Oleh : Fauzan Azima*
Bermula dari gerombolan tokoh membentuk “Komunitas Anti Gubernur incumbent.” Tertulis pada manifesto, dokumen suci atau AD/ART-nya, pertama, setiap anggota komunitas wajib berideologi “penuh kebencian” kepada gubernur yang sedang menjabat saat ini. Kedua, anggota komunitas wajib membuat dan mempublikasikan lewat media sosial paling kurang satu meme, caci maki, kritik dan sumpah serapah terhadap gubernur. Dan, ketiga, setiap anggota bersumpah menjalankan Protocol komunitas itu dengan rahasia dan terbuka, tergantung situasi dan kondisi.
Tiada hari yang sepi dari berita tentang menyalahkan gubernur. Seluruh kebijakannya dianggap salah. Bahkan kalau tidak ditemukan kesalahan, maka sasarannya adalah keluarga dan asal usul gubernur. Tidak berhenti di situ, media yang mereka kuasai juga memberi ruang selebar-lebarnya kepada orang-orang yang sekampung dengan gubernur untuk bicara tentang titik lemahnya. Sempurnalah “perjuangan” komunitas itu dalam menjalankan misi pembunuhan karakter terhadap gubernur incumbent.
Pada sisi lain, komunitas ini sedang menjalankan skenario memunculkan popularitas sosok Prado yang dicitrakan sangat pro kepada rakyat miskin. Prado diblow-up sebagai representasi dari perjuangan yang sangat peduli kepada Pemerlu Pelayanan Kesejahteraan Sosial (PPKS). Tidak jarang dalam pidato pimpinan komunitas itu menyetarakan Prado dengan tokoh-tokoh dunia, seperti Nelsen Mandela, Martin Luther King, Jr, Bahkan Sayyidina Umar Bin Khatab. Rakyatpun terpesona mendengar ceramah tokoh-tokoh komunitas itu.
Sesungguhnya, komunitas itu tidak serius memperjuangakan Prado sebagai gubernur untuk periode berikutnya. Mereka hanya bermaksud menjatuhkan gubernur incumbent. Akan tetapi kampanye yang masip dan terstruktur membuat rakyat kadung simpati dan cinta kepada Prado yang kian kharismatik. Mereka pun sangat terpaksa mencalonkan Prado pada pilkada berikutnya. Alhasil, Prado benar-benar sebagai pemenang dan sah menjadi gubernur.
Gerombolan tokoh yang tergabung dalam komunitas anti gubernur incumbent yang otomatis sebagai tim sukses tidak sadar bahwa Prado benar-benar pro rakyat miskin. Gubernur Prado pun mengeluarkan perintah tunggal: wajib pro rakyat miskin. Tokoh dan pengikut komunitas itu terbengong-bengong dengan instruksi tersebut karena tidak termasuk dalam cita-cita mereka yang semula hanya berpura-pura pro rakyat miskin untuk menjatuhkan gubernur incumbent. Dengan gubernur baru, mereka berharap, sejumlah proyek pembangunan mereka yang mengatur, kenyataannya Gubernur Prado menolak semua keinginan mereka.
Entah dari mana idenya, media sosial mengumumkan hasil pooling agar Gubernur Prado segera mendeklarasikan “Revolusi Pembangunan.” Atas desakan rakyat banyak, diintruksikanlah agar jalan-jalan raya dirusak untuk dibagi-bagiakan kepada rakyat miskin menjadi lahan sawah. Pesawat dilarang terbang. Semua yang tidak bisa dipakai oleh rakyat miskin dilarang. Kebijakan Gubernur Prado akhirnya membuat semua rakyat benar-benar miskin.
“Hari ini, semua rakyat negeri ini sudah setara, miskin semua. Percayalah! Kelaparan lebih baik daripada kekenyangan,” demikian pidato Gubernur Prado di atas reruntuhan Kantor Gubernur yang telah rata dengan tanah dan disambut dengan gemuruh tepuk tangan rakyat.
(Mendale, 12 Desember 2019)