Oleh : Fauzan Azima*
Seketika, pertempuran itu terjadi. Satu tembakan meleset sejengkal di atas kepala saya dan pelurunya menembus tiang bivak darurat. Saya terkesiap. Nyaris saja kepala saya hancur oleh timah panas itu. Tetapi Allah masih melindungi saya. Saya semakin hati-hati dan waspada, jangan sampai peluru bersarang di tubuh saya sebelum saya saksikan negeri ini merdeka.
Tembakan jarak dekat selanjutnya terdengar beruntunan. Dari semak-semak semakin ramai. Aman Dewi yang sedang terbaring sakit di samping kanan saya, mencoba bangun untuk memastikan, bahwa musuh di depan sana tengah membabi buta memuntahkan pelurunya.
Saya sempat mencegahnya untuk tiduran saja. Karena bila badan atau kepala kita terlihat sedikit saja, sama saja memberi peluang celah peluru untuk mengkoyak tubuh kita.
Namun, terlambat saya bergerak, baru saja Aman Dewi berdiri, sebuah peluru menembus tubuhnya.
Swiiiinnnggg….
Zleeebbb…
Suara itu sangat jelas saya dengar. Saya mengucapkan takbir. Aman Dewi mengerang di samping saya dengan tubuh yang terluka. Darah langsung membasahi tubuhnya.
“Ya Allah… yang kuat Aman… yang kuat…,” gumam saya dengan suara tertekan, seakan turut merasakan luka dalam yang bersarang di dalam tubuhnya.
Tak bisa saya bayangkan timah panas itu mengkoyak tubuh, lalu panasnya menjalar menyumbat peredaran darah, dan menekan jantung yang membuat nafas jadi tercekat. Selanjutnya saya lihat, helaan nafas terakhir Aman Dewi dengan penuh ikhlas terlepas. Sementara jari-jari tanggan saya kuat mencengram jari-jariya. Sebelum akhirnya tubuh itu terkulai tak bernyawa.
Kepala Biro Penerangan GAM Wilayah Linge, Aman Dewi telah syahid di tempat. Tepat berada di samping saya. Saya menggigit bibir. Begitu berat perjuangan ini, tetapi harus tetap kami jalankan. Karena bagi kami, merdeka atau mati.
Sementara Aman Nanang di sebelah kiri saya, yang kebetulan sedang makan, langsung angkat senjata dan berlari ke arah TNI. Ia menyerang membabi buta, demi melihat kawan seperjuangannya – Aman Dewi gugur tertembak musuh.
Keadaan yang tak terkontrol itu justru merugikan dirinya. Karena dengan leluasa, musuh di depan yang jumlahnya entah berapa, dengan mudah memuntahkan pelurunya ke arah Aman Nanang.
Teriakan takbir kami dengar dari mulut Aman Nanang, begitu peluru menembus kulitnya. Dan ia pun syahid di depan saya, sama seperti Aman Dewi.
Saya sendiri dalam kepanikan masih sempat mengambil kain sarung, sendal dan buku, lalu berlari ke tempat yang agak rendah sebelum naik ke pematang hutan. Sementara tembakan belum berhenti. Peluru saling berlomba di kiri kanan dan atas saya. Bahkan saya melihat pohon-pohon kecil putus-putus oleh banyak peluru.
Suara peluru itu terdengar di telinga saya “ciuu..ciuu..ciuu”. Dengan suara seperti itu, berarti musuh dalam jarak yang tidak jauh. Artinya kami ditembaki oleh musuh kurang dari 50 meter.
Saya terus menghindar dari kepungan dan menjauh dari tembakan. Saya ikuti Aman Suhada yang berlari 3 meter di depan saya. Dia sangat cepat berlari tanpa alas kaki masuk ke tengah hutan. Saya tak mampu mengikuti kecepatan lari Aman Suhada, sehingga saya tertinggal jauh dan akhirnya tidak bertemu lagi dengannya.
Hari mulai gelap, saya melihat Teungku Dasril datang menghampiri saya. Reflek saya peluk dia.
Kami berangkulan.
“Kita selamat, Bang, bagaimana Kakak?” tanya saya penasaran.
“Kakakmu… tertembak!” ucapnya sedih menahan tangis.
Saya terdiam. Pelukan kami lepaskan.
“Sabar Bang, beliau pasti syahid!” kata saya, berusaha memberikan ketenangan.
Tapi luka perjuangan ini seperti peluru yang menembus tulang. Perih, sakit, membekas, dan tak terlupakan.
Teungku Dasril tidak mampu menahan kesedihannya, dan air matanya pun tumpah. Ia tidak sabar ingin kembali dan menyerang ke base camp. Namun saya cegah dengan banyak pertimbangan.
“Tidak mungkin kita menyerang dengan senjata seadanya, Bang, kita tidak boleh mati sia-sia…” kata saya mengingatkan.
“Kita harus pakai strategi…,” kata saya lagi.
Teungku Dasril dalam perjuangan ini membawa istri dan anaknya yang masih kelas 1 SD ke hutan. Rencananya esok hari akan diturunkan karena pergerakan dalam bergrilya akan lambat kalau ada perempuan dan anak-anak.
“Kita tunggu waktunya, Bang. Kita harus sabar. Pasti kita balas kematian kakak dan kawan-kawan. Insya Allah mereka syahid, karena membela negeri ini dari penjajahan Indonesia….”
Tengku Dasril terdiam. Ia menggigit bibirnya. Menahan luka perjuangan akan kematian orang-orang yang berjuang bersamanya.
Hujan turun rintik-rintik. Kami bergegas dan menyeberangi Sungai Jambo Aye untuk mencari tempat yang aman. Kami tidur tanpa alas dengan posisi duduk tanpa tudung di tengah hujan yang semakin deras.
Rasa dingin sudah tak kami hiraukan. Hilang terbungkus gelapnya malam ditengah hutan dalam gerilya yang entah sampai kapan.
Pada pagi harinya, di tengah hutan, tanpa disangka kami bertemu dengan Aman Suhada kembali. Dia bersama Mukim Jamur Atu. Pagi itu baru kami mengetahui ternyata istrinya Mukim Jamur Atu juga tertembak di bagian kakinya yang sudah diselamatkan turun ke kampung untuk berobat.
Dalam pertemuan itu, saya tegaskan kepada rekan-rekan pejuang, untuk lebih waspada, dan kami akan terus bergerilya di hutan-hutan. Hingga negeri ini terlepas dari kungkungan penjajah.
(Mendale, 10 Pebruari 2020)
*Mantan Panglima GAM Wilayah Linge