Oleh : Fauzan Azima*
Ketika gempa bumi di Gayo, Ketua PMI, Yusuf Kalla datang ke Aceh Tengah dan Bener Meriah pada tanggal 29 Juli 2013 dalam rangka menyantuni para korban gempa.
Ketika kembali ke Jakarta via Bandara Rembele, Bener Meriah, Mantan Wapres RI itu lebih dulu terbang dengan menggunakan pesawat pribadi. Sedangkan staf dan barang-barangnya menyusul penjemputan berikutnya.
Salah satu tas koper Yusuf Kalla mirip dengan tas milik saya. Pang Jack yang bernama asli Darmawan mengira tas saya tertinggal dan langsung membawanya ke rumahnya. Sesampai saya di Bandara Kualanamo, Sumatera Utara, pesawat masih di landasan, Jack sibuk menghubungi saya via handphone.
“Ama, tadi tas koper milik Ama tertinggal di bandara. Sekarang sudah saya amankan di rumah?” Katanya dengan penuh semangat.
“Perasaan sudah saya bawa tadi Jack. Tapi coba periksa isinya?” kata saya penasaran.
“Isinya penuh uang dollar, Ama!” katanya setengah berteriak.
“Simpan saja dulu Jack. Nanti pasti ada yang hubungi,” kata saya datar.
Ternyata tebakan saya benar. Belum lama putus komunikasi dengan Jack. Tiba-tiba handphone saya berdering kembali.
“Maaf Pak Fauzan! Apakah ada tas Pak Yusuf Kalla terbawa oleh Bapak?” tanya stafnya melalui handphone petugas bandara Rembele.
“Oh ya Pak! Maaf, tadi saudara saya salah bawa, beliau kira tas milik saya, Pak. Sekarang saya minta beliau kembalikan ke bandara,” jawab saya.
“Terima kasih banyak Pak Fauzan. Saya mohon ya Pak!” pintanya penuh harap.
“Siap Pak! Mohon dichek ulang. Apakah isinya ada yang kurang,” kata saya.
Saya kembali menghubungi Pang Jack agar segera mengembalikan tas koper milik Yusuf Kalla yang penuh dengan uang dolar tersebut. Tanpa fikir panjang, Pak Jack mengantar kembali tas itu dengan motor RX King warna hitam kesayangannya.
Sesampai di bandara Pang Jack menyerahkan tas koper tersebut kepada staf Yusuf Kalla dan memeriksa isinya dengan disaksikan petugas bandara.
“Terima kasih Pak Fauzan atas bantuannya. Kami sudah periksa tidak ada yang kurang, Pak,” ucapnya di ujung telephone.
“Jack…Jack engkaukah Pasukan GAM paling jujur yang pernah saya kenal,” simpul hati saya.
Betapa tidak! Masih dalam suasana gempa Gayo. Pada saat menjelang megang puasa Ramadhan, Pang Jack sebagai salah seorang panitia penyembelihan sapi bantuan untuk korban gempa. Setelah selesai membagi-bagikan daging sapi, Pang Jack juga mendapat jatah “hak amil” tetapi beliau tidak menerimanya.
“Ini adalah hak para korban gempa. Saya bukan korban gempa. Jadi saya tidak berhak menerimanya,” tegasnya.
Saya banggga pada kejujurannya. Tidak banyak manusia di zaman ini sejujur Pang Jack. Meskipun ada kesempatan beliau tidak kemaruk memanfaatkan kesempatan. Bisa saja beliau meminta imbalan atas bantuannya. Tetapi beliau tidak pernah memikirkannya.
Riwayat hidup beliau sangat berliku. Sebelum masuk Pasukan GAM Wilayah Linge, beliau bertani kopi membantu bibinya di Kampung Jamur Atu. Dalam pasukan selalu menjadi rebutan karena akhlaknya yang mulia. Dari pasukan Sagoe, kemudian menjadi pasukan daerah I, lalu pada Darurat Militer berlaku bagi Aceh, Pang Jack menjadi pasukan Daerah III.
Ketika kami mengevakuasi Muallim ke Wilayah Bateilek di bawah pengawasan Pasukan Syaiful Cage, kami bergabung dengan pasukan Daerah III sebanyak 17 orang, termasuk Pang Jack.
Pang Jack pernah bernama sandi Pang Jelatang, kini tinggal di Samarkilang. Beliau berkebun dan tidak pernah mengeluhkan kehidupannya, meski hidup bersama istri dan kedua anaknya di rumah gubuk beralaskan tanah dan tanpa listrik.
(Mendale, 25 April 2020