[Chapter 1] Tgk Husni Jalil, Mantan Gubernur GAM Wilayah Linge ; Seniman Ceh Didong

oleh

Oleh : Fauzan Azima*

Kisah muripku male ku gali,
Runcang sabe wan amal nome,
Sinting alus ulung ni uyem,
Soboh renam keras pedi leng nge,
Cemis putus wan masa lalu,
Pulih denem suntuk mukale.

Itulah perjuangan! Bukan hanya soal cerita menghunus pedang, menembak, darah, syahid, permusuhan dan kebencian. Pengalaman bathin pada alam yang terasing dari keramaian kota. Suara hutan rimba yang harmoni menjadi simfoni. Dan Tgk. Husni Jalil menyempurnakannya dengan didong; perpaduan gerak, suara dan syair dalam sebuah ekspedisi Pasukan GAM Wilayah Linge ke Lokop Serbejadi.

Ceh Tgk Husni Jalil terus berdidong di bawah cahaya matahari bersinar terang menyentuh bumi. Dia duduk bersila di bawah pohon rindang mengikuti irama tepuk runcang tangannya di lembah sebelah barat kaki Gunung Sembuang. Angin bertiup lembut di antara pepohonan. Dia terus melagukan syair “kisah murip” dengan suara melengking. Hampir saja dia tidak bisa menarik nafasnya, tapi dia paksakan sampai suaranya mencapai 5 oktaf.

Kadang saya mendengar suaranya seperti lolongan srigala di bawah bulan purnama. Namun ketika dia berhenti, saya harus memintanya kembali berdidong. Dia menyuguhkan syair-syair terbaiknya kepada kami yang dahaga dengan irama dan lagu. Hari itu dia menunjukkan talentanya dengan suaranya yang menghipnotis. Mendengarnya berdidong rasanya tidak ada yang memisahkan kami, seperti bersatunya menang perang dan kabar baik.

Tgk. Husni Jalil adalah Ceh Didong dan Gubernur GAM Wilayah Linge yang berjuang sampai ke batas. Dia terus berdidong. Sementara saya tidak lagi fokus pada suaranya. Saya mulai memperhatikan raut wajahnya dengan pakaian yang lusuh. Terharu rasanya, dia pasti punya alasan ikut bersama saya telah memilih dunia yang menyedihkan.

Saya pernah meyakinkan dirinya agar keluar dari persembunyiannya di kebunnya daerah Jamur Atu. Dia bersembunyi bersama rasa takut pada pembunuhan demi pembunuhan yang dilakukan oleh aparat sebagai sebuah pesan; tidak ada yang boleh melawan NKRI. Jiwa berseni didongnya pernah redam dalam kesendiriannya. Kini aku bahagia, melihat roh, arwah dan semangatnya telah kembali.

Suaranya mulai parau dan berhenti berdidong. Kabut tipis mulai turun menyelimuti hutan. Kami tidak meneruskan perjalanan dan mulai membuat bivak sederhana serta mengumpulkan kayu dan ranting kering untuk menghidupkan api sebagai penghangat badan yang dinginnya mulai menusuk tulang. Hari itu, kami ingin membahagiakan “Sang Ceh” dengan tidak memberi kewajiban mencari kayu bakar kepadanya. Hitung-hitung juga sebagai bayaran tiket kami mendengarkan didongnya dan besar harapan dia masih mau berdidong untuk kami.

Hari menjelang maghrib, pohon-pohon berzikir. Suaranya mendengung seperti kumpulan lebah. Para pasukan shalat maghrib jamak ta’dim dengan Isya. Usai shalat kami mengelilingi tunggu perapian. Kami bercerita dan kadang tertawa sambil menikmati hidangan makan malam dengan pisang bakar dan kopi kertup yang kami bawa dari Kampung Pasir Putih, Samarkilang. Makan malam yang luar biasa ditemani suara-suara binatang malam yang mulai bersahutan.

Malam itu seperti menghadiri undangan resmi makan malam para tokoh. Saya mulai membuka pidato, “Orang-orang menghabiskan waktu bersama anak istrinya dengan makanan empat sehat lima sempurna. Sedangkan kita adalah segelintir manusia yang menghibahkan hidup untuk kebahagiaan rakyat Aceh kelak. Percayalah, kita adalah orang yang istimewa. Setidaknya hari ini kita sebagai penonton barisan depan panggung Ceh Didong Gubernur Wilayah Linge.”

Demikian juga Wakil Panglima, Tgk. Jangko Mara menyampaikan sambutan singkatnya, “Keyakinan saya Aceh akan merdeka. Perjuangan ini hanya syarat. Semacam fardhu kifayah dan kita telah membatalkan semua dosa-dosa orang Aceh dengan aksi kita, baik yang berjuang bersama kita maupun yang hanya berpangku tangan. Malam ini juga alam malam sebagai saksi, ketika kelak kita tidak dianggap, di situlah Aceh Merdeka. Bukan karena perjuangan kita tetapi atas kehendak Allah dan alam semesta.”

Suasana menjadi hening! Merenungkan kalimat terakhir Tgk. Jangko Mara. Masing-masing bertanya di dalam hati, kalau demikian untuk apa kita berjuang? Tgk Husni Jalil faham benar dengan suasana kebathinan pasukan. Dia mulai memulai pembicaraannya dengan pidato adat Gayo atau disebut “melengkan”. Dia sangat mahir menceritakan dan menghubung “terbit ni edet ari Petemerhom, terbitni hukum ari Syiah Kuala” dengan perjuangan GAM. Kecerdasannya meyakinkan pasukan untuk teguh pendirian dalam suasana apapun, sungguh tidak diragukan lagi.

Tgk. Husni Jalil merdu dalam berdidong, namun dalam bahasa bertutur “tak tulen teridah usi” tegas dan lugas. Malam itu dia sebagai “Keynote Speaker” dengan clossing statement, “Simak baik-baik, kita bukan pemberontak, kita bukan separatis, hari ini, kita hanya ingin pengakuan uten betene, blang bepancang, nahma tarraku.”

Kami semua diam dalam hening. Kembali memikirkan maksud dari kalimat penutup Tgk. Husni Jalil. Sementara suara binatang malam yang bersahutan semakin jelas terdengar. Seperti memberi jawaban kepada sanubari kami masing-masing. Kami simpulkan, Tgk. Husni Jalil, bukan saja gubernur dan Ceh Didong, tetapi juga orator, ahli adat, dan tentu saja pejuang sejati.

“Kita istirahat dulu. Besok sore mudah-mudahan kita sudah sampai di Kampung Sembuang,” saya memecah keheningan.

(Mendale, 1 April 2020)

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.