Oleh : Fauzan Azima*
“Besok pagi kita akan ngopi di Kota Meulaboh, atau saya akan syahid” tegas Teuku Umar kepada pasukannya menjelang penyerangan terhadap markas tentara Belanda di pantai barat Aceh. Begitu pentingnya minum kopi bagi orang Aceh di warung sehingga dalam suasana perangpun tetap menjadi agenda prioritas utama.
Walau situasi genting, kecanduan ngopi orang Aceh sulit dibendung. Bagi mereka tanpa kopi, tidak peradaban dan kebudayaan. Kopi telah menjadi darah dagingnya. Setiap pribadi kalau ditantang “satu kata” tentang kopi, masing-masing sudah punya jawaban unik.
Kota Banda Aceh sendiri bisa disebut “Kota seribu warung kopi” yang merupakan salah satu kota di dunia yang tiada tidurnya. Warung kopi buka 24 jam. Hampir tidak ada warung kopi yang sepi pelanggan. Wajarlah Kota Banda Aceh menjadi pasar lokal kopi potensial.
Sajian kopi arabika pada “coffee shop” di Kota Banda Aceh berasal dari olahan tangan dingin petani kopi di Aceh Tengah, Bener Meriah dan Gayo Lues. Ketiga kabupaten itu disebut “Dataran tinggi Gayo” sehingga kopinya juga dijuluki “kopi Gayo” yang sudah didaftarkan di Uni Eropa sebagai produk indikasi geografis dari Indonesia.
Pada kawasan produksi kopi arabika terbesar di Indonesia inilah saya dilahirkan, tepatnya pada 22 Mei 1972 di desa Panji Mulia II, Kecamatan Bukit, Kabupaten Bener Meriah. Saya anak sulung dari enam bersaudara. Ayah saya petani kopi bernama Sulaiman dan Ibu Rusmawati adalah seorang guru Sekolah Dasar yang juga mengajarkan murid-muridnya menanam dan memuliakan kopi di pekarangan halaman sekolah.
Desa kami terletak di kaki Gunung Geureudong dan Gunung Api Burni Telong dengan ketinggian 1200 meter dari permukaan laut. Tanahnya subur mengandung belerang dari letusan gunung api ratusan tahun lalu, unsur haranya melimpah dari luasan tutupan hutan yang masih padat. Udara yang dingin, terutama pada malam hari. Tentu semua itu sangat ideal untuk tanaman kopi arabika.
Allah SWT telah menjadikan kopi sebagai sumber rezeki bagi keluarga kami. Segala sesuatu bergantung pada ketersediaan kopi. Membangun rumah, membeli pakaian, makanan, kendaraan, rekreasi sebagian besar diusahakan dari kebun kopi keluarga seluas dua hektar. Pada waktu itu, ukuran kekayaan satu keluarga ditentukan berapa luas kebun kopi yang dimiliki.
Kearifan lokal mengajarkan, bubuk kopi menjadi obat bagi beberapa penyakit ringan, seperti sakit kepala, demam dan masuk angin. Bayi yang baru lahirpun diwajibkan minum kopi setakaran satu sendok teh agar tidak terserang penyakit step atau kejang. Ketika masih kecil, kopi sebagai pengganti imunisasi bagi kami.
Keluarga kami peminum dan penikmat kopi berat. ibu dan adik-adek perempuan saya juga teratur minum kopi. Bahkan kakek dan ayah saya bisa menghabiskan kopi rata-rata satu liter setiap harinya. Saya sendiri bisa pingsan rasanya kalau tidak ngopi. Sehingga saya bisa merasakan betapa menderitanya Teuku Umar tanpa kopi.
Ketika Pak Harto lengser dari kursi kepresidenan pada 21 Mei 1998, gerakan-gerakan pembebasan bangkit kembali, termasuk Gerakan Aceh Merdeka (GAM) mulai menunjukan eksistensinya. Saya bersama beberapa pemuda di kampung juga ikut serta angkat senjata menuntut kemerdekaan Aceh, lepas dari Pemerintahan Indonesia.
Peraturannya, setiap kombatan GAM dituntut sebagai pasukan berani mati. Kami menilai peraturan itu terlalu lemah. Sehingga beberapa anggota pasukan membuat kesepakatan tidak tertulis. Siapa saja anggota pasukan yang berani ngopi di kota dia berhak sebagai pemimpin dan dianggap sebagai pasukan elit.
Tidak semua pasukan cukup darah berani turun ke kota, apalagi ngopi di warung. Tindakan itu cukup memacu adrenalin karena setiap kampung ada pos TNI/POLRI. Belum lagi para milisi yang selalu patroli dari kampung ke kampung. Sedikit peluang pasukan GAM bisa turun ke kota.
Kalaupun pasukan turun ke kota akan terjadi banyak kemungkinan; perang terbuka, kalau aman akan menjadi seribu cerita di kalangan masyarakat dan bahkan pemilik warung dan keluarga-keluarga pasukan GAM bisa ditangkap kembali karena memberi peluang masuk kota dan dianggap bersekongkol dengan sparatis.
Ketika diberlakukan Darurat Militer di Aceh, pada 19 Mei 2003, pengerahan besar-besaran pasukan TNI/POLRI ke markas-markas GAM semakin intensif. Pasukan GAM terpaksa bergeser ke puncak-puncak gunung, kecuali yang memiliki mental baja yang berputar-putar di kebun kopi sekitar kampung.
Saya sendiri dengan beberapa pasukan sedang ngopi sambil nonton TV di daerah Alue Papeun, Kecamatan Nisam Antara, Aceh Utara pada saat Presiden Megawati mengumumkan “Pernyataan Perang” terhadap pasukan GAM dan anasirnya.
Pasukan yang berada di puncak gunung membangun propaganda seolah sedang nongkrong di warung kopi dengan tujuan agar semangat pasukan tidak runtuh. Begitulah hukum dalam situasi perang, tidak berdosa “berdusta” karena dianggap situasi sedang darurat.
“Kami siap menantang militer Indonesia meskipun setiap jengkal bumi Aceh ditanami bayonet” kalimat propaganda terkeren pada waktu itu. Phrase populer lainnya adalah “Sibak rukok teuk” atau sebatang rokok lagi Aceh akan Merdeka. Pasukan dan masyarakat Aceh larut tenggelam dengan propaganda itu seakan-akan sebelum bangun tidur pagi Aceh sudah merdeka.
Sejujurnya kami bukanlah pasukan berani ngopi seperti yang berlaku pada Teuku Umar ketika perang kemerdekaan. Waktu itu kami hanya terlanjur ngopi akibat ketidaktahuan bahwa darurat militer telah diberlakukan untuk Aceh. Kalau kami lebih awal mengetahuinya, mungkin kamilah pasukan pertama yang sampai di puncak Gunung Geureudong.
Kini Aceh telah aman, berlaku sejak ditandatanganinya perjanjian damai GAM-RI di kota Hilsinky, Finlandia pada 15 Agustus 2005. Bencana tsunami yang meluluhlantakan Aceh telah menyadarkan para pihak yang berkonflik untuk bersama-sama melakukan rehabilitasi dan rekonstruksi. Bagi kami pasukan, damai berarti bebas ngopi di warung tanpa khawatir dibayangi perang.
(Banda Aceh, 9 November 2019)