Oleh : Win Wan Nur*
Kisah penolakan tambang emas di Linge ini mengingatkan saya pada kisah bocah di Jawa Timur yang ibunya diperkosa orang saat dia masih duduk di bangku SD lalu, sekian tahun kemudian ketika dia sudah beranjak remaja. Si anak yang memendam rasa sakit dan perasaan terhina membunuh pemerkosa ibunya.
Yang berbeda dengan kisah di Jawa Timur itu. Dalam kisah pro kontra penolakan tambang emas ini. Si ibu yang bernama LINGE tak hanya punya satu anak. Anak si ibu banyak. Ada yang masih menyusui, ada yang sudah dewasa. Ada yang miskin, ada yang biasa dan ada yang kaya. Ada yang masih tinggal dengan ibu, ada yang sudah punya rumah sendiri bahkan ada yang sudah merantau jauh di luar kota.
Kalau bocah di Jawa Timur, meski kecil dan miskin, tapi berprinsip kehormatan ibu adalah segalanya, jauh lebih bernilai dari selembar nyawa. Anak-anak ibu Linge lain cerita.
Dalam cerita si ibu Linge. Alkisah, seorang laki-laki kaya yang diketahui seluruh dunia sebagai pengidap HIV, datang ke daerah tempat si ibu Linge tinggal dan berencana memperkosa ibu yang kecantikannya mendunia.
Anak-anak ibu Linge, alih-alih bersatu padu membela kehormatan sang ibu. Yang ada malah ribut sendiri. Larut dalam pro kontra perdebatan, mana yang lebih besar manfaatnya antara membiarkan atau menolak ibu diperkosa.
Beginilah kurang lebih isi perdebatannya.
Seorang anak yang tinggal bertetangga dengan ibu, berkata begini. “Kalau di saya, sudahlah kita relakan saja ibu diperkosa, dengan begitu, nanti bapak calon pemerkosa itu pasti tak tutup mata, dia tentu akan memberikan sebagian uangnya untuk menolong adik-adik kita yang miskin yang masih tinggal dengan ibu. Dengan begitu, terbantu lah perekonomiannya,” ujarnya dengan suara bariton penuh wibawa.
Saudara yang lain tiba-tiba berdiri, mukanya merah padam. “Maksudmu, kehormatan ibu mau kamu tukar dengan uang? Aku juga miskin, tapi tak sampai sehina itu caraku untuk mendapatkan uang, cih!!!” Semburnya sengit sambil meludah ke lantai.
Sejenak semua anak-anak yang lahir dari rahim ibu yang sama ini terdiam.
“Selain soal kehormatan, ini orang yang mengidap HIV kan? apa abang dan adikku tak memikirkan, bagaimana nasib ibu kita nanti setelah dirusaknya, apa abang-abang, kakak dan adikku sekalian tega, membayangkan apa yang akan menimpa adik kita yang masih disusui ibu. Apa kalian tidak berpikir kalau mereka akan mati karena AIDS beberapa tahun dari sekarang? HIV/AIDS ini belum ada obatnya sampai sekarang saudaraku semua.” Kali ini anak ibu Linge yang sudah lama merantau, mengeluarkan pendapatnya.
Suasana kembali hening. Tapi di sudut ruangan, terdengar suara bisik-bisik.
“Eleh Abang oya, cerak pelin si kul. We temas murip i nenggeri ni jema, kite isin pededopa. Sana nge ara manfaat si mah e keluarga nte?”
“Terus, kalau soal miskin jadi persoalan. Bapak kita kan masih ada. Ya tugas bapaklah untuk menafkahi adik-adik kita,” lanjutnya dengan lugu dan naifnya. Karena sudah lama tak tinggal di sana. Saudara mereka ini tak update situasi terbaru keluarganya.
“Iyoh abangni, bapaktu lah yang orang pertama yang setuju ibu diperkosa,” teriak anak yang tak setuju ibu diperkosa dengan wajah semakin merah menahan luapan amarahnya.
Mendengar itu. Si anak yang sudah lama merantau terduduk lemas. Lidahnya kelu tak bisa berkata apa-apa.
*Ditulis di atas kereta Jayakarta dalam perjalanan dari Jogja menuju Surabaya