Ramadhan dan Aroma Kematian

oleh
(Foto : Khalis) dok. LintasGAYO.co

Oleh : Win Ruhdi Bathin*

Sungguh, aroma kematian pernah kami rasakan berkali-kali. Bukan saja sebab pandemi covid 19 ini. Hanya saja, pandemi ini jelas kambing hitamnya. China.

Bagaimana kami merasakan aroma kematian sampai berkali-kali?. Konplik Aceh dan tsunami. Meniti buih konplik Aceh, memerlukan cara dan strategi sendiri serta dana yang wah.

Demikian juga saat tsunami. Adalah anugrah Allah saja bisa hidup dari hantaman air laut yang mengitervensi daratan kala itu. Air asin melebihi Sunatullahnya. Atas izin Allah. Bandingan kisah bencana tsunami ini, hanya ada di qisasul anbiya.

Saat konplik, berapa sesungguhnya angka kematian? Kematian dan dua yang berseteru. Ditambah rakyat sipil yang berada diantara keduanya.

Konplik yang memakan waktu lama itu adalah aroma kematian setiap hari. Salah ucap, salah beri, salah komunikasi, bisa jadi sebab kematian yang mudah dan murah.

Apakah konplik ini by design? Siapa yang tahu. Bisa jadi, bisa tidak jadi. Skenario pengurangan penduduk? Apapun itu, adalah aroma kematian.

Konplik berakhir paska darurat militer, sipil dan berkah tsunami. Suasanapun berubah. Bagi yang berilmu, mendapat hikmah. Cara pikir dan tindak yang baru. Lebih Islami.

Bagi yang cari untung,selalu ada benefit dari sebuah peristiwa. Hasilkan uang dan kekuasaan. Hidup enak untuk sendiri, keluarga dan kroni.

…..

Aroma kematian pandemi ini, mungkin lebih selektif. Kebanyakan di kota besar dengan interaksi dan tensi tinggi. Dimana wabah ini jauh lebih tidak terdeteksi dan terkontrol.

Penyebaran virus corona ini bisa jadi hampir di semua bagian tempat dan ruang fasilitas umum, hingga ke uang yang jadi alat jual beli. Pindah ke tubuh manusia mencari inangnya. Lalu tumbuh dan berkembang.

Kebanyakan orang tak siap mengantisipasinya. Lalu terjangkit dan mati. Apalagi alat dan bahan medis tak sebanding dengan laju wabah ini. Ada ketidaksiapan manusia.

Ada kekurangan alat dan bahan mengantisipasinya. Mendunialah Covid tahun 2019 ini. Dari Wuhan ke antero plannet bumi yang dihuni manusia. Hingga sekarang akhir April 2020. Berapa sudah yang menemui akhir hidupnya.

Kapan wabah ini berakhir? belum ada yang tahu. Bisa setahun ke depan bahkan lebih. Tergantung seberapa siap kita meniti buih kematian ini.

……

Saat pandemi ini bermula. Dimana keadaan sudah mulai prihatin dan genting. Aktifitas terhenti. Sumber-sumber penghasilan rakyat terancam. Kopi berbuah, harga dibawah setengah harga normal.

Pemerintah Daerah bersama wakil sejahtera rakyat, masih membahas solusinya yang belum ada solusinya. Pun demikian koperasi.

Koperasi-koperasi yang selama ini menjual data petani lengkap dengan KTP-nya, masih buang badan. Belum memberi solusi pasti dengan aksi. Tapi berandai-andai. Jika, umpama, kalau, seandainya. Tak lebih.

Padahal saat ini, kopi sedang panen. Koperasi mengatakan belum ada kontrak beli kopi dengan buyer. Jadi belum bisa beli kopi petani.

Petani kopi didekati, disanjung dan dipakai hanya saat situasi normal dan menguntungkan. Saat pandemi seperti ini, petani kopi sendiri. Sendiri dalam deritanya. Nasib kelam petani kopi.

Beginilah adanya. Orang orang yang berani dilantik dan bersumpah atas nama orang banyak. Agar meyakinkan, berani menyebut nama tuhannya.

Mereka belum punya cara jitu hadapi krisis ekonomi ini, akibat dampak pandemi. Kecuali menjalani protap dan gaya resmi pejabat yang dikawal.

Para petani sudah puasa, sebelum puasa. Puasa ekonomi, puasa harapan dan puasa dilindungi secara penuh dan seluruh.

Ramadhan tahun ini tiba sebulan lebih cepat karena pandemi. Puasa kali ini, tak ada lagi lepat yang menjadi tradisi. Semuanya berubah, seiring aroma kematian baru, wabah covid-19.

Jadi, marilah sebelum terlambat koreksi diri. Sudah berartikah bagi diri, keluarga dan orang banyak yang kita sumpahi. Tak usah malu memaafkan diri. Kalau tobat, mungkin masih gengsi. Apalagi mengundurkan diri.

Minimal, mari perbaiki wudhu, agar mulut dan hidung tak jadi tempat inang virus ini. Mari juga mulai belajar mengaji lagi. Tak apa, walau terbata. Terlalu lama sudah kita membaca politik. Hingga Alqur’an itu berdebu.

Mari syariatkan cara kita berpikir dulu. Agar tindakan lebih tertuntun. Kita ini Islam. Tapi bermazhab sekuler.

Selamat tarawih..
Semoga aroma kematian ini sirna dan menjauh.

Wallahualambissawab

Payaserngi, 23 April 2020

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.