Carut Marut “Logical Fallacies” dalam Kemelut Virus Corona

oleh

Oleh : Win Wan Nur*

Karya sastra bukanlah buku ilmiah yang bisa dijadikan bukti terjadinya sebuah peristiwa. Tapi sastra seperti kekeberen, memberikan kita gambaran suasana pada suatu masa.

Contohnya kekeberen tentang petualangan di Gayo, seringkali dibumbui dengan kisah, “mayo uten, tangkuh belang, mayo uten tangkuh belang,” itu adalah gambaran bagaimana alam Gayo yang harus dilewati dari Linge menuju pesisir.

Dari kekeberen seperti itu kita jadi punya gambaran, bagaimana kondisi Gayo di masa lalu. Banyaknya cerita tentang kehebatan negeri Rum, menjadi petunjuk kalau di masa lalu, negeri Rum (Turki) begitu hebat di mata orang Gayo, sampai-sampai untuk menjadi raja pun agar terlihat keren, silsilahnya sampai harus dikaitkan ke negeri Rum.

Dalam sastra klasik seperti Oliver Twist –nya Dickens, kita bisa merasakan dan memahami suasana Inggris di masa krisis itu, bagaimana orang kelaparan ada di mana-mana.

Melalui Burmese Days-nya Orwell, kita bisa merasakan bagaimana songongnya para kolonialis kulit putih, bagaimana warga pribumi mengagung-agungkan si tuan barat dan berbagai suasana Myanmar di masa colonial.

Begitu juga dengan sastra klasik Indonesia, kalau kita baca dan perhatikan. Dalam buku-buku sastra pra 1970, tragedi percintaan banyak digambarkan dengan meninggalnya salah satu sejoli akibat TBC, penyakit yang nyaris tak lagi kita kenal di zaman kita.

Dari buku-buku sastra itu, kita bisa mengetahui, apa saja yang dianggap keren di suatu zaman, apa yang menjadi simbol prestise dan simbol kemiskinan.

Banyak sekali hal menarik yang bisa kita temukan dalam sastra-sastra Indonesia masa lalu. Salah satu yang sangat menarik perhatian saya adalah kualitas pendidikan.

Kalau kita baca buku-buku sastra lama, seperti Atheis-nya Achdiat Karta Mihardja, Layar Terkembang-nya Sutan Takdir Ali Sjahbana apatah lagi tetralogi-nya Pramoedya. Kita bisa menilai kalau kualitas siswa di masa lalu, jauh lebih mumpuni dibandingkan siswa-siswa di zaman kita dan juga zaman sekarang.

Kalau kit abaca di buku-buku sastra itu, para penulis itu menggambarkan bagaimana siswa di masa lalu, bahkan di tingkat SMP, pemahamannya tentang dunia sudah begitu mumpuni. Mereka biasa berdiskusi, berdebat dan berargumen.

Logika mereka benar-benar terasah di sekolah, karena mereka memang dididik untuk berpikir kritis dan berargumen dengan benar dalam berbagai tema yang mereka diskusikan.

Di tingkat SMP saja pada masa itu, siswa di Indonesia sudah fasih berdebat tentang situasi perpolitikan global dan sudah berbicara tentang kebangsaan. Maka tidak heranlah kalau dulu para pahlawan yang ikut berjuang di revolusi fisik, di usia sangat muda sudah begitu matang.

Saya lahir dan besar di era Orde Baru di mana sistem dan kurikulum pendidikan sudah didesain dengan sangat berbeda dengan yang digambarkan dalam sastra-sastra klasik itu.

Suasana dunia pendidikan seperti yang digambarkan dalam sastra-sastra klasik itu tak lagi saya rasakan ketika menempuh pendidikan dari SD sampai SMA. Bahkan, dulu saya tidak pernah tahu kalau dulunya seperti itulah suasana pendidikan di sekolah-sekolah di Indonesia.

Di masa saya bersekolah, tujuan dari pelajaran lebih kepada menghafal materi tanpa benar-benar memahami. Seperti belajar fisika, lebih kepada menghafal rumus-rumusnya tanpa benar-benar paham kenapa rumus-rumus itu harus seperti itu.

Kalau kita amati, para siswa di masa lalu sedikit banyak belajar filsafat di sekolah. Mulai dari filsafat Yunani sampai filsafat Aufklaerung, sehingga dalam berdebat mereka benar-benar paham.

Mana yang materi objektif yang bisa diperdebatkan dan mana merupakan kepercayaan subjektif yang kebenarannya hanya mungkin diyakini oleh masing-masing orang tanpa bisa dipaksakan kepada orang lain.

Sistem pendidikan yang tidak memicu munculnya pikiran kritis seperti ini membuat generasi kita gampang sekali jatuh dalam argumen yang bersifat sesat pikir alias “LOGICAL FALACIES” yang berakhir dengan debat tanpa ujung dan kesimpulan karena argumen didasarkan pada subjektivitas pribadi, bukan fakta-fakta objektif.

Dalam suasana muram akibat virus Corona ini, debat-debat berdasarkan “LOGICAL FALACIES” ini sangat terasa.

Contohnya, tentang penanganan virus ini. Para ahli virologi mengatakan kalau virus ini secara struktur diseliputi lemak dan akan mati kalau terkena sabun. Tapi efektifitas sabun sendiri berbeda-beda.

Entah karena membaca kajian ini atau apa, seorang Kadis kesehatan berinisiatif membagikan sabun pencuci piring yang memang efektif menghancurkan lemak. Jadi logikanya, sabun jenis itu memang sangat efektif untuk mematikan virus Corona kalau dipakai untuk mencuci tangan. Satu tetes, dicampur air cukup untuk mencuci tangan satu keluarga dalam satu hari.

Tapi, entah karena sosialisasi yang kurang sempurna atau karena memang pemerintah daerah setempat terbiasa tidak transparan dalam pengelolaan dana, kebijakan yang sebenarnya sangat logis kalau dipandang dari sudut pandang ahli virologi ini malah mendapat banyak kecaman.

Menariknya, kecaman itu hampir tidak ada yang membahas soal efektivitas sabun itu dalam mematikan virus Corona. Yang dominan kita baca justru serangan bersifat “LOGICAL FALACIES” terutama yang berkarakter “ARGUMENTUM AD HOMINEM” alias menyerang pribadi. Alih-alih mempermasalahkan efektifitas cairan itu sebagai cuci tangan.

Malah sang kadis disebut konyol, tidak becus dan lain sebagainya yang satupun tidak terkait dengan efektifitas cairan tersebut membunuh virus.

Selain Ad Hominem, juga tidak sedikit argumen yang bersifat “Red Herring” alias mengalihkan pembahasan ke isu yang sama sekali tak berkaitan. “Sekarang cuci tangan diganti sabun cuci piring, mau lah nanti upuh kerung pun diganti upuh santang” dan sejenisnya.

Kalau kita amati lebih jauh, tak terhitung argumen jenis ini bersliweran di beranda media sosial kita. Argumen-argumen seperti ini, mungkin bisa memaksa pengambil kebijakan untuk mengubah kebijakannya. Tapi kalau cara seperti ini dimaksudkan untuk menemukan cara yang paling efektif menangani Corona, jelas jauh panggang dari api.

*Urang Gayo di Bali

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.