Banjir Teluk Halban Tamiang, Dimana Tanggung Jawab Pekebun Sawit?

oleh

Oleh : Fauzan Azima*

Di Aceh Tamiang hampir tidak ada tempat yang tidak ditumbuhi sawit. Dari gunung sampai ke bibir pantai tumbuhan sebagai dasar minyak goreng itu telah menjadi “pandemi” di kabupaten yang berbatasan dengan Provinsi Sumatera Utara.

Sawit menjadi gaya hidup di Aceh Tamiang. Siapa pejabat atau pengusaha yang tidak punya kebun sawit serasa tidak sah hidup di negeri para “Datok Penghulu” yang dibelah oleh aliran sungai Tamiang.

Sawit menjadi berkah juga bencana bagi rakyat Tamiang. Bagi pemilik kebun dan buruh, sawit adalah sumber hidupnya dan bagi pemerintahan setempat menjadi PAD terbesar. Sayangnya bagi lingkungan menjadi masalah. Terutama salah satu penyebab banjir di Kabupaten Aceh Tamiang.

Biasa banjir besar di Tamiang siklus enam tahunan. Terakhir tahun 2006. BPKEL sebagai badan pemerintah non struktural memutus mata rantai siklus itu dengan mereboisasi hutan KEL di hulu sungai Tamiang yang sudah ditanami sawit.

Hasilnya pada tahun-tahun berikutnya serta pada tahun 2012 walaupun curah hujan cukup tinggi, tetapi tidak ada lagi banjir besar. Kecuali di daerah hilir seperti Kampung Teluk Halban Kecamatan Bendahara yang berada di hilir sungai Tamiang. Bahkan kalau tidak banjir pun sebuah keajaiban, kecuali dilakukan pencegahan banjir secara keseluruhan.

Pencegahan itu adalah membangun tembok atau tanggul di sepanjang pinggir sungai, membangun rumah panggung sekurang-kurangnya 1,5 meter tingginya dan pengerukan sedimen pasir yang hanyut dari hulu ke hilir.

Seluruh upaya pencegahan itu harusnya ditanggung oleh pekebun sawit dari dana CSR yang diwajibkan kepada mereka. Dilihat dari luasan dan keuntungan pekebun sawit di Aceh Tamiang, kalau mereka jujur, maka banjir tahunan di Tamiang bisa teratasi dengan dana tanggung jawab perusahaan sebesar satu persen.

(Tamiang, 19 Mei 2020)

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.