Teungku Halidin Gayo (Jangko Mara) Berjuang Hingga ke Batas

oleh

Oleh : Fauzan Azima*

Dalam perjuangan sudah pasti banyak cobaan. Hanya saja bergantung kepada kita menyikapi batu ujian itu.
Bagi Wakil Panglima GAM Wilayah Linge, Teungku Halidin Gayo tiada lain sabar adalah sikap yang tepat dalam menghadapi masalah yang menghambat perjuangannya.

Teungku Halidin Gayo atau populer dengan sandi Jangko Mara sudah mengalami semua cobaan, kecuali maut dalam keyakinannya memerdekakan Aceh, tetapi takdir berkata lain Aceh harus menerima tawaran damai.

“Manusia hanya bisa berencana tetapi akhirnya Allah SWT yang menentukan segalanya” simpul Jangko Mara, sebuah nama sandi yang disematkan oleh Teungku Ali Aman Hanif (Ayah mantan bupati Bener Meriah, Ahmadi Samarkilang).

Di antara cobaan yang dialami Jangko Mara adalah mati suri selama 72 jam di tengah hutan kawasan Rikit Ghaib, Kecamatan Permata, Kabupaten Bener Meriah. Pasukan yang setia menjaganya Teungku Muslim alias Datu, Teungku Salman alias Pang Singa, Teungku Iqbal alias Pang Kule Mugah dan Geucik Rikit.

Mereka sudah menggali makam untuk Jangko Mara mengingat tubuhnya sudah kaku seperti layaknya mayat. Hanya mereka ragu menguburkannya karena jaringan otot pada jempol kaki kirinya masih tampat berdenyut walau pelan.

Jangko Mara sendiri merasakan “rohnya” sudah keluar dari tubuhnya dan duduk bersila di sisi kepalanya. “Rohnya” berteriak-teriak kepada pasukan yang menjaganya, tetapi tidak ada yang mendengarnya.

“Saya belum mati… Saya mati suri…!!!” rohnya mencoba memberitahu bahwa dirinya masih hidup. Kekhawatiran “rohnya” para pasukan tidak sabar lalu menguburkannya.

Selama mengalami mati suri, Jangko Mara mengetahui persis pembicaraan pasukan dan setelah siuman masih bisa mengingat semua apa yang diperbincangkan dan perdebatan mereka. Bahkan atas kesabarannya, Allah SWT melebihkannya dengan kemampuan “ilmu nujum” atau kemampuan meramal masa depan.

Teungku Halidin Gayo yang lahir pada 9 Desember 1970 di Kampung Pondok Gajah, Kecamatan Bandar, Kabupaten Bener Meriah di dalam pasukan terkenal dengan pasukan “sapu bersih” yakni orang yang terakhir berangkat dari base camp setelah membersihkannya sehingga tidak ada jejak yang tertinggal. Bekas-bekas pasukan beliau tutupi dengan dedaunan agar tidak terendus musuh.

Pada saat Muallim Muzakkir Manaf di Bukit Rebol, Kecamatan Bandar, Kabupaten Bener Meriah, Jangko Mara sangat akrab dengan beliau. Pada tengah malam buta mereka sering bercerita sampai tertawa terbahak-bahak. Muallim memanggilnya dengan sebutan “Kemara”.

Berikut adalah petikan wawancara Teungku Halidin Gayo dengan wartawan Metro TV menjelang decommissioning atau pemusnahan senjata GAM Wilayah Linge pada tahun 2005. Selamat menonton!

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.