Puasa dan Kezuhudan

oleh

Oleh : Johansyah*

Sebuah aksioma tentunya ketika kita mempersepsikan ibadah puasa sebagai proses tarbiyah ruhiyah yang komplit. Beragam nilai edukasi dapat digali dari ibadah mulia ini. Salah satu nilai edukasi yang dimaksud adalah muatan nilai sufistik, yaitu zuhud. Berikut akan kita ulas pengertian dan bagaimana puasa memformulasi jiwa kita agar menjadi pribadi yang zuhud.

Menurut ibnu Taimiyah, dalam Majmu’ al-fatawa, zuhud yang sesuai dengan syari’at adalah meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat untuk akhiratnya dan meyakini apa yang di sisi Allah itu lebih baik. Dalam situs al-Manhaj dijelaskan ada tiga hal yang merupakan pemaknaan zuhud; pertama, hendaknya seseorang lebih yakin apa-apa yang di sisi Allah dari pada apa yang dimilikinya.

Dia tidak menggantungkan harapan dan kekhawatiran terhadap makhluk. Sikap seperti ini akan menuntunnya untuk menjauhi cara-cara mencari rejeki yang ditempuh dengan cara yang salah.

Kedua, jika seseorang ditimpakan musibah atau bencana dalam berbagai bentuknya, dia lebih senang mendapat pahala musibah itu dari pada apa yang hilang dari hadapannya berupa materi kembali lagi dia dapatkan. Seperti yang kita alami tahun ini, musibah bertubi-tubi menimpa.

Ketika kita ridha menerima musibah itu dan meyakini bahwa itu lebih baik, ini dapat dikategorikan pada kezuhudan hati. Sikap hati seperti ini tentu tidak mudah.

Ketiga, pujian maupun hinaan orang tidak berpengaruh sama sekali baginya selama itu dalam kebenaran. Dia sangat takut kalau Allah mencela perilakunya, dan dia sangat senang kalau pujian itu datang dari-Nya. Kebanyakan manusia melakukan sesuatu dengan harapan mendapat pujian dari manusia.

Sebaliknya dia tidak ingin dihina manusia, tapi membiarkan laknat Allah atas perilakunya. Dia lebih memilih dipuji manusia dari pada dipuji Allah.

Ina salma Febriani, di rubrik Hikmah Republika (20/02/16), menampilkan beberapa makna zuhud. Dari beberapa pengertian, ada satu pengertian yang menurutnya relevan untuk diterapkan dalam kehidupan masa kini.

Yakni pengertian zuhud menurut Hasan Ibn Ali Bin Abi Thalib sebagaimana dikutib oleh Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, ialah zuhud di dunia bukan berarti mengaharamkan yang halal dan menyia-nyiakan harta, tetapi jika engkau meyakini apa yang di tangan Allah lebih baik dari pada apa yang di tanganmu. Jika musibah menimpamu, engkau lebih suka pahalanya dari pada tidak ditimpa musibah sama sekali.

Cara berpikir pragmatis serta orang yang lebih mengandalkan logika bisa jadi menolak konsep zuhud seperti ini dalam kehidupan. Sikap zuhud itu milik mereka yang mengedepankan rasa dari pada logika yang lahir dari kemantapan iman dan kekokohan tauhid.

Lalu kalau ingin memastikan diri apakah kita berada di posisi ini, coba ingat-ingat bagaimana ketika kita ditimpa bencana. Apakah ada rasa sangat kesal, atau kita sangat ridha dengan semua itu?

Berdasakan beberapa makna zuhud di atas, saya berusaha menyederhanakannya. Zuhud itu adalah keridhaan terhadap apa yang diberikan Allah kepada kita. Orang yang zuhud itu bukan berarti tidak menginginkan materi dunia, tapi dia mampu menjadi orang yang bersyukur ketika memilikinya.

Hartanya dimanfaatkan untuk membantu orang yang membutuhkan, zakatnya dia tunaikan, dan tidak merasa sombong dengan limpahan materi yang dimilikinya.

Minsalnya suatu saat seseorang tertimpa musibah; kebakaran, banjir, pencurian, dan yang lainnya, dia pun menyikapinya dengan sabar karena meyakini apa yang dia miliki adalah titipan Allah. Bencana itu hanya salah satu cara Allah untuk mengambil titipannya dari manusia. Dia ridha dengan musibah itu dan hatinya tetap lapang.

Pemahaman tentang zuhud seperti ini penting agar manusia tidak terjebak pada pemahaman yang keliru sehingga salah kaprah menerapkannya dalam kehidupan. Zuhud jangan sampai diidentikkan dengan pakayan lesuh, gubuk reot, tidak berusaha, dan hanya melulu ibadah ritual saja.

Nabi Daud As dan anaknya Nabi Sulaiman As adalah raja yang kaya, tapi dikategorikan zuhud. Demikian halnya dengan Ustman bin Affan yang kaya dan dermawan, tapi dia juga zuhud. Jadi zuhud itu bukanlah meninggalkan keinginan dunia secara total yang pada akhirnya membuat orang malas berusaha.

Zuhud itu adalah keridhaan dan kecerdasan dalam menyikapi nikmat maupun musibah. Kalau menjadi penguasa, jadilah penguasa seperti Nabi Daud dan Nabi Sulaiman, jangan seperti Fir’aun.

Ketika kaya jadilah seperti Utsman bin Affan yang dermawan, jangan seperti Qarun yang menyombongkan diri atau seperti Tsa’labah. Di saat tertimpa musibah, sabalah seperti Nabi Ayub As. Itulah zuhud yang sebenarnya.

Dalam sebuah hadits dikisahkan; ‘dari Abul ‘Abbas Sahl bin Sa’d as-Sa’idi, ia berkata, “Ada seseorang yang datang kepada Rasulullâh Saw lalu berkata, ‘Wahai Rasulullah! Tunjukkan kepadaku satu amalan yang jika aku mengamalkannya maka aku akan dicintai oleh Allah dan dicintai manusia.”

Beliau menjawab, ‘Zuhudlah terhadap dunia, niscaya engkau dicintai Allah dan zuhudlah terhadap apa yang dimiliki manusia, niscaya engkau dicintai manusia’ (HR. Ibnu Majah, termasuk hadits hasan).

Nah, zuhud terhadap dunia yang dapat dipahami dari hadits di atas tidak lain adalah sikap keridhaan terhadap apa yang diberikan Allah kepada manusia. Terutama pandai menempatkan sikap sabar dan sukur sebagaimana yang diuraikan sebelumnya. Ungkapan lainnya, jadikan 2S modal untuk menghadapi S2. 2S adalah sabar dan sukur, dan S2 adalah susah dan senang. Sabar ketika susah, dan sukur ketika senang.

Seseorang yang zuhud itu tidak menjadikan dunia sebagai tujuan, melainkan akhirat yang lebih kekal dan abadi. Firman Allah Swt; ‘sedangkan kamu (orang kafir) lebih memilih kehidupan dunia, padahal kehidupan akhirat itu lebih baik dan lebih kekal’ (QS. al-A’la: 16-17). Dalam ayat lain ditegaskan; ‘wahai manusia, sesungguhnya janji Allah itu benar.

Maka janganlah kamu terpedaya kehidupan dunia, dan jangan sampai (setan) memperdai kamu tentang Allah’ (SQ. Fathir: 5). Namun demikian, bukan berarti dunia dimaknai tiada arti dan tidak perlu mengejar kehidupan dunia. Kita diperintahkan untuk menjaga keseimbangan hidup di dunia dan akhirat.

Untuk itu, semoga di ramadhan yang penuh cobaan ini kita dapat mendidik dan melatih diri menjadi pribadi yang ridha. Bagaimana pun bertubi-tubinya bencana yang datang, kita berusaha meyakini bahwa itu lebih baik di sisi Allah. Ambil hikmahnya. Toh, nikmat yang kita terima jauh lebih banyak jumlahnya dari musibah yang menimpa kita. Semoga bermanfaat. Amin.

*Pegiat Kajian Sosial Keagamaan

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.