Oleh : Fauzan Azima*
Tulisan singkat ini, saya mulai dengan pertanyaan; Mengapa banyak bupati, walikota dan gubernur yang tertangkap tangan oleh KPK melibatkan kontraktor?
Saya bertanya dan terus bertanya. Setiap jawaban kawan-kawan, saya jadikan sebagai pedoman kalau ada pertanyaan yang sama. Orang-orang hukum menyebut jawaban saya sebagai “yurisprudensi.” Saya sendiri masih belum puas dengan jawaban itu. “Apa iya sih?” bathin ini terus bertanya.
Saya layaknya orang hanyut dibawa derasnya air yang berusaha meraih apa saja di dekatnya. Begitulah saya menangkap setiap jawaban demi jawaban. Secara umum jawaban itu adalah KPK punya daya endus yang luar biasa atas rencana jahat koruptor dan mereka punya alat sadap canggih buatan Israel dengan harga ratusan miliar. “Iya apa tidak,” hati saya menimbang-nimbang.
Sampailah pada satu waktu, ketika sidang BW salah seorang kepala daerah yang di OTT KPK. Saya sengaja mengikuti sidang beliau, dalam rangka ingin mengetahui jawaban “hakikat” pertanyaan tadi. Bahkan saat sidang ditunda sementara saya belum mendapat jawaban pastinya. Hampir saja saya kecewa karena pengembaraan yang sia-sia.
Di sela-sela jeda para terdakwa dan saksi untuk melaksanakan shalat Ashar, saya beranikan berbicara dengan orang KPK. Saya kira jawaban akan saya dapat dari “asoe lhok” pelaku OTT yang lebih pasti dan bisa dipertanggungjawabkan. Semula orang KPK itu ragu kepada saya. Wajar saja karena baru pertama kali bertemu. Siapapun akan bersifat defensif.
Sebelum dia memutuskan menolak, saya perkenalkan diri dengan mantap, juga saya embel-embeli dengan “Saya Panglima GAM Wilayah Linge pada masa konflik Aceh.” Alhamdulillah ternyata dia sangat respek dan melempar senyum kepada saya. Diapun menyebut dirinya tanpa ragu sedikitpun “Kapan ke Jakarta Bang,” katanya. Suasana benar-benar cair seolah telah lama kami bersahabat.
Suasana semakin akrab. Dia tawarkan rokok kepada saya. Saya tolak mentah-mentah, “Merokok bisa menyebabkan kemandulan,” jawab saya. Kami tertawa terbahak-bahak seolah baru mendengar kabar kerbau kami baru saja melahirkan anak kembar.
Setelah suasana hening, “Mas, mengapa banyak kepala daerah bersama kontraktor yang kena OTT?” tanya saya. Dia menatap saya lekat. Hati saya merasa bersalah, jangan karena pertanyaan itu suasana menjadi beku kembali. Dihisapnya rokoknya dalam-dalam, sepertinya dia perlu tenaga ekstra untuk menjawab pertanyaan saya.
“Bang, kami tahu semua kepala daerah itu bandit. Semua minta fee proyek dari dana APBD. Mereka semua bermain. Adapun penyebab mereka terkena OTT karena mereka tidak mau berbagi. Proyek hanya diberikan kepada segelintir orang. Sehingga kontraktor lain yang tidak kebagian mencari kesalahan dengan mengirimkan dokumen awal kepada kami. Kalau tidak ada laporan awal, kamipun tidak gatal mencari-cari kesalahan orang lain. Setelah mendapat bukti awal disertai dengan nomor handphone kepala daerah dan orang-orang dekatnya, kemudian kami melakukan penyadapan,” jawabnya sedikit emosi.
“Hemmm!!!” bathin saya, “Inilah jawaban hakikat dari pertanyaan saya.” Dapat saya simpulkan Kepala Daerah terkena OTT; pertama, tidak mau berbagi proyek secara merata, kedua KPK hanya menindaklanjuti laporan orang-orang yang merasa dirugikan oleh kebijakan kepala daerah.
By the way, soal “program berbagi” sangat penting. Kalaupun uang itu jatuh kepada genk lawan politik anggap saja sedekah. Barangkali dengan rezeki itu akan berbalik hatinya mendukung kita, ya Alhamdulillah. Saya sendiri kalau ada yang ikhlas berbagi ya Alhamdulillah juga. Meski sedikit, Rp. 5 milyarpun akan saya terima dengan lapang dada.
(Blang Pandak, 17 Januari 2020)