Cut Nyak Dhien dan Keumala Hayati, Sangat Hebat, Tapi Mereka Bukan Pejuang Emansipasi

oleh

Oleh : Win Wan Nur*

Setiap tanggal 21 April, ada fenomena baru di era “Too much information” yang ditandai dengan kehadiran media sosial ini. Keriuhan soal mempertanyakan kelayakan Kartini sebagai simbol emansipasi perempuan di negeri ini.

Rata-rata orang yang menggugat keabsahan sosok Kartini sebagai simbol emansipasi, berargumen kalau Kartini menjadi simbol emansipasi hanya karena dia orang Jawa. Padahal Indonesia bukan hanya jawa.

Hampir selalu, yang menjadi pembanding adalah Cut Nyak Dhien, Keumala Hayati, Cut Meutia sampai ratu-ratu Aceh yang menurut para penggugat ini jauh lebih layak menjadi simbol emansipasi.

Sebab, menurut mereka, tidak seperti Kartini yang berkutat dengan surat menyurat dengan kaum penjajah (kata mereka) Cut Nyak Dhien, sudah mengangkat senjata melawan Belanda. Keumala Hayati yang hidup di masa yang jauh lebih tua, bahkan sudah menjadi laksamana.

Saya, dari dulu tak pernah setuju dengan argumen ini. Kenapa?

Karena menurut saya, memang Kartini lah sosok yang paling tepat menjadi simbol perjuangan emansipasi perempuan.

Alasannya sangat jelas.

Kalau Cut Nyak Dhien dan Keumala Hayati yang kita jadikan sebagai contoh. Benar, tak ada yang bisa memungkiri kalau perempuan Aceh di masa lalu sangat hebat. Tapi, meskipun hebat tak satupun dari mereka berjuang untuk emansipasi.

Perempuan Aceh zaman dulu hebat karena mereka adalah hasil dari tata nilai di masyarakatnya yang memang tidak mempermasalahkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan.

Keumala Hayati menjadi laksamana karena di masa dia hidup, perempuan Aceh tak lagi perlu berjuang untuk mendapatkan kesetaraan.

Keumala Hayati dan juga Cut Nyak Dhien itu seperti Merkel yang menjadi kanselir di Jerman, atau Condoleeza Rice jadi Menteri Luar Negeri di Amerika dulu. Hebat? Sangat hebat. Tapi mereka bukan pejuang kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan.

Mereka adalah perempuan beruntung (dibandingkan Kartini) yang hidup di dalam masyarakat yang tidak membedakan hak laki-laki dan perempuan dalam memberi peran untuk negara. Mereka adalah HASIL alias PRODUK dari tata nilai yang menganut kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakatnya.

Sementara Kartini, dia adalah korban dari masyarakat yang tidak menempatkan perempuan dan laki-laki dalam posisi setara. Kartini melawan itu, melawan dengan sekuat- kuatnya. Lalu, seperti umumnya para pahlawan, dia kalah dalam perjuangannya.

Tapi namanya pahlawan bukan soal kalah menangnya, tapi soal semangat perlawanan yang ditinggalkannya. Kartini mewariskan semangat itu.

Lalu apakah itu artinya Keumala Hayati dan Cut Nyak Dhien tidak mewariskan semangat perlawanan? Tentu saja mereka juga mewariskan semangat perlawanan yang luar biasa. Tapi mereka mewariskan semangat perlawanan yang berbeda, semangat yang sama seperti yang diwariskan pahlawan laki-laki. Bukan khas semangat perlawanan seorang perempuan melawan dominasi dunia laki-laki.

Karena itulah, membandingkan Kartini dengan Cut Nyak Dhien dan Keumala Hayati, benar-benar, “Ndak nyambung. “

Untuk memahami bagaimana Aceh bisa melahirkan sosok seperti Cut Nyak Dhien dan Keumala Hayati, kita harus memahami dulu bagaimana kondisi masyarakat dan kultur yang membentuk mereka.

Pada masa pra kemerdekaan. Tidak seperti di Jawa, kultur yang melahirkan Kartini, dimana perempuan diperlakukan nyaris seperti properti. Di Aceh secara umum, bahkan ratusan tahun sebelum Kartini lahir perempuan sudah merasakan emansipasi.

Di Aceh pada zaman Kartini hidup, bahkan jauh sebelum itu. Perempuan memiliki harga diri sangat tinggi karena saat menikah, perempuan tidak datang tanpa modal.

Perempuan mendapat mahar, iya. Tapi laki-laki yang dinikahinya juga mendapat banyak hadiah dari pihak perempuan. Dan yang terpenting, saat sudah menikah, laki-laki lah yang pindah dan tinggal di rumah perempuan dan beradaptasi dengan adat istiadat yang berlaku di kampung itu.

Inilah sebabnya, mengapa hingga hari ini seorang istri dalam bahasa Aceh disebut Po Rumoh yang artinya PEMILIK RUMAH.

Tidak seperti di Jawa, sebagaimana digambarkan oleh Pramudya dalam novel “Gadis Pantai” di mana perempuan muda yang dinikahi orang kaya sebagai istri kesekian, dengan mudahnya diceraikan begitu saja oleh suaminya ketika dia sudah melahirkan anak perempuan dan diusir pergi dari rumah tempat suaminya tinggal.

Di Aceh pada masa itu, perceraian sangat jarang terjadi. Di negeri ini, yang namanya bercerai itu urusannya kampung dengan kampung, ulee balang dengan ulee balang. Tidak bisa laki-laki, main tinggal perempuan begitu saja tanpa konsekwensi.

Kultur dan budaya Aceh seperti inilah yang melahirkan perempuan-perempuan hebat seperti Keumala Hayati dan Cut Nyak Dhien atau Datu Beru dan Inen Mayak Teri di Gayo.

Soal pendidikan, anak kecil yang baru belajar mengaji, biasanya malah diajar oleh guru-guru mengaji perempuan. Terkait ini, menurut cerita warga Sumedang, Cut Nyak Dhien, di dalam masa pembuangannya di Sumedang juga mengajar mengaji warga setempat.

Jadi kalau kita membahas Aceh di zaman Keumala Hayati dan Cut Nyak Dhien. Ide memperjuangkan emansipasi perempuan adalah sesuatu yang sama sekali asing dan tak dikenal di Aceh dan Gayo.

Pada zaman itu, berbicara perjuangan emansipasi perempuan di Gayo dan di Aceh, sama sia-sianya seperti melempar garam ke laut, laut bertambah asin tidak. Garam habis iya, dan yang melakukannya dipandang masyarakat sebagai orang gila.

Karena itulah, kalau bicara masa itu, jelas di Aceh dan Gayo tak mungkin bisa lahir perempuan dengan perjuangan seperti Kartini. Sebab lingkungannya memang ‘nggak mashook”.

Perempuan Aceh baru mulai mengalami diskriminasi dan membutuhkan perjuangan emansipasi justru pasca kolonial, ketika nilai-nilai lama Aceh mulai ditinggalkan dan Aceh mulai perlahan-lahan mengadopsi nilai keindonesiaan.

Pada masa ini, bercerai, urusannya tidak serumit dulu lagi.

Tidak seperti zaman nenek buyutnya di mana perempuan Aceh yang menikah sangat kuat secara finansial. Perempuan Aceh pasca kolonial dan diperparah di masa Orde Baru, secara finansial pun mulai sangat bergantung pada laki-laki, mirip keadaan perempuan Jawa di masa Kartini.

Sehingga pasca Orde Baru, karena di Aceh dan di Gayo pun mulai mengadopsi nilai-nilai patriarkal (meski tak sekental dalam kultur Jawa.) Belakangan, di Aceh pun mulai bermunculan perempuan yang mengikuti jejak Kartini, memperjuangkan emansipasi kaum mereka sendiri.

Sebab, akhirnya setelah melewati sejarah gilang gemilang, Aceh dan Gayo akhirnya terpaksa harus memperjuangkan emansipasi perempuan, sesuatu yang sangat asing di masa endatu kita dulu.

Pada masa inilah kita mengenal Kartini-kartini versi Aceh dalam wujud kak Suraiya Kamaruzzaman, Sri Wahyuni, Reila Wati dan lain-lain. Seperti Kartini dulu, mereka berjuang untuk emansipasi perempuan.

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.