Oleh : Husaini Muzakir Algayoni*
Dari sekian banyak aliran dalam teologi, ketika ada bencana atau musibah dan kaitannya terhadap etos kerja manusia maka yang hadir membicarakan persoalan ini adalah paham jabariah dan qadariah, kedua aliran ini merupakan perdebatan filosofis dan teologis yang menarik untuk diperbincangkan.
Untuk mengulangkaji, penulis akan menguraikan pengertiannya secara singkat. Qadariah dalam bahasa Inggris disebut dengan free will and free act berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa dan tunduk pada qadar atau kadar Tuhan. Sementara jabariah berasal dari kata jabara yang berarti memaksa, dalam bahasa Inggris disebut fatalism atau predestination. (Harun Nasution, Teologi Islam).
Pada satu sisi posisi perbuatan manusia mempunyai kebebasan dan di sisi lain posisi kehendak manusia tidak mempunyai kemauan dan daya untuk mewujudkan kemampuannya. Dalam artian bahwa manusia tidak mempunyai kebebasan, manusia seperti wayang yang tidak bergerak kalau tidak digerakkan oleh dayang.
Masyarakat Arab sebelum Islam kelihatannya dipengaruhi paham jabariah, sebagaimana dijelaskan Harun Nasution bahwa bangsa Arab pada waktu itu serba sederhana dan jauh dari pengetahuan, terpaksa menyesuaikan hidup mereka dengan suasana padang pasir yang panas. Dalam keadaan demikian, mereka tidak mengubah keadaan sesuai dengan keinginan mereka sendiri karena merasa lemah dan tak berkuasa dalam menghadapi kesukaran hidup yang ada di padang pasir. Dalam kehidupan sehari-hari mereka tergantung pada kehendak natur.
Sikap fatalistik dan corak pemikiran yang diperbuat oleh masyarakat padang pasir di atas tanpa mau mengubah keadaan atau suasana ke arah yang lebih baik terus berkelanjutan hingga sekarang dan menjangkiti kehidupan umat Islam, sikap fatalistik tersebut membuat seseorang pasrah dan menerima apa adanya.
Sikap fatalistik memberikan impak negatif bagi kehidupan dan perkembangan ilmu pengetahuan di dunia Islam, misalnya seperti keterbelakangan, kemiskinan, dan kebodohan karena merasa hidup yang sudah ada saat ini merupakan ketentuan dan kehendak Allah Swt tanpa mau mengubahnya.
Nah, seperti yang penulis sampaikan di atas bahwa ketika ada musibah atau bencana dan kaitannya terhadap etos kerja (posisi kehendak perbuatan manusia) maka ada dua hal yang dilakukan, yaitu pasrah atas ketentuan Tuhan sehingga bersikap fatalistik atau berusaha mengubah keadaan yang telah ditentukan Tuhan.
Hari ini dunia sedang menghadapi wabah mematikan, yaitu corona virus diase (covid-19), terlebih virus tersebut telah menyebar di sejumlah negara, termasuk Indonesia. Bagaimana posisi kita sebagai manusia menghadapi Covid-19?
Pemerintah pusat maupun daerah telah melakukan pencegahan dan antisipasi guna mencegah penularan covid-19 ini ke tengah masyarakat. Karena itu segala antisipasi telah dilakukan, misalnya untuk menghindari tempat-tempat keramaian, sekolah dan kampus pun telah diliburkan dan ini merupakan langkah tepat sebagai manusia yang bebas berkehendak dalam menentukan nasibnya sendiri.
Oleh karena itu, jika ada manusia sok berani menghadapi covid-19 tanpa mau mendengar arahan dari pihat otoritas yang berkewajiban menangani kasus ini, tidak mau mengubah keadaan atau pasrah terhadap kehendak Allah Swt, dari itu coba saja duduk di kandang singa yang lapar atau berada di sarang lebah dan lihat bagaimana nasib dengan konsep kepasrahan tersebut.
Wabah penyakit bukan hanya terjadi di tahun 2020, wabah juga pernah terjadi pada masa khalifah Umar bin Khattab, ketika itu sahabat nabi bernama Syurahbil bin Hasanah wafat dalam wabah thaun di wilayah Amwas yang menelan korban lebih dari 25.000 sahabat. (Hepi Andi Bastoni, 101 Sahabat Nabi, Jakarta: Pustaka Alkautsar, 2012).
Syurahbil merupakan pemimpin perang dan penulis wahyu untuk Rasulullah, di antara penulis lainnya ada Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Khalid bin Said, Aban bin Said, Ala al-Hadhrami, dan Muawiyah bin Abu Sufyan. Sementara sahabat nabi yang pertama kali menulis wahyu untuk Rasulullah adalah Ubay bin Kaab, Zaid bin Tsabit, Said bin Abi Sarh, dan Hanzalah al-Usaidi.
Begitu juga di Buntul Linge, Gayo. Diungkapkan oleh peneliti Kerajaan Linge yang juga sejarawan, Salman Yoga S yang mengatakan bahwa “Virus mematikan pernah terjadi diakhir abad ke-18 yang dinamakan dengan pakan laya. Dengan adanya virus tersebut, masyarakat Linge pindah dari Buntul Linge. (Lintasgayo.co 19/3/2020).
Dari penjelasan sejarawan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa masyarakat Linge tidak pasrah terhadap keadaan yang diserang oleh virus pakan laya tersebut, dalam artian bahwa masyarakat Linge tidak fatalistik, mereka berusaha mencari keselamatan di tengah-tengah virus yang mematikan itu.
Beda halnya dengan masyarakat Arab yang dijelaskan Harun Nasution di atas, tetap tinggal di padang pasir yang panas dan pasrah terhadap keadaan. Ini merupakan sikap fatalistik. Manusia dalam menentukan kehendaknya, manusia bebas atau pasrah, kembali kepada manusia itu sendiri. Namanya juga manusia!
Manusia telah diberikan keistimewaan oleh Allah Swt berupa akal, dengan akal tersebut manusia bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, karena akal pada dasarnya sebagai jalan atau tindakan bagaimana seseorang harus berbuat, secara filosofis akal bisa berpikir mencari sebab dan hubungannya terhadap yang lain.
Nah, manusia yang akalnya sehat dan memfungsikan daya nalarnya dengan baik, tentu berusaha mengantisipasi segala kemungkinan-kemungkinan yang bisa saja terjadi dan mencegah penularan dari virus yang mematikan ini, hijrah ke tempat dan suasana yang lebih baik, dan tentu saja tidak mau duduk di kandang singa yang lapar atau berada di sarang lebah dengan kepasrahan.
*Penulis, Kolumnis LintasGAYO.co. Mahasiswa Prodi Ilmu Agama Islam (Konsentrasi Pemikiran Dalam Islam) Program Pascasarjana UIN Ar-Raniry Banda Aceh.