Reformulasi Tujuan Pendidikan Nasional

oleh

Oleh : Johansyah*

Apakah tujuan pendidikan? Ini adalah pertanyaan mendasar ketika kita berdiskusi soal pendidikan. Pertanyaan ini kerap muncul di seminar atau dialog pendidikan. Walaupun perjalanan manusia telah berabad-abad lamanya, namun perumusan tentang tujuan pendidikan dari berbagai perspektifnya tidak pernah final.

Rumusan-rumusan yang dihasilkan-katakan perspektif Islam, maupun perspektif pendidikan nasional, dan rumusan lainnya tetap bersifat tentatif dan terbuka untuk dikritisi dan diperdebatkan. Untuk itu, di hari pendidikan nasional ini, saya fokus pada kajian dan telaa’ahan tujuan pendidikan yang sudah dirumuskan.

Sebagaimana ditegaskan Dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas), pasal (3), pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Ada dua esensi dari tujuan pendidikan nasional yang ditekankan pada UU Sisdiknas di atas, yaitu aspek iman dan takwa yang akan mewujud dalam akhlak mulia, dan aspek ilmu pengetahuan, yang akan mewujud dalam bentuk kreatif, mandiri, demokratis, cakap, dan berilmu. Dengan ungkapan lain, inti dua tujuan pendidikan nasional adalah iman dan takwa (imtak), dan ilmu pengetahuan teknologi (iptek).

Keduanya merupakan entitas yang berjalin kelindan antara satu dengan yang lainnya untuk menghasilkan karya nyata yang berkualitas dan bermanfaat.

Patut di tela’ah ulang

Rumusan tujuan pendidikan yang sudah berusia sekitar 18 tahun ini patut untuk ditela’ah ulang. Bagaimana pun, terjadinya beragam perubahan dari berbagai aspeknya, direspon secara sigap oleh dunia pendidikan.

Salah satu perubahan yang menggeser cara pandang kita terhadap pendidikan saat ini adalah era revolusi industri 4.0.

Era ini di antaranya ditandai dengan Internet of think (IoT), big data, percetakan 3D, artifical inteliigence (AI), kendaraan tanpa pengemudi, rekayasa genetik, robot dan mesin pintar. Lantas apa yang membuat kita gelisah dengan revolusi industri 4.0 ini? Segala lini kehidupan akan didominasi oleh IoT.

Di era ini manusia dan mesin akan bersanding dalam mencari solusi bagi persoalan pendidikan. Mau tidak mau, dunia pendidikan harus mampu merespon dengan cepat dan melakukan adaptasi.

Di antara kekhawatiran dari dampak era industri 4.0 adalah tergantikannya peran manusia oleh tenaga-tenaga robot. Jika ini terjadi, bisa jadi ribuan atau mungkin jutaan kariawan di berbagai perusahaan akan kehilangan pekerjaannya. Di dunia pendidikan sendiri sebagian pihak ada yang memprediksi bahwa bisa jadi guru tidak dibutuhkan lagi.
Namun kiranya tidak segampang itu.

Bagaimana pun keteladanan itu tidak mungkin diperoleh dari pembelajaran online, sehingga peran guru tetap penting dan tidak mungkin tergantikan. Hal ini pula yang ditegaskan Mendikbud, Nadiem Makarim beberapa waktu lalu sebagaimana dilansir harian Republika (31/10/19). Beliau menegaskan bahwa teknologi itu hanya memperbaiki atau meng-enhace, meningkatkan kapasitas guru, bukan untuk replace (menggantikan) posisi guru.

Di pihak lain, patut menjadi kerisauan akademis ketika tujuan pendidikan nasional yang ada pun belum terealisasi dengan baik. Terlebih yang berkaitan dengan aspek akhlak sebagai ruh pendidikan. Banyak fakta yang dapat dirujuk sebagai penguat. Di antaranya tawuran pelajar, pergaulan bebas, narkoba, contek massal, dan berbagai penyimpangan moral lainnya.

Di lingkungan pemerintahan, orang-orang yang notabene adalah lulusan-lulusan dari lembaga pendidikan, kerap kali melakukan berbagai tindak penyimpangan. Salah satu contoh adalah praktik korupsi yang terjadi pada hampir semua instansi pemerintahan.

Bukan saja di lembaga-lembaga yang rawan terjadinya praktik korupsi, tapi lembaga pemerintahan yang berlebel agama pun tidak lepas dari tradisi buruk korupsi. Seperti jual beli jabatan di lingkungan kemeterian Agama yang menyeret ketua umum PPP beberapa waktu lalu. Hal ini menunjukkan bahwa permasalah besar negeri ini adalah masalah kemerosotan akhlak.

Selain isu revolusi industri dan belum optimalnya pendidikan akhlak di dunia pendidikan, ada satu persoalan lain yang mengganjal dalam benak kita. Yakni perhatian dan keseriusan pemerintah dalam memelihara dan melestarikan nilai-nilai kearifan lokal.

Sebagaimana ditegaskan Tilaar (2012: 3), bahwa yang menjadi salah satu akar persoalan pendidikan nasional adalah karena tidak pernah menempatkan budaya pada posisi strategis dalam pendidikan kita.

Kebudayaan hanya merupakan bagian dari program pariwisata dengan orientasi untuk memperoleh devisa yang cukup melalui kegiatan pariwisata. Apa yang ingin ditegaskan di sini, jika ingin meningkatkan kualitas pendidikan, nilai-nilai kearifan lokal harus menjadi landasan dasar yang tidak boleh diabaikan.

Patut Direformulasi

Dengan mengacu pada beberapa isu pendidikan sebagaiman paparan di atas, sejatinya tujuan pendidikan dalam UU Sisdiknas patut untuk direformulasi guna menjawab tantangan dan persoalan pendidikan yang semakin pelik.

Berdasarkan paparan sebelumnya, poin-poin yang patut dipertimbangkan dalam mereformulasi tujuan pendidikan sebagai berikut.

Pertama, pendidikan harus diarahkan pada penguasaan teknologi informatika. Bahkan penguasaan ini bukan lagi soal TIK menjadi mata ajar, akan tetapi menjadi media yang memang harus sudah dikuasai oleh guru dan peserta didik sebagai pendukung utama sistem pembelajaran.

Dalam hal ini, poros utama yang menjadi sasaran optimalisasi pendidikan berbasis teknologi adalah guru. Guru jaman now adalah guru era 4.0 yang wajib menguasai teknologi informasi dengan baik.

Kedua, pendidikan juga harus berusaha melestarikan nilai-nilai kearifan lokal. Sejauh ini, poin-poin dimaksud belum termaktub dalam tujuan pendidikan nasional. Hal ini penting untuk diperhatikan.

Bagaimana pun kearifan lokal itu adalah nilai-nilai yang membentuk kepribadian peserta didik berdasarkan budayanya. Perubahan itu selalu identik dengan pergeseran budaya. Sementara budaya itu adalah bagian dari identitas seseorang. Untuk itu, sejatinya identitas budaya ini tidak hilang seiring perubahan. Jelas, salah satu upaya pelestariannya harus melalui pendidikan.

Terakhir, soal optimalisasi pendidikan akhlak atau secara nasional kita menyebutnya karakter. Aspek ini harus terus dikuatkan dalam dunia pendidikan kita. Akhlak adalah ruh pendidikan. Akhlaklah yang mampu membawa perubahan ke arah yang lebih baik bangsa ini, dengan dibarengi pengetahuan tentunya.

Sudah tidak rahasia lagi, selama ini dunia pendidikan kita masih memerioritaskan aspek pengayaan pengetahuan, mencetak orang cerdas, tapi mereka tidak berakhlak. Inilah beberapa poin yang barangkali layak dipertimbangkan dalam upaya mereformulasi tujuan pendidikan.

Semoga pendidikan nasional ke depan dapat membawa perubahan ke arah Indonesia baru yang lebih baik. Selamat hari pendidikan nasional tahun 2020.

*Pemerhati Pendidikan. Email: Johan.arka@yahoo.co.id.

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.