Begini Cara Warga Dataran Tinggi Gayo Hadapi Wabah

oleh

Catatan : Muhammad Syukri*

Pernahkah wilayah Dataran Tinggi Gayo dilanda wabah? Pernah. Peristiwa itu pernah diceritakan oleh C. Snouck Hurgronje dalam buku Het Gajoland ez Zijne Bewoners yang pertama kali diterbitkan tahun 1903.

Ditulis Hurgronje sebagaimana diterjemahkan Hatta Hasan Aman Asnah (halaman 128), “Beberapa tahun lalu, dikabarkan di Kampung Owak dan Pedemun berjangkit satu epidemi, penyakit kolera yang menewaskan ratusan penduduk.”

Deskripsi itu menjelaskan kepada kita bahwa wabah atau epidemi bukan sesuatu yang baru bagi warga Dataran Tinggi Gayo. Dimasa belum ada fasiltas kesehatan semodern saat ini, warga mampu bertahan dari ganasnya wabah.

Bagaimana cara mereka menghadapi wabah dimasa itu? Hurgronje kembali menulis pada halaman 218. Berikut ini, saya kutip secara lengkap tulisannya sebagaimana terjemahan Hatta Hasan Aman Asnah.

“Untuk menangkal satu epidemi atau bencana penyakit menular lainnya, mereka menempatkan beberapa bendera putih kecil dengan menyelipkan bilangan huruf dan tulisan Arab diatas atap-atap atau pagar atau di puncak kayu didekat kampung (pepanyi ni umah).

Selain itu, diatas kertas bertuliskan kalimat-kalimat dengan bahasa Melayu bercampur bahasa Arab ditempelkan di atas pintu atau digantungkan di pintu masuk. Disamping itu ada ranting dan daun kayu-kayu tertentu, katanya guna mendinginkan unsur-unsur yang panas.

Penyakit cacar dianggap istimewa, untuk menghadapinya harus dengan cara istimewa pula. Di rumah orang Gayo yang terkena penyakit cacar (riru) tidak boleh menyebut nama asli penyakit itu, dan tidak boleh menggunakan kata-kata yang menjelekkan, seperti bau, celaka, dan lain sebagainya, melainkan harus menyebut nama penyakit ini dengan yang terbaik, misalnya reje penawar, artinya raja yang bisa menghalau bencana.

Menurut mereka, penyakit ini pun akan mengenai orang yang tahun sebelumnya tidak terkena. Orang-orang yang datang menjenguk si sakit akan berkata, anakmu tengah bereje, artinya anak anda sedang jadi raja (cacar).

Orang yang sakit tidak boleh makan sembarangan, kecuali nasi dengan garam, daging, dan ikan hanya boleh jika dibakar. Sayuran (jantar atau poen) tidak boleh dimasak dalam rumah. Sedangkan buah-buahan tidak boleh yang sudah layu.

Diatas ambang pintu masuk digantungkan kain putih, tujuannya jika disekitar tempat itu ada penyakit, dimohon agar penyakit itu keluar.”

Itu tadi kearifan lokal warga Dataran Tinggi Gayo tempoe doeloe dalam menghadapi epidemi atau penyakit menular.

Hari ini, kita sedang menghadapi pandemi global akibat Covid19. Virus Corona yang menulari manusia di seluruh penjuru dunia.

Menghadapi Covid19, kita diminta menjaga jarak antar orang minimal 2 meter, memakai masker, mencuci tangan dengan sabun, tidak berkerumun, tetap di rumah dan mengonsumsi vitamin C untuk menjaga daya tahan tubuh.

Bagi mereka yang baru datang dari daerah penularan, wajib karantina mandiri selama 14 hari, dan menginformasikan kepada petugas kesehatan terdekat agar perkembangan kesehatannya dapat dipantau.

Mari terus berdoa, mudah-mudahan kita selalu diberikan kesehatan dan dalam lindungan-Nya, amin Ya Rabb. []

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.