- Oleh: Husaini Muzakir Algayoni*
“Memenuhi asupan gizi informasi dengan hoaks paling diminati oleh netizen +62 terutama dan paling utama orang-orang yang akalnya tumpul dan jiwanya sakit.”
Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) Republik Indonesia pada 2014 dan 2019 telah terjadi polarisasi di tengah-tengah masyarakat, terkhusus netizen plus enam dua (+62). Kejamnya berkomunikasi di media sosial (medsos) dengan fitnah keji, menghina, dan hoaks bagaikan hidup penuh bahaya (vivere pericoloso).
Kala itu, hoaks menjadi buah bibir yang selalu diperbincangkan, keeksistensiannya dalam politik sebagai senjata andalan untuk membunuh karakter lawan politik karena hoaks mempunyai pengaruh yang sangat signifikan dalam ranah perpolitikan dan dalam kehidupan sosial bisa menggesek keharmonisan masyarakat.
Kecenderungan netizen +62 dalam memenuhi asupan gizi informasi dengan hoaks, asupan gizi yang menjijikkan ini sebagai sumber primer menyebabkan terpisahnya rasa persatuan dalam berbangsa seumpama keindahan cinta Qays dan Layla Majnun terpisah karena lidah-lidah yang kelaparan.
Nizami dalam mahakarya sastra sufi “Mahabbah: Kisah Cinta Layla Majnun (abad ke-12) mendendangkan syairnya sebagai berikut:
Ketika lidah-lidah yang kelaparan
Menyakiti dua hati yang sedang kasmaran,
Mata dan bibir mereka tiada lagi mampu menyimpan rahasia yang terungkap oleh sebuah kerlingan.
Sebuah fitnah membuat mereka terpisahkan.
Sahrul Mauludi dalam bukunya Socrates Cafe: Bijak, Kritis dan Inspiratif Seputar Dunia dan Masyarakat Digital (2018), memberikan sebuah pertanyaan, mengapa hoaks laku di Indonesia? Nah, jawabannya adalah karena minimnya literasi, rendahnya budaya membaca, kegemaran dalam berbagi cerita dan gosip.
Jadi bisa dibayangkan, bagi yang ilmunya minim, malas membaca buku, tapi suka menatap layar gadget berjam-jam dan paling cerewet di media sosial. Jangan heran Indonesia jadi konsumen empuk untuk info provokasi, hoaks, dan fitnah. Begitu dapat informasi di layar gadget langsung like dan share.
Hoaks merupakan penjahat berbentuk informasi dan menjadi konsumsi sehari-hari di medsos, memenuhi asupan gizi informasi dengan hoaks paling diminati oleh netizen +62 terutama dan paling utama orang-orang yang akalnya tumpul dan jiwanya sakit, hoaks menyebabkan paradigma manusia devaluasi ke tingkat terendah sebagai manusia yang mempunyai akal.
Hoaks menjadi konsumen dalam pesta demokrasi dalam ajang pemilihan presiden dan wakil presiden, salah satu hoaks yang menyita perhatian publik adalah hoaks Ratna Sarumpaet yang mengaku bahwa dirinya dianiaya pada 21/09/2018. Hoaks tersebut berselimutkan politik karena para politisi kelas bintang di negeri ini meresponnya melalui siaran pers seolah-olah dilakukan oleh lawan politik.
Hari masih pagi dengan sunrise yang indah dan kopi masih panas belum diseruput tiba-tiba pintu diketuk dengan siaran pers seraya mengucapkan permohonan maaf dari politisi kelas bintang tersebut karena telah mempercayai Ratna Sarumpaet dianiaya.
Adegan politik di tahun 2019 dengan aktris utama seorang aktivis yang suaranya menggelegar ketika berdiskusi dengan lawan bicaranya, Ratna Sarumpaet telah mengelabui para politisi dan rakyat Indonesia dengan kabar bohongnya (hoaks).
Anehnya lagi netizen +62 mempercayai peristiwa tersebut dengan menshare fhoto muka lebam Ratna Sarumpaet yang seolah-olah dipukul dengan caption aduhai sok intelektual padahal kejadian yang sebenaranya adalah kebohongan belaka. Peristiwa ini merupakan sejarah politik Indonesia paling konyol yang pernah ada dan akan selalu dikenang sepanjang masa.
Setelah kejadian tersebut, Ratna Sarumpaet akhirnya minta maaf. Apalah artinya minta maaf! Kata Mandra dalam sinetron Si Doel Anak Sekolahan. Walaupun telah membuat kegaduhan di Indonesia dengan kabar bohongnya, pada akhirnya ia mengaku tidak pernah dianiaya, ia mengatakan “Saya meminta maaf kepada semuanya, termasuk kepada lawan-lawan yang biasa saya kritik, yang kini berbalik kepada saya, sekarang saya harus mengakui sebagai pencipta hoaks terbaik.” Serambi, 24/10.
Peristiwa ini merupakan adegan politik paling konyol di tahun 2019, kekonyolan yang pernah ada semoga tidak melahirkan kekonyolan-kekonyolan baru di masa-masa yang akan datang dalam ranah politik. Karena itu, ini menjadi pelajaran bagi kita semua agar bijak dalam bermedsos, membaca berita secara radik/mendalam, dan mengurangi kecerewetan di medsos tanpa mengetahui asbabnya.
Kekonyolan masa lalu biarlah berlalu, kain yang terkoyak sudah dirajut kembali dengan baik, kain yang pada awalnya terkoyak telah berkibar dengan hembusan angin semangat nusantara, benih-benih fitnah keji, kebencian, dan adu domba ditenggelamkan dalam dasar lautan hingga tak lagi muncul ke permukaan.
Nah, segala hiruk pikuk pesta demokrasi di tahun 2019 lalu telah usai dan apakah hoaks juga telah usai? Ternyata hoaks tetap bergentayangan dengan berbagai informasi, lagi-lagi yang paling aneh adalah netizen +62 meminati dan mempercayai hoaks sebagai sumber informasi dan menshare di medos.
Kandungan hoaks pada gizi informasi netizen +62 sangat berbahaya bagi kesehatan mental, untuk menaggulanginya diperlukan resep obat-obat yang bisa merangsang akal untuk berpikir, resepnya bisa dengan menggunakan pendekatan filsafat sehingga akal yang tumpul bisa menajamkan akal untuk berpikir atau dengan pendekatan tasawuf untuk menyembuhkan jiwa-jiwa yang sakit menjadi jiwa yang sehat dan berspirituil.
Apapun beritanya dalam mendapatkan informasi dan wawasan, metodenya adalah metode Socrates (Socratid Method) berawal dari rasa tidak tahu. Dari tidak tahu maka kita akan mencari jawaban dan mengajukan pertanyaan sehingga mendapatkan jawaban dan informasi yang autentik. Selain itu juga, tanamkan dalam diri adanya rasa ingin tahu dari informasi-informasi yang beredar. Apakah informasi tersebut fakta atau hoaks?.
Dengan memperbanyak bahan bacaan yang berkualitas dan autentik, rasa ingin tahu, mencari tahu, dan bertanya serta kritis terhadap segala informasi yang beredar maka dapat dipastikan pemenuhan gizi informasi bisa mencapai cerdas dan mencerdaskan dan kandungan hoaks pada gizi informasi netizen +62 bisa disembuhkan. Semoga!
*Penulis, KolumnisLintasGAYO.co. Mahasiswa Prodi Ilmu Agama Islam (Konsentrasi Pemikiran Dalam Islam) Program Pascasarjana UIN Ar-Raniry Banda Aceh.

 
											




 
										 
										 
										 
										 
										 
										 
										 
										 
										 
										 
										 
										