Jatuhnya Benteng Pëparik (Bag 4) ; Pasukan Marsose

oleh

Oleh : Win Wan Nur*

“Manisee-Manisee
‘t is terlalu Manisee
Hari-hari naik gunung
‘t is terlalu Manisee
manise, manise tis hari
menghitung pohon Manisee-Manisee”

Suara nyanyian diiringi gitar yang datang dari sekumpulan pasukan pribumi yang duduk mengaso membuat van Daalen menolehkan kepalanya. Dia perhatikan, Kopral Leiwakabessy, salah seorang anggota pasukan asal Ambon, dikelilingi oleh rekan-rekannya dengan penuh kegembiraan menyanyikan lagu tersebut.

“‘t is terlalu Manisee
Biar susah satu gunung
Hantam saja, Manisee

Marsausee-Marsausee,
‘t is terlalu Marsausee,
Satu mati ganti sapuluh
‘t is terlalu Marsausee”

Si kopral Ambon itu terus bernyanyi. Van Daalen membiarkan saja, dia maklum kalau anggota pasukannya butuh merenggangkan syaraf-syarafnya yang tegang setelah melewati ekspedisi gila ini.

Untuk patroli ini mereka memang melewati medan yang gila. Dari Takengen, untuk menuju ke Bëlang Këjëren, mereka harus harus menyusuri daerah punggung gunung, dan setiap sampai di aliran sungai mereka harus menuruni jalan terjal lalu ketika tiba di seberang mereka harus mendaki tebing lagi. Belum lagi gundukan batu-batu karang serta batang-batang pohon hutan yang roboh membuat perjalanan jauh dari kata lancar. Itupun masih ditambah dengan pohon bambu dan rotan yang sudah tertutup lumut sehingga ketika tak sengaja terpegang ketika mencari pegangan saat mendaki tebing sungai itu, tak ayal seluruh telapak tangan tersengat duri. Tak heran kalau sekarang seluruh telapak tangan mereka dipenuhi duri.

Persoalan ini masih ditambah dengan pacat-pacat rakus yang tampa ampun menghisapi darah mereka yang meninggalkan rasa gatal yang sangat lama ketika dia sudah terlepas karena kekenyangan.

Sialnya lagi, orang Gayo yang dia jadikan penunjuk jalan malah sengaja membawa mereka melalui jalan yang sulit untuk menghambat perjalanan mereka.

Kelakuannya ini membuat van Daalen murka, sehingga ketika mereka akhirnya tiba di perkampungan Gayo Luës yang pertama, dia menyuruh anak buahnya untuk memotong tangan dan kaki si orang Gayo penunjuk jalan itu dan meninggalkannya begitu saja di tengah hutan.

“Supaya jadi pelajaran buat yang lain,” katanya.

Bagaimana tidak, akibat dari ulah si keparat bajingan itu. Para tenaga kerja paksa, anggota ekspedisi non tentara yang diambil dari narapidana para pelanggar hukum yang ditugaskan untuk membawa berbagai barang kebutuhan mereka ada yang sampai mati kelelahan.

Van Daalen paham belaka kalau setiap kali mereka beristirahat sejenak seperti ini. Ini merupakan kesempatan yang ditunggu-tunggu oleh seluruh anggota pasukannya, pada kesempatan inilah mereka akan melepaskan lelah. Van Daalen melihat ke arah pasukannya, beberapa di antara mereka ada yang duduk sambil merokok lintingan.

Hari ini moral pasukannya sedang tinggi. Kemenangan besar di benteng Pasir membuat mereka semua bersemangat sekali. Di samping dipicu oleh kemenangan besar itu, kemenangan di Pasir juga membuat mereka bisa menikmati makan enak lagi. Setelah berhari-hari mereka memakan umbi dan rebusan batang pisang muda yang dimakan dengan ikan asin bakar. Kemenangan di Pasir membuat mereka memiliki stok beras lagi.

Dengan begitu banyaknya rusa dan babi hutan di daerah ini, mereka sama sekali tidak kesulitan untuk makan daging.

Menyantap daging rusa yang dimasak dengan bumbu lengkap yang mereka peroleh di Pasir bersama nasi hangat, membuat energi pasukannya yang tadinya sudah melemah, bangkit dan bertambah berlipat-lipat kembali.

“Lapor komandan,” seru sebuah suara yang sangat dia kenali.

Van Daalen menoleh ke arah suara itu dan bangkit dari duduknya.

“Ya Letnan Letnan Scheepens, ” katanya. Dilihatnya sosok jangkung berwajah tirus berkulit putih yang sudah berwarna kecoklatan terbakar matahari itu sedikit berpeluh.

Prajurit ini bukanlah orang baru bagi van Daalen, dia sudah mengenalnya sejak mereka sama-sama bertugas di Divisi Pertama, stasiun Seulimum. Scheepens adalah satu di antara empat perwira eropa yang menjadi bawahannya saat itu. Seperti dirinya, Scheepens pun lahir di Hindia. Dia lahir di Makassar dan Scheepens lahir di Amboina. Bedanya, dirinya hanya separuh eropa karena ibunya berasal dari Hindia, sedangkan Scheepens kedua orangtuanya berasal dari eropa.

Sekarang Scheepens yang berumur 36 tahun sebenarnya sudah berpangkat kapten, tapi van Daalen masih sering lupa, memanggilnya letnan seperti pangkatnya yang lama.

“Sesuai perintah, tempat sudah disterilkan. Tak ada ancaman di sekitar sini,” lapornya.
“Baik, sekarang kamu panggil Letnan Ebbink dan Letnan Watrin untuk ikut dengan kita ke sana,” perintahnya.

“Oh ya…jangan lupa, kamu perintahkan juga si Bidin untuk membujuk Jamal, si raja Pëparik itu. Kalau kita bisa membuatnya tunduk tanpa harus berperang, kan tidak perlu menghabiskan energi. Kemudian kita juga tidak perlu repot menghadapi omongan para politisi liberal tak berguna yang selalu mencari-cari celah kesalahan kita berdasarkan imajinasi politik etisnya itu” lanjutnya.

“Siap komandan,” sahut Scheepens dan kemudian membalikkan badan.

Terkait : Jatuhnya Benteng Pëparik (Bagian 3) ; Kegalauan Sang Rëjë Ciq

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.