragam sebab diantara tidak adanya keinginan untuk bertobat dan menyesali segala perbuatannya yang pada bulan Ramadan adalah moment yang sangat tepat.

*Dosen IAIN Ar-Raniry

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.