Oleh : Sadra Munawar*
Hari ini Ama dan Ine ku sudah siap akan segera berkunjung ke rumah Anan, yang lumayan jauh dari tempat kami tinggal saat ini, Aku masih sibuk dengan hewan peliharaan ku yang setiap pagi dan sore selalu ku berikan sedikit makanan, pagi ini ditambah sedikit pesan kepadanya bahwa aku dalam kurun waktu 7X24 Jam kemungkinan besar tidak bertemu dengannya.
Sayang, Ine dan Ama sudah siap, kami nunggu kamu, adik mu juga udah Ine mandi kan, itu lagi sama Ama Tegur Ine membuat aku mengakhiri percakapan ku dengan kucing kesayanganku.
Wah, Cepat sekali Ne, ini Virgo sedikit lagi makannya, Selesai Ini Win mandi dan kita pergi ya Ne, kan baju sudah Win siapi semalam Jawabku menjelaskan ke Ine, Aku menyebut diriku dengan sebutan Win, jarang sekali aku menyebut nama atau mengatakan kata Aku saat berbicara dengan Ama dan Ine, rasanya lebih sopan jika aku menyebut diriku dengan sebutan Win.
Benarkah Jawab Ine sambil tersenyum, Ine kira baju Win belum, itu udah habis makan si Virgo, air hangat juga udah Ine siapin, mandi lagi Sayang ya Bujuk Ine..
Iya Ne, Win pake baju dibelikan Awan kemarin itu ya Ne Pinta ku, beberapa hari lalu Awan membelikanku baju warna kesukaan ku.
Kebetulan sudah Ine siapkan Sayang Ine seperti tau baju yang ingin aku pakai.
Iya Ne, Win mandi dulu Aku pamit ke Ine untuk segera mandi.
Ngomong-ngomong sebelum lebih jauh bercerita aku akan menjelaskan kepada pembaca sekalian sebagai salah satu suku tertua di Sumatera kami tentu harus menjaga adat dan istiadat, termasuk dari hal yang paling kecil seperti tutur kata dalam kehidupan sehari-hari seperti memanggil Ama untuk Bapak, Ine adalah Ibu, Anan untuk panggilan Nenek, Awan untuk Kakek, Win untuk panggilan anak laki-laki dan Ipak untuk anak perempuan, Pon untuk Paman dan seterusnya begitulah kami menyebutnya dalam bahasa Gayo.
Benar saja, semua sudah disiapkan sama Ine, termasuk sepatu hadiah dari Pon Tian yang diberikan nya saat ulang tahun ke 14, Dia datang jauh-jauh dari negeri seberang hanya untuk memberikan ucapan selamat dan do’a agar aku menjadi anak seperti apa yang dia harapkan.
Pon Tian adalah lelaki yang punya konsep pikir yang amat aku sukai, meski aku masih umur 13 saat itu, Pon Tian selalu bicara soal bagaimana kehidupan semasa mereka duduk di bangku Sekolah Menengah Atas dahulu, dirinya selalu menceritakan kepemimpinan para kepala daerah saat itu, para pimpinan Legislatif yang sering sekali di demo oleh mahasiswa berpikir kritis terhadap kebijakan pemerintah.
Dirinya menjelaskan dengan sangat sederhana, bahasa yang mudah sekali aku pahami, seperti kisah Abu Nawas dan Cerita Kancil yang Cerdik, pesan yang hingga hari ini aku ingat adalah Kita mesti memahami bahwa kemanusiaan itu lebih penting dari kepentingan.
Ketika dia menyampaikan pesan yang menjadi sumber semangat ku itu, aku berniat dalam hati jika nanti diberikan kesempatan oleh yang kuasa memimpin negeri ini akan aku terapkan pesan yang ku anggap suci itu.
Pon agak malu menceritakan ini ke kamu Nak, namun kamu mesti pahami, cerita ini kamu jadikan pelajaran untuk mu, kelak jangan sesekali kamu ulangi Kata Pon Tian, dengan nada tenang seperti dia biasa bercerita.
Lalu dia kembali menceritakan bagaimana dahulu dia dipimpin oleh seorang pemimpin yang ketika musibah datang melanda seluruh dunia, penyakit itu berasal dari sebuah kota di negara tetangga kami yaitu China, tepatnya kota Wuhan, saat itu masyarakat memberi nama penyakit Covid – 19 atau Corona Virus Disease 2019, Pon Tian mengatakan kembali bahwa penyakit jenis ini adalah jenis penyakit menular dan gejala paling umum nya Demam, rasa lelah, serta batuk kering, ironinya pemimpin seperti tidak peduli dengan kondisi masyarakatnya.
Enak sekali kopi yang kamu buat Kata Pon Tian memuji kopi sembari menyeruput kopi Khas daerah asal ku dataran tinggi Gayo.
Kemudian dengan wajah tenangnya itu melanjutkan ceritanya, Saat Corona itu datang hampir semua negara merasakan dampak nya, yang paling tampak selain kematian adalah harga-harga sembako yang melambung tinggi, dan sangat menyakitkan sekali tanaman yang ditanam oleh Nenek Buyut ku di tempat asal kami jauh disana hampir tidak berdaya di pasaran.
Mestinya saat itu dengan segala kuasanya pemerintah hadir Win, hadirnya mereka langsung menyentuh nadi masyarakat, namun apalah daya bagai Pungguk merindukan Bulan, hasil tidak didapat menjerit yang dirasa Kata Pon Tian.
Pon Tian beberapa saat lagi segera rehat karena dia baru saja melewati perjalanan amat panjang, namun dia masih melanjutkan cerita nya dengan mengatakan, Tetapi Kakek dan Kekek buyut mu dulu ada Sawah yang bisa di garap Nak, jadi kami tidak khawatir dengan pada masa itu ada istilah Loucdown.
Dirinya menjelaskan bahwa Louckdown adalah situasi yang melarang warga untuk masuk ke suatu tempat karena kondisi darurat. Lockdown juga bisa berarti negara yang menutup perbatasannya, agar tidak ada orang yang masuk atau keluar dari negaranya.
Win, Manusia akan tetap manusia jika hilang rasa kemanusiaannya, moralitas dan akhlaknya akan lenyap seketika, pahami itu ya Kemudian Pon Tian, segera rehat dan aku menugulang-ngulang dan memahami benar apa yang barusan dia sampaikan.
Bang, sudah dititip Virgo sama Om Putrakan Kata Ine di perjalanan menuju rumah Awan.
Sudah dong Ne, sekalian tadi di titip juga Makanannya untuk bekal satu minggu Jelasku.
Mari kita baca do’a sayang, semoga kita sampai dengan selamat Kata Ine. []
*Sadra Munawar, lahir di Kutelah Lane Kecamatan Syiah Utama Samar Kilang Bener Meriah pada tanggal 15 Januari 1997. bermotto hidup “Menjadi terbaik diantara yang baik”, saat ini masih tercatat sebagai mahasiswa di Universitas Malikussaleh (UNIMAL), Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Jurusan Antropologi.