Jadilah Teladan Bagi Anak-mu

oleh

Oleh : Dr. Hamdan, MA*

Tak dapat dipungkiri bahwa dalam sebuah hadist shahih Rasulullah Saw yang mengatakan; ‘seorang anak yang dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka orangtuanyalah yang meyahudikannya, menasranikannya ataupun memajusikannya’ (hadits).

Ada satu kata yang menarik dicermati dalam hadits ini, yakni fitrah. Ada beragam penafsiran ulama mengenai fithrah tersebut. Salah satu pemikiran ulama yang berkembang adalah bahwa seorang anak pada prinsipnya bersih, suci, dan mempunyai potensi besar untuk menerima kebaikan termasuk kebaikan hidayah Allah.

Dalam lafazh hadist Rasulullah saw tersebut mengunakan redaksi kata kerja. Arti bukan menjadikan sebagai Yahudi, Nasrani ataupun Majusi (penyembah api), akan tetapi adalah meyahudikannya, menasranikannya dan memajusikannya.

Sepintas terpikirkan oleh penulis bahwa Yahudi, Nasrani ataupun Majusi adalah identitas yang mempunyai ajaran dan keyakinan dan sesuatu yang mereka yakini sebagai kebenaran. Sementara dalam Islam mempunyai ajaran yang jauh berbeda dengan ajaran mereka.

Mungkin dalam aspek keyakinan, seseorang tidak mau dan anti menjadikan anak Yahudi, Nasrani ataupun Majusi sebagai identitas keyakinan mereka. Buktinya ternyata banyak seseorang benci dinisbahkan sebagai seorang yahudi, nasrani maupun majusi.

Namun secara perbuatan dan juga ajaran banyak yang menganut dan mengikuti ajaran mereka. Secara tidak langsung hadits Rasulullah saw tersebut menggunakan redaksi kata kerja meyahudikan itu adalah proses berkelanjutan.

Hal yang dikhawatirkan terkadang-sadar ataupun tidak sadar orang tuanya membuat satu proses dengan tindakan yang disadari atau tidak disadari oleh mereka sehingga menjadikan anak mempunyai keyakinan, ajaran, sikap seperti mereka, kendatipun identitas sang anak seorang muslim.

Seorang anak yang dilahirkan hingga dia mengikuti pendidikan dengan orang lain dan di luar rumah; apakah pendidikan formal dan non formal di luar rumah pada umumnya terjadi setelah 12 tahun usianya kendatipun sebelumnya ada mengikuti pendidikan lainnya akan tetapi masih sangat membutuhkan bimbingan kuat dalam semua aspek sang anak.

Kendatipun setelah umur tersebut sang anak masih tetap dalam pengawasan dan didikan orang tuanya akan tetapi kecerdasan dan kecemerlangan mereka dalam menerima dasar kebaikan dari orangtuanya sudah sangat banyak berkurang disebabkan sang anak sudah sangat banyak perhatiannya terhadap dunia luar.

Muhammad Nur Abdul Hafizh Suwaid Dalam bukunya Manhaj Attarbiyyah li thifli menuliskan kata-kata hikmah dipinggir kitab yang beliau karang.

Dia menjelaskan tentang pentingnya segera untuk mendidik anak sebelum mereka segera dewasa dan sebelum kita sibuk,beliau mengatakan; ‘bersegeralah dalam mendidik anak sebelum kalian disibukkan oleh beragam kesibukan sebab makin pandai akal orang dewasa, maka hatinya pun juga semakin sibuk’.

Dari pernyataan beliau jelaslah bahwa akal seorang anak semakin dewasa, semakin sibuk pula hatinya. Menggambarkan masa kecil yang mana akal seorang anak masih lemah sementara kesibukannya masih belum ada adalah moment yang tepat dalam menempanya dengan beragam potensi kebaikan yang ada pada dirinya.

Dalam sebuah artikel penulis di facebook mengenai Parenting Education salah satu poin yang penulis tegaskan bahwa banyak kesalahan yang dilakukan oleh orangtua dalam persoalan pendidikan terhadap sang anak, di mana orang tuanya diharapkan dapat memiliki ilmu pengetahuan ataupun panduan praktis dalam mendidik anak.

Oleh karena itu agar terhindar dari kesalahan yang diistilahkan dengan parenting education yaitu pendidikan menjadi orang tua yang baik, parenting education adalah kewajiban bagi orang tua yang banyak dilupakan.

Melupakan parenting education menyebabkan kesalahan di antaranya adalah orangtua tidak mempunyai kesabaran dalam mendidik anak sendiri sehingga terkadang dalam memerintahkan apapun terhadap sang anak yang dikedepankan adalah marah, marah dan marah.

Betul memang Islam tidak menafikan keberadaan tentang marah dalam mendidik, namun ada tempat dan mekanisme yang berlaku sehingga perlakuan yang tidak baik tersebut menimbulkan efek lain lagi bagi sang anak. Maka apa yang di katakan seseorang dalam guyonan bahwasanya marah-marah menunjukkan ketidakmampuan mendidik adalah tepat.

Ibnu Qayyim, sebagaimana di kutip oleh Suwaid, mengatakan bahwa; ‘barang siapa yang dengan sengaja tidak mengajarkan apa yang bermanfaat bagi anaknya dan meninggalkannya begitu saja berarti dia telah melakukan suatu kejahatan yang sangat besar, kerusakan yang ada dalam anak kebanyakan datang dari sisi orangtuanya, yang meninggalkan mereka dan tidak mengajarkan kewajiban dan larangan’.

Dalam buku Tarbiyah Aulad fi Islam karya Abdullah Nasih Ulwan sebuah buku tentang parenting education yang sangat baik dan juga cukup terkenal yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, ditegaskan bahwa pendidikan anak dalam Islam, menunjukkan seandainya dipahami dari sudut pandang Islam betapa banyaknya orangtua yang menyia-nyiakan sang anak disebabkan kebodohan orangtuanya.

Salah satu yang menjadi fokus utama dalam tulisan ini adalah keteladanan. Dalam dunia dakwah dikenal istilah da’wah bil hal lebih efektif dari da’wah bil lisan. Artinya da’wah dengan perilaku lebih mendominasi dalam upaya mempengaruhi sikap dan prilaku objek dakwah dibandingkan dengan dakwah lisan.

Salah satu yang menjadi kesalahan pendidik terutama orangtua adalah banyaknya perilaku mereka yang tidak sejalan dengan konsep dasar ajaran Islam yang menyebabkan orangtuanya secara langsung atau tidak langsung ataupun sadar ataupun tidak sadar merusak perilaku sang anak.

Seorang pendidik yang berhasil dan juga pendidik yang baik adalah seorang pendidik yang mampu mencari metode yang baik, bagus serta menyenangkan dalam menyampaikan ide-ide dan materi pendidikan kepada anak didiknya, pada dasarnya dalam Islam sudah meletakkan metode yang baik yang tidak perlu dicari dan dibuat lagi dalam menyampaikan ide-ide dan materi pendidikan kepada peserta didik. Salah satu metode yang ada adalah metode keteladanan.

Bagi umat Islam, nabi Muhammad Saw dan juga para pewaris beliau adalah teladan bagi ummatnya dengan perilaku-perilaku yang beliau tunjukkan pada ummat Islam sebagai cerminan ‘alqur’an berjalan’, telah mampu menyedot orang yang sebelumnya mengingkari eksistensi Islam menjadi seorang mukmin sejati.

Sering terjadi pada diri penulis ketika tiba saatnya waktu shalat, kemudian ketika memerintahkan kepada sang anak agar berwudhu’, maka seorang anak yang masih kecil mengatakan; abu udah? itu berarti seandainya kita diperhatikan sudah melakukannya tentunya mereka tidak lagi banyak bertanya.

Alangkah sulitnya orang tuanya untuk memerintahkan sang anak agar menghafal juz 30 saja minsalnya, karena orangtuanya sendiri malas untuk menghapalkan juz tersebut kendatipun pada akhirnya sang anak mampu menghafalnya sebab ada hal lain yang mendorongnya, minsalnya faktor lembaga pendidikan sang anak.

Seorang anak akan belajar berperilaku dengan mencontoh perilaku orang orang yang dekat dengan dirinya. Tidak dapat dipungkiri bahwa orang tuanya adalah sosok yang paling dengan dengan sang anak, pada saat orang tuanya mencontohkan sesuatu yang buruk kemudian dicontohkan oleh mereka bukankah suatu kerugian yang sangat besar? Padahal terkadang kita mau menyewa seorang guru untuk memberikan satu keahlian khusus untuk sang anak, namun mengapa banyak orang tua menyia-nyiakan sang anak dengan mencontohkan perilaku yang tidak baik.

Maka tidak ada cara yang lebih elok bagi orangtua selain menjadi teladan terbaik bagi anak-anaknya. Semoga brmanfaat.

*Dosen IAIN Takengon dan Anggota MPU Aceh Tengah.

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.