Oleh : Syah Antoni*
Hutan adalah penyangga utama kehidupan makhluk di bumi, satu-satunya planet tempat hidupnya manusia di rahim bimasakti. Hutan berfungsi menyuplai sumber kehidupan, termasuk air, oksigen, dan tanah yang kaya akan nutrisi.
Mengingat perannya yang begitu vital, sudah semestinya hutan dijaga demi keberlangsungan kehidupan dimuka bumi.
Manusia adalah satu-satunya makhluk yang paling berperan atas berkurangnya jumlah hutan.
Revolusi Industri yang terjadi pada periode antara 1750–1850, merupakan awal dari mimpi buruk bagaimana hutan berubah fungsi.
Perkembangan teknologi yang pesat, pertumbuhan penduduk, serta transisi perekonomian saat itu secara langsung berpengaruh terhadap hilangnya jumlah hutan hampir di seluruh dunia.
Di Indonesia, berbagai macam kepentingan manusia akan potensi hutan menjadi hal utama rusaknya hutan, seperti pembukaan jalan, pembukaan lahan perkebunan baru, serta perambahan isi hutan sebagai bahan baku industri yang bermula pada saat pemerintahan kolonial adalah beberapa penyebabnya, bahkan sampai saat ini jumlah hutan khususnya di Indonesia terus berkurang hari demi hari.
Berdasarkan data yang dirilis tahun 2016, Indonesia kehilangan 684.000 hektar hutan pertahun, hal tersebut disebabkan semakin maraknya perambahan hutan, ilegal loging, kebakaran hutan, dan alih fungsi lahan.
Provinsi paling barat Indonesia kehilangan 41 hektar hutan perharinya, data tersebut dirilis oleh Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh. Masih berdasarkan data tersebut, Aceh Tengah adalah Kabupaten yang paling banyak kehilangan tutupan hutan, yaitu sekitar 2.416 hektar, diikuti Kabupaten Aceh Utara 1.815 hektar dan Kabupaten Aceh Timur 1.547 hektar.
Seperti yang kita ketahui Danau Laut Tawar, terletak di Kabupaten Aceh Tengah adalah hulu Krueng Peusangan (DAS) yang mengalir melintasi lima kabupaten/kota, salah satu anak sungai tersebut adalah Kabupaten Aceh Utara sebagai hilir sungai. Namun, dari data Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh telah menggambarkan bagaimana masa depan hutan sebagai resapan air akan menghilang, dengan semakin berkurangnya pepohonan dan wilayah hutan lindung khususnya di kedua daerah tersebut. Data ini juga menjadi bahan untuk kita bertanya, bagaimana manusia dimasa depan akan bertahan hidup tanpa sumber mata air?. Apakah mungkin manusia bisa hidup tanpa air?
Persoalan perambahan hutan oleh masyarakat untuk perkebunan, atau oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab sebagai pelaku ilegal loging sudah menjadi PR lama dinas terkait. Jika melihat dari kacamata masyarakat, masih sangat minim penindakan dan upaya konkrit oleh pemerintah dan kementerian kehutanan dalam pencegahan penebangan hutan di Provinsi Aceh khususnya. Begitu juga halnya dengan pihak-pihak yang berwenang dalam bidang hukum untuk menindaklanjuti permasalahan hutan, seakan lamban mengurusi genosida rimba yang kian masif dan tidak berkesudahan.
Namun tidak dapat dipungkiri juga, berbagai kendala di lapangan juga menjadi hambatan bagaimana penegakan hukum atas perambahan hutan berjalan lamban. Polisi Hutan sebagai garda terdepan pun seakan dipenuhi dilema. Kurangnya alat operasional baik kendaraan, alat komunikasi, cakupan wilayah yang luas, serta keamanan diri saat melakukan patroli rutin yang kurang, seolah menggambarkan belum tampak keseriusan pemerintah atau instansi-instansi yang terkait, memaksimalkan fungsinya untuk menjaga dan mengelola hutan Aceh.
Patroli serta penindakan pelanggaran di kawasan hutan sangat beresiko. Mulai dari medan yang terkadang belum dikuasai, serangan dari hewan buas, bahkan perlawanan dari para perusak kelestarian hutan (ilegal loging) yang terdiri dari berbagai latar belakang sosial, status dalam pemerintahan, serta berbagai jenjang jabatan dalam tugas kenegaraan.
Hal ini adalah ancaman utama bagaimana petugas pengamanan hutan melakukan tugas mereka. Pemerintah hendaknya memiliki komitmen serta penegakan hukum yang kuat untuk setiap warga negara yang menyalahi aturan dan melakukan penebangan hutan secara ilegal.
Misal, dengan segera merealisasikan wacana pengadaan senjata api bagi petugas di garda terdepan, menambah jumlah petugas yang kompeten, memperbanyak peralatan operasional seperti kendaraan, alat komunikasi, serta perbekalan dan pembekalan yang dibutuhkan dan memenuhi standar operasional keamanan petugas di lapangan. Hal ini guna menciptakan negara yang lebih adidaya atas para pelaku pengrusakan hutan yang saat ini terlihat lebih dominan berkuasa.
Secara universal, saat ini kita seperti berada di bawah kran bencana maha dahsyat, yang bila tidak diantisipasi, kran tersebut akan terbuka dan secara otomatis merugikan manusia. Bencana alam seperti banjir, erosi, dan abrasi yang dulu dikira hanyalah dongeng bagi beberapa orang, kini mulai tampak nyata wujudnya.
Sulitnya mendapatkan air bersih, polusi yang semakin meningkat mengotori udara, meningkatnya jumlah hama, timbulnya beberapa penyakit berbahaya, nyatanya belum mampu mengubah “mindset” masyarakat dalam memahami arti baiknya menjaga hutan, pentingnya menjadi bagian dari ekosistem bukan sebagai pusat ekosistem itu sendiri dan akibat yang ditimbulkan bila hutan kian sakit (red.rusak).
Demikian juga dengan pemerintah yang terkesan masih enggan menerapkan kebijakan-kebijakan pro lingkungan. Hal tersebut terlihat dari beberapa contoh kondisi lingkungan Aceh saat ini, seperti, rutinitas penurunan status kawasan, pembentukan undang-undang pro tambang, serta dihilangkannya bagian edukasi tentang lingkungan pada pelajaran di sekolah-sekolah.
Tidak ada cara lain, mengingat dampak negatif yang akan didapat masyarakat di masa depan, masyarakat harus cepat menjemput sendiri kesadarannya. Minimal dengan memberi edukasi pada orang terdekat dan masyarakat sekitar tentang pentingnya peran hutan bagi manusia sejak dini, melakukan aksi nyata dengan bersama-sama menjaga hutan, serta aktif menanam pohon.
Beberapa riwayat mengatakan bahwa kezaliman suatu rezim hanya bisa diruntuhkan oleh benturan rakyatnya (People Power). Bila masyarakat bersatu bahu membahu menjaga hutan, maka besar kemungkinan hutan tersebut akan terus lestari.
Mari kita renungkan salah satu pepatah suku Indian, “ Ketika pohon terakhir ditebang, ketika sungai terakhir dikosongkan, ketika ikan terakhir ditangkap, barulah manusia akan menyadari bahwa dia tidak dapat memakan uang”.
Jangan sampai generasi kita dimasa yang akan datang membuktikan bahwasanya pepatah suku Indian tersebut benar adanya. Mari mencintai pohon dan hutan, mencintai pohon dan hutan adalah mencintai hidup.
*Penulis adalah Kabid Humas di Pokdarwis Origon Tingkem