Belanda Banyak Bohong Soal Perangnya di Aceh

oleh

Oleh : Fauzan Azima*

Seorang wartawan, Helmi Ranggayo syahid di daerah Ketapang, Kecamatan Linge. Beliau diculik dari mobil L-300 yang beliau tumpangi menuju Kota Medan. Kabarnya penculiknya dari kelompok milisi di Aceh Tengah. Semoga Allah mengampuni dosa-dosanya dan diluaskan kuburnya serta menempati maqom yang mulia di sisi-Nya.

Helmi Ranggayo pernah sebagai wartawan pada Koran Sumatera terbitan Kota Medan. Pada awal tahun 1996 sampai dengan tahun 2000, beliau pernah tinggal ke Jakarta. Kecintaannya pada Tanoh Gayo beliau wujudkan dengan membentuk sebuah LSM Kallut. Organisasi yang bergerak dalam bidang lingkungan di Aceh Tengah.

Pada mukaddimah organisasinya beliau menulis, bagaimana kita bisa percaya kepada informasi intelijen Belanda. Tulisan itu dimaksudkan mengkritisi buku-buku penulis Belanda yang menulis tentang Aceh, khususnya tentang Gayo.

Buku-buku Belanda yang kita baca adalah tulisan intelijen yang digunakan untuk kepentingan kelanggengan kekuasaannya di Aceh. Sehingga banyak dibumbui opini yang bertujuan menghancurkan kekuatan Aceh. Khususnya menimbulkan rasa rasis dan fanatisme dalam setiap suku di Aceh.

Darah Belanda dulu mengalir sampai ke anak cucunya sekarang. Dendamnya masih tumbuh subur terhadap Aceh. Sampai karya sastra yang merendahkan tokoh Aceh zaman dulu akan mendapat penghargaan dari lembaga mereka, sebagai wujud kebenciannya kepada Aceh.

Saya sendiri hampir terjebak pada kebanyakan fikiran orang yang mempedomani buku-buku Belanda soal Aceh, khususnya Gayo.

Di Tanoh Gayo, banyak peristiwa, Belanda tidak mencatat korban perang dari pihaknya. Di Buntul Linge, Pang Dewa bin Banta Cut membunuh satu pleton pasukan Belanda karena menggoda anak perempuan raja di sana, sebagai prinsif adat “malu tertawan” yakni harga diri dalam membela kaum perempuan. Belanda-Belanda itu dikuburkan di pinggir di sisi sebelah timur Buntul Linge.

Di Jamat Belanda membuat shock therapy dengan membunuh tiga orang masyarakat. Di Jamat juga mereka membuat tangsi Besar. Dua kali Pasukan Belanda mengalami penyerangan yang dipimpin Inen Mayak Teri dan perempuan petempur terakhir, Daru Cari. Bahkan salah satu perkuburan Belanda disebut “repet” karena dikuburkan secara massal di sana.

Di Pepedang, daerah Wih Pecampuren, sekarang masuk wilayah Kecamatan Mesidah, Kabupaten Bener Meriah, pasukan gabungan pimpinan Tengku Tapa menyerang pos Belanda pada malam hari dengan pedang. Begitupun di Samargading kecamatan Syiah Utama ada Belanda yang tewas, walaupun Tengku Mata’i juga syahid dalam perang akibat pengkhianatan.

Beruntunglah Tengku Tapa tidak sempat tertangkap sehingga Belanda tidak sempat mengabadikannya dalam bentuk foto. Laporan intelijen Belanda kepada pimpinannya bahwa Tengku Tapa digambarkan sebagai orang memiliki kemampuan mistis.

(Mendale, 26 April 2020)
 

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.