Oleh : Fauzan Azima*
Sebuah keniscayaan meninggalkan sunnah dan mengambil hukum yang wajib. Seperti situasi masa darurat Covid-19 saat ini.
Merapatkan shaf shalat di mesjid hukumnya sunat di atas sunat, tetapi wajib hukumnya mempertahankan diri untuk hidup. Sehingga shaf shalat boleh dijarangkan menurut jarak aman.
Begitupun berjenggot bagi kaum laki-laki adalah sunnah, tetapi menyelamatkan diri dari lubang kematian adalah wajib. Setara dengan mempertahankan keluarga, nasab, harta dan agama.
Apa masalahnya dengan jenggot Aman Habibie? Pada masa konflik GAM-RI, di awal darurat militer, jenggot Aman Habibie mencapai 20 cm. Siapapun pasukan tidak ambil peduli soal lebat dan panjangnya jenggotnya.
Hanya saja cerita orang kampung kadang berlebihan yang mengatakan jenggot orang GAM panjang-panjang. Padahal hanya Aman Habibie seorang yang berjenggot.
Saya sendiri enggan berjenggot karena merusak ketampanan. Di samping tumbuhnya hanya beberapa helai dan warnanya kurang indah dipandang mata.
“Jangut dagu nama wa warnae lagu tanoh cempege (warna jenggot Ama seperti warna tanah belerang)” kata Pang Jack pada satu waktu di hutan rimba kaki Gunung Geureudong.
Semua pasukan tertawa mendengar pernyataan Pang Jack. Sejak itu saya tidak percaya diri lagi memelihara jenggot. Sementara jenggot Aman Habibie tetap berkibar.
Sampailah pada saat pengepungan TNI/Polri di kawasan perkebunan Bewang, Kecamatan Bintang pada awal tahun 2004. Di tengah kekacauan itu Aman Habibie dituntun Wapang GAM Linge, Halidin Gayo alias Tengku Jangko Mara untuk menyelamatkan diri melalui “rumput jabin”.
Sialnya Aman Habibie sulit bergerak karena jenggotnya terperangkap dan lengket seperti lem di “rumput jabin”. Sementara peluru-peluru musuh terus menyasar mereka. Tengku Jangko Mara melihat situasi itu, di tengah kecamuk perang cepat bertindak, mengambil parang dan memotong jenggot Aman Habibie.
Syukur Aman Habibie selamat tanpa hambatan ke tepi hutan rimba meski melewati hamparan “rumput jabin.”
(Mendale, 27 April 2020)
Catatan:
Dalam tragedi Bewang itu, kaki Wapang Halidin Gayo tembus peluru dan Tengku Muhammad Kasim alias Pang Gerep tertembak pada bagian betis, namun masih sempat meloloskan diri. Sementara Tiga orang pasukan Tengku Armia alias Pang Gundul, Tengku Junaidi alias Pang Rela dan Pang Ujang Mera syahid dalam peristiwa itu.