Oleh : Husaini Muzakir Algayoni*
Masjid dan warung kopi (warkop) adalah tempat yang tak bisa dipisahkan dari masyarakat Aceh, dua tempat ini sudah menjadi ikon bagi Aceh dengan sebutan Serambi Mekah dan menjadi destinasi wisata religi, sementara itu Serambi Kopi atau seribu warung kopi merupakan wisata bagi seniman penyeruput kopi.
Untuk warung kopi, sebagian seniman penyeruput kopi (pecinta, penikmat, pecandu kopi) menempatkan warung kopi sebagai tempat bermainnya alam pikiran untuk berpikir, ruang inspirasi, imajinasi, ruang diskusi publik yang ramah, ruang politik dalam secangkir kopi, dan lain-lain yang bermuatan positif.
Penulis sendiri ketika pikiran buntu dalam menyelesaikan tulisan maka warung kopi adalah tempat mencari inspirasi dan menemukan ide agar tulisan kembali mengalir laiknya air mengalir di sungai yang jernih.
Bukan hanya itu, tugas-tugas kuliah pun dikerjakan di warung kopi dengan penuh gairah, kegairahan jiwa lahir dengan menyeruput secangkir kopi.
Beberapa warung kopi di seputaran Kota Mahasiswa Darussalam, Banda Aceh, penulis mengamati bahwasannya warung kopi bukan hanya sekedar menyeruput secangkir kopi tapi ada juga mengerjakan tugas atau menyelesaikan pekerjaan dan diskusi sambil ngopi bagi kalangan mahasiswa.
Namun, di lain sisi saat ini warung kopi sudah dilengkapi dengan jaringan internet (wifi).
Transformasi warung kopi dari masa ke masa membuat salah seorang cendekiawan Aceh, Prof. Dr. Farid Wajdi Ibrahim, MA gusar melihat generasi Aceh yang suka menghabiskan waktu di warung kopi sehingga ungkapan menyelutuk keluar dari Guru Besar UIN Ar-Raniry ini yaitu generasi hilang (the lost of generation) dan merupakan bencana yang lebih besar dari bom atom.
Bagi penulis, pernyataan yang dikeluarkan oleh mantan Rektor UIN Ar-Raniry tersebut merupakan kekhawatiran dan kegelisahannya melihat generasi sekarang yang telah banyak berubah semenjak adanya jaringan internet di warung kopi sehingga banyak menghabiskan waktu dengan sia-sia, khususnya dengan game-game online yang melalaikan.
Wifi yang ada di warung kopi juga menjadi masalah karena banyak mahasiswa yang mengcopy paste tugas kuliah (makalah) sehingga kemampuan menulis hilang di kalangan mahasiswa, suatu kondisi yang sangat memprihatinkan bagi mahasiswa, yang seharusnya kejujuran akademik dan kemampuan menulis dipraktikkan, tapi yang terjadi adalah pelacuran intelektual (plagiat). Bukankah ini merupakan generasi hilang di warung kopi?.
Penulis sendiri telah menjadi pelanggan di warung kopi since 2008 hingga sekarang di Kuta Raja, artinya sudah lebih dari satu dekade; warung kopi telah banyak berubah. Ketika itu duduk di warung kopi menyeruput kopi panas dengan santai membaca koran. Suasana nyaman dan tenang tanpa ada suara teriak-teriak, kecuali ada jadwal English Premier League (Liga Inggris) di akhir pekan.
Sekarang sebagian warung kopi tidak lagi nyaman diduduki karena suara-suara keluar dari genarasi hilang tadi dengan teriak tanpa ada rasa malu dan bahkan bangga ketika dilihat dengan suara kencangnya, kenapa bisa teriak? Karena ketika itu teriak di warung internet (warnet) sekarang warung kopi sudah berubah dari tempat menyeruput kopi ke tempat permainan game.
Nama ‘warung kopi’ juga sudah berubah menjadi nama ‘coffee’ yang ditempel di depan pintu masuk, jenis kopi juga semakin bervariasi yang dikreasikan oleh barista, sehingga warung kopi pun berubah dari yang tradisional ke modern dengan segala pernak-pernik untuk menarik pelanggan, perbedaan warung kopi ini pun dapat menentukan kelas sosial bagi yang menyinggahinya.
Karena itu, Zulfikar RH Pohan dalam buku “De Atjehers: Dari Serambi Mekah ke Serambi Kopi” ia menulis bahwa “Kelas sosial dapat dilihat dari berbagai hal, salah satunya adalah warung kopi. Kopi merangkap menjadi semacam keyakinan baru, sebuah falsafah bagi orang Aceh dan sebagai satu langkah tanda kelas sosial. Jika ingin mengetahui jati diri orang Aceh, lihat di mana ia ngopi.”
Berbagai hal dengan segala kontroversi di warung kopi, sisi negatif dan positif pastilah ada. Namun, itu semua tergantung pada diri masing-masing untuk bisa menempatkannya dengan baik karena ada dua generasi yang menyinggahi warung kopi sambil menikmati seruputan secangkir kopi siang dan malam, ada generasi inspiratif dan generasi hilang. Nah, kita ada di mana?
Selain itu juga mencari tempat menyeruput secangkir kopi yang nyaman bagi seniman penyeruput kopi adalah hal yang paling penting untuk ditentukan, selain mencari kopi dengan cita rasanya yang pas di lidah ketika diseruput sehingga inspirasi lahir dalam berbagai bentuk, baik dalam diskusi maupun tulisan.
Dengan menempatkan warung kopi sebagai tempat yang melahirkan ide dan inspirasi dan positif lainnya sehingga kekhawatiran dari Guru Besar UIN Ar-Raniry di atas tidak menjadikan yang menyinggahi warung kopi sebagai generasi hilang akan tetapi sebagai generasi inspiratif. Nah, Semoga dan selamat ngopi!
*Penulis, KolumnisLintasGAYO.co. Mahasiswa Prodi Ilmu Agama Islam (Konsentrasi Pemikiran Dalam Islam) Program Pascasarjana UIN Ar-Raniry Banda Aceh.