Pendidikan Karakter Ala Satu Paket Sedekah

oleh

Oleh: Qusthalani*

Baru-baru ini dunia maya dihebohkan dengan pemberitaan sebuah lembaga negara untuk meminta sumbangan dari jajarannya. Surat yang ditandatangan langsung oieh pimpinan lembaga tersebut jelas tertulis bahwa sumbangan yang tidak mengikat tersebut diperutukkan bagi siswa yang orang tuanya terdampak covid-19.

Sebagaimana kita ketahui bersama siswa kurang mampu, masing-masing memegang Kartu PIP. Para siswa yang memegang kartu ini telah mendapatkan bantuan dari pemerintah dalam bentuk beasiswa. Siswa yatim juga telah mendapatkan santunan dari pemerintah Aceh dari tahun ketahun.

Belum lagi masyarakat kurang mampu telah disuntik dengan dana PKH dan BLT Dana Desa selama 3 bulan kedepan. Beragam bantuan bagi warga kurang mampu telah digelentorkan oleh pemerintah, tokoh poiltik dan beberapa LSM.

Lalu apakah masih urgen, lembaga ini memungut sumbangan lagi dari jajarannya.
Kita harus yakin dan percaya terhadap pemerintah Aceh yang telah menyiapkan anggaran 1,7 Trilyun Rupiah untuk menangani wabah corona. Belum lagi pengalihan beberapa pos anggaran dalam beberapa SKPA untuk membantu percepatan penanganan wabah berbahaya ini (detiknews.com, 2020).

Anggaran sebesar itu sudah sangat membantu masyarakat kurang mampu bertahan hidup selama penyakit tak berwujud ini melanda. Memang tidak cukup, karena ini sifatnya membantu maka harus disesuaikan dengan kondisi kebutuhan utama yang paking mendesak untuk dipenuhi,

Paket Sedekah Ala Lembaga Pendidikan

Apa yang salah dengan paket sumbangan yang diiintruksi langsung dari pejabat eselon II pemerintah Aceh. Berbagai argumen bisa kita baca dengan gamblang di media sosial bahwa ini sebuah penanaman nilai karakter bagi guru aataupun yang terlibat didalamnya.

Ini salah kaprah yang pertama, walaupun para ulama menganjurkan umat Islam untuk memperbanyak sedekah dan berbuat baik secara umum. Pasalnya, ganjaran kebaikan di Bulan Ramadhan dilipatgandakan.

Sebegitu parahkah sudah karakter para pendidik negeri ini, sampai sedekah pun harus diintruksi dengan selembar surat keramat dari pemimpin kita. Perintah paket sedekah harus kalah oleh ilme beut waktu masa remaja dulunya.

Salah kaprah kedua adalah regulasi yang dikeluarkan oleh lembaga tersebut tidak berdasar. Tidak ada dasar hukum dan ketetapan hukum dalam mengeluarkan sebuah perintah memungut sumbangan dan kutipan dari para guru dan jajaran dibawahnya telah diatur oleh undang-undang. Mana yang boleh dikutip, bagaimana prosesnya, dan mana yang tidak boleh.

Salah kaprah selanjutnya adalah efek mikro yang akan ditimbulkan tidak pernah dipikirkan. Dalam Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016 pasal 10 ayat (2) disebutkan bahwa penggalangan dana dan sumber daya pendidikan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbentuk bantuan dan/atau sumbangan, bukan pungutan.

Bantuan dan sumbangan bersifat sukarela, sedangkan pungutan bersifat memaksa.
Artinya ketika ada beberapa pimpinan sekolah memberikan tarif dan ukuran kutipan anggaran, maka itu masuk dalam katagori pungutan. Ini dilarang dalam lembaga pendidikan dan masuk dalam katagori pungutan liar.

Walaupun pimpinan lembaga pendidikan telah mengklarifikasi isi surat dalam bentuk perintah tersebut bahwa ini dalam bentuk sumbangan seiklasnya.

Namun seberapa yakin kita, efek dilapangan tidak ada yang sedang mencari bagian tubuhnya yang hilang dihadapan atasannya. Inilah efek yang sangat berbahaya terjadi ketika pungutan berkedok sumbangan ini dilegalkan.

Robert Kwick (1974) seorang ahli dalam pemahamannya terhadap perilaku menyatakan bahwa perilaku manusia dapat berubah sesuai dengan dorongan dalam perilaku sosial. Jika manusia berharap dipuji dan mendapatkan jabatan yang tinggi, maka dorongan untuk berperilaku negatif akan muncul, Nah ini yang dikhawatirkan terjadi.

Chaos Dampak Tranformasi Local Wisdom

Menurut ahli sosiologi Robert H. Perubahan sosial adalah perubahan yang terjadi dalam fungsi dan struktur masyarakat yang memengaruhi sistem sosial, nilai, sikap, serta perilaku individü dan kelompok. Dampak negatif dapat berupa munculnya perilaku konsumtif, hedonis, sekularisme, maupun westernisasi.

Selain itu, dampak yang ditimbulkan dari perubahan sosial adalah terjadinya disorganisasi atau disintegrasi sosial. Situasi disintegrasi ini akan menyebabkan chaos (kacau) sehingga akan dijumpai anomie (tanpa aturan).

Artinya ketika suatu perilaku yang sudah menjadi nilai-nilai kearifan lokal, kemudian mengalami perubahan sosial akibat menjadi regulasi negara makan efek negatifnya adalah menjadi kekacauan dalam kehidupan bermasyarakat.

Lalu apa hubungannya perintah tersebut dengan nilai-nilai kearifan lokal dan kekacauan ini. Mari kita perhatikan kutipan pernyataan pejabat lembaga pendidikan tersebut pada sebuah media online.

“Beberapa sekolah di Banda Aceh, bertempat di SMKN-5 memberikan bantuan Sembako kepada siswa-siswi dan masyarakat umum di sekitarnya; pada waktu yang berbeda memproduksi dan membagi-bagikan ribuan masker hasil produksi SMKN di Bundaran Simpang-5 dan Bundaran Lambaro. Inisiatif yang kurang lebih sama, juga muncul dari para alumni misalnya Alumni SMAN 3 Banda Aceh yang melakukan penyemprotan disinfektan, memberikan bantuan sembako dan berbagai kegiatan lainnya”

Ini adalah nilai sosial yang sangat bagus, namun ketika sudah diperintahkan oleh lembaga resmi pemerintah dan dituangkan dalam sebuah lembaran kertas, maka nilai kearifan lokal ini sudah berubah menjadi perintah lembaga negara.

Akibatnya, akan banyak efek negatif dilapangan terjadi. Sekolah-sekolah akan berlomba-lomba mengumpulkan terbanyak. Ujung-ujungnya anggaran harus dipungut dari para pendidik negara ini.

Para guru honor provinsi maupun honor sekolah harus mengurut dada ketika kutipan dana 100-200 ribu rupiah harus ditunaikan. Guru PNS pun tak ketinggalan jadi amukan perintah ini. Para guru yang harus berkelahi dengan Bank setiap menerima gaji, ditambah bantuan yang tidak bisa diterima masa pandemi ini akibat label plat merah, diperparah dengan pungutan yang bertarif tersebut.

Padahal seperti kita ketahui bersama para guru juga korban dan terdampak dari pandemi corona ini. Ekonomi para guru baik PNS maupun tidak jangan digeneralisasi. Para guru memiliki kebutuhan yang sama, namun pemasukan yang berbeda. Penghasilan para abdi negara ini, tidak lebih besar dari masyarakat nelayan maupun petani yang ada.

Menelisik sebuah tulisan Akademisi Universitas Al Muslim Bireuen, kiranya Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota, memiliki waktu untuk melongok ke sektor pendidikan.

Pemerintah seharusnya memiliki pola pikir sense of humanity. Mari melihat aktivitas guru di masa pandemi covid-19. Pembelajaran wajib berjalan walau dari rumah, laporan demi laporan pembelajaran dari rumah harus disetor ke pemangku negeri ini.

Harapan besar para pendidik di negeri bertuah ini, para pimpinan sama-sama memperhatikan kebutuhan dan kepentingan pendidikan. Mari menjalankan roda pemerintahan ini sesuai dengan konstitusi dan regulasi yang berlaku karena negara kita adalah negara hukum.

Silakan memberikan himbauan, bukan dalam bentuk perintah jika pemimpin sebuah lembaga pendidikan punya itikad baik untuk mengajari pendidik di negeri ini dengan nilai-nilai pendidikan karakter.

Respon cepat jangan hanya pada kemaslahatan pribadi ataupun kelompok, tetapi juga pada kepentingan umum. Guru juga manusia, bukan seorang malaikat. Nilai karakter seorang pendidik, bukan hanya dalam bentuk satu paket sedekah ramadhan dimasa pandemi covid-19 ini. Semoga!

*Ketua Ikatan Guru Indonesia (IGI) Aceh Utara

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.