Oleh : Herza Alwanny*
AIR MATA TANOH GAYO
‘UNTUK MU LINGE’
1.
Kemarin, aku masih memeluk bumi dengan mesranya
bercumbu bersama angin berselimut langit nan cerah
mendekap disetiap relung nafas diantara pepadian yang menghijau
tanah leluhur t’lah memesona ribuan pasang mata
apakah mereka cemburu kawan?
2.
Waktu berlari kian cepat
Awan menghitam mengisyaratkan duka akan menjemput
Angin tak lagi bersahabat, menghembus hawa kesedihan
Akankah tanoh gayo berduka kawan?
3.
Hari ini, kulihat para pembunuh sedang memantau!
Mengintai!
Beringas!
Kejam!
Sorot mata yang tajam membesit hati penuh luka
Dan siap menerkam tanah leluhur kita kawan.
Akankah engkau diam?
4.
tanah leluhur kita siap melubang kawan,
diantara pepadian yang kian menguning
mengeringkan keringat hingga tulang belulang bersemayam dalam tanah
kita kan hidup tapi tak bernyawa
kita kan bernafas dibalik hampanya udara
kita kan berjalan diatas air mata bahkan darah yang tak lagi mereka perdulikan
masihkah kau diam kawan?
5.
Kawan!
Mereka datang untuk mengeruk bukan memberi untung
Mereka datang untuk merampas sampai buntung
Mereka datang berduyung-duyung
Sedangkan kita hanya bingung, linglung dengan jiwa yang terpasung
6.
Kawan,
kepala dipijak. Katakan lawan!
Tangan membiru, katakan lawan!
Badan berlumuran darah, kita tetap lawan!
Walau mulut dibungkam, kita tetap lawan!
Sampai kaki tak lagi mampu menopang perlawanan, kita tetap lawan!
Hingga raga membumi, kami tetap melawan. Kawan!
7.
Oh, tuan sang penguasa,
Tutup mulut ketika uang ada di meja makanmu
Tutup mata ketika wanita-wanita mencoba merayumu
Tutup telinga ketika hawa kerakusan mulai merasukimu
Tutup hati dan lihatlah kami tuan.
8.
Oh tuan sang penguasa,
Engkau duduk atas hak-hak kami
Engkau berdasi atas pajak-pajak kami
Engkau bermewahan atas kopi kami
Engkau pemangku jabatan di atas tanah leluhur kami
Tolonglah tuan, selamatkan tanah leluhur kami
Tanahku, tanah kami, dan tanah kita dalam genggaman
Jangan biarkan emas yang memahitkan Tanoh Gayo
Tapi, tetaplah kopi yang mengemaskan Tanoh Gayo.
*Herza Alwanny yang akrab disapa Eza. Pria 28 tahun ini berasal dari kota Medan dan mengabdikan dirinya sebagai tenaga pendidik di Kampung Jeget Ayu, Kecamatan Jagong Jeget, Kabupaten Aceh Tengah. Alumni Universitas Negeri Medan ini berprinsip “menulislah maka engkau akan mendobrak sejarah.”






