Oleh : Jamhuri Ungel, MA*
Corona atau covid-19 sebagai wabah yang melanda dunia mulai tahun 2019, sampai kini (april tahun 2010) masih menjadi ketakutan semua orang di dunia, mulai dari Negara yang mempunyai ilmu pengetahuan dan teknologi yang tinggi apa lagi bagi Negara yang belum mempunyai ilmu pengetahuan dan teknologi yang tinggi.
Kendati wabah ini menurut sebagian ahli telah diduga akan datang, namun kedatangan dan kedahsyatannya tidak ada yang dapat membayangkan. Sehingga semua Negara menjadi bingun dalam menyikapinya.
Negara-negara yang selama ini mengandalkan kemajuan teknologi dan kemampuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan menganggap dirinya mampu mengendalikan dunia ternyata bingung sambil mencari kambing hitam dar baliki semua kejadian ini.
Karena dalam kenyataannya kita melihat justru wabah (covid-19) ini mengawali keberadaannya dari Negara yang mengatakan dirinya super power.
Dari sisi keimanan, kita bersikap kalau semua yang terjadi di alam ini atas kuasa Allah, karena kekuasaan Allah di atas semua kekuasaan makhluk-Nya. Kemudian keterbatasan kemampuan manusia dalam mengetahui kekuasaan Allah disebut dengan takdir Allah.
Dalam menyikapi takdir Allah yang terjadi memunculkan berbagai sikap dikalangan manusia, sebagian orang menyerahkannya secara mutlak kepada Allah, sebagian yang lainnya mencari celah letak peran manusia dalam batas tertentu dalam takdir Allah.
Ini adalah sikap bagi mereka yang meyakini adanya Allah sebagai Khalik. Sementara sebagian manusia yang tidak meyakini adanya Allah tentu saja menyerahkan semua kepada kegagalan dan keberhasilan teknologi yang dimiliki oleh manusia, kendati dalam kejadian sekarang ini ada celah kekuasaan Allah yang ditunjukkan, namun menurut mereka yang tidak yakin sama Allah dianggap sebagai sebuah keberadaan sebagaimana keberadaan makhluk.
Penelitian terakhir yang kita lihat di media-media, bahwa virus corona (covid-19) dapat diredam dengan lantunan suara azan. Ini memberi bukti kepada manusia bahwa dalam sisi-sisi kemajuan ilmu pengetahuan dan berkembangnya teknologi manusia tidak bisa menghilangkan adanya peran Ilahi.
Padahal suara musik dan nyanyian juga dikeluarkan melalui mulut manusia dan azan juga melalui mulut manusia, tetapi karena lafazh azan adalah suara yang diajarkan dalam syariat maka ia mempunyai kekuatan spiritual yang berada luar kemampuan manusia.
Karena adanya peran manusia dalam kehidupan (bukan menghidupkan) memberi arti manusia bisa membuat kehidupan itu berjalan menjadi lebih baik, dari kesengsaraan berubah menjadi kebahagiaan, dari keterbelakangan menjadi berkemajuan dan dari ketradisionalan menuju kemoderenan.
Karena itu kita harus menjadikan wabah corona (covid-19) ini sebagai uji kemampuan, bagi mereka yang lulus maka bila melompat jauh ke masa depan dan kalau kalah maka akan diam di tempat.
Ketika corona menjadi berita sangat dahsyat dan mengerikan membuat semua orang panik, karena datangnya corona tiba-tiba dan dalam jangka waktu yang singkat menelan banyak korban dan penularannya tidak membedakan mangsa.
Sehingga pengelola Negara menjadi kalang kabut tentang apa yang mereka harus lakukan, termasuk diantaranya adalah pengelalola pendidikan. Banyak diantara mereka yang tidak tau apa yang seharusnya mereka lakukan, padahal seharusnya sekolah tidak bisa diliburkan karena masih dalam masa aktif belajar.
Tetapi sekolah juga tidak bisa dilakukan kegiatan pembelajaran karena diantara pencegahan penyakit corona dan pencegahan penulatan/penyebarannya adalah dengan menghindari persentuhan secara fisik dan penularannya juga bisa melalui percikan air ludah dari mereka yang tekena wabah. Karena itu tidak ada jalan lain yang bias dilakukan kecuali dengan meliburkan sekolah dalam masa yang tidak pasti.
Dari awal adanya lembaga pendidikan, orang selalu berpikir akan adanya guru yang mengajar sesuai dengan mata pelajaran yang diajarkan, adanya murid yang setiap harinya pergi kesekolah dengan mengenakan pakaian seragam, pagi harinya mereka senam dan hari-hari tertentu mereka upacara bendera.
Para murid menggendong tas dibelakangnya sampai muncul anekdot yang mengatakan kalau orang Indonesia semakin lama semakin kecil ukuran fisiknya karena buku yang mereka bawa setiap harinya terlalu banyak, melebihi beban sebagai murud.
Selanjutnya di rumah ada orang tua yang setiap harinya selalu menyiapkan perlengkapan sekolah anak, bekerja mencari nafkah sehingga karena lelahnya tidak sempat lagi mengontrol apa yang sudah diajarkan guru di sekolah.
Dengan datangnya covid-19 ini, guru tidak lagi punya alasan kepada murid kalau sekolah hari ini atau besok libur karena dewan guru ada rapat, ibu atau bapak pulan tidak hadir karena menghadiri pernikahan anak sahabat, anak tetangga, anak keponakan atau orang terdekatnya atau juga dengan bermacam alasan.
Orang tua tidak lagi memarahi anaknya karena memegang HP dan menonton di internet, orang tua juga tidak punya alasan lagi tidak sanggup membeli HP android atau yang sejenisnya. Jadi alasan-alasan yang selama ini kita anggap biasa saja kini alasan tersebur menjadi alasan “klasik”
Ketika tidak mengenal lagi alasan-alasan kelasik diantaranya sebagaimana disebutkan di atas berarti kita sudah berada dalam dunia modern (dunia maju).
Gedung-gedung tempat kita mengadakan rapat, pelatihan, seminar dan lain-lain yang selama ini dipisahkan oleh jalan-jalan, bangunan-banguna, bahkan pengunungan atau lautan, corona (covid-19) mengajarkan kita bahwa semua itu dekat, pembelajaran yang berabad-abad mengajarkan kita dengan tatap muka kini mengajarkan kita bahwa transpormasi ilmu itu tidak harus dengan tatap muka.
Sehingga sebenarnya tidak ada lagi hambatan dalam melakukan pekerjaan dan bahkan tidak lagi harus mengerjakan satu pekerjaan dalam satu saat.
Seorang guru/dosen boleh mengajarkan anak murid/mahasiswanya ketika ia sedang berada dalam perjalanan dan boleh juga ketika sedang mengerjakan pekerjaan lainnya.
Demikian juga dengan murid atau mahasiswa, tidak ada lagi alasan terlambat karena macet, mengantar adik, kakak, orang tua berobat atau lain-lain. Karena dengan kemajuan dengan datangan covid-19 ini teknologi menjadi kebutuhan utama bila punya kemauan untuk bekerja bias dilakukan dimanapun dan kapanpun tergantung kepada kesepakatan bersama.
Bila corona (covid-19) ini bias dilalui, kita yakin bahwa kita adalah orang lulus dalam ujian kesiapan menghadapi era modern yang hidup serba teknologi, namun sebaliknya, bila kita menjadi orang yang cengeng selalu mengeluh kepada keadaan maka kita akan selalu menjadi orang yang tertingal dan akan terjajah selamanya.
*Dosen Fak. Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry Banda Aceh dan sebagai Tenaga Ahli Pada Lembaga Wali Nanggroe.