Panggung Sandiwara Dunia Politik

oleh
Ilustrasi. (ummi-online)

Oleh : Fauzan Azima*

Sebagai petunjuk dan pedoman hidup, berulang kali saya baca Al-Qur’an dan meneliti tentang Hadits, saya tidak menemukan ungkapan “Panggung sandiwara,” namun jika kita kembalikan pada kenyataan hidup hari ini, phrase tersebut sangat bisa dijadikan pegangan, terutama dalam hal politik.

“Panggung sandiwara” adalah lirik lagu ciptaan Ian Antono dan Taufik Ismail yang dinyanyikan oleh Achmad Albar bersama group musik Gob Bless. Nicky Astria juga sempat mempopulerkan lagu tersebut yang bait per baitnya sampai saat ini masih relevan dengan panggung perpolitikan yang begitu telanjang sifat kesandiwaraannya.

Adakah “Panggung sandiwara” bisa dikelompokan ke dalam ayat Qauniyah yang wujud dari Ciptaan Allah Subhanahu wata’ala karena juga merupakan realitas sosial sosial dan alam? Tentu para ahli agama lebih tepat menjelaskannya agar tidak menimbulkan fitnah di kemudian hari.

Sebagai “kitab” kisah perjalanan “Panggung sandiwara” perpolitikan negeri ini telah memberikan pembelajaran kepada kita bahwa dalam dunia politik yang abadi adalah kepentingan. Oleh karena itu kita sebagai “jama’ah politik” harus pandai-pandai membaca tanda-tanda zaman dengan menjauhkan diri dari kebencian kepada lawan politik, lagi-lagi karena semua permainan “Panggung sandiwara” sangat mudah ditebak endingnya.

Apalagi membaca wajah-wajah para politisi di Jakarta yang sangat pragmatis, jauh dari sifat idealis dan tidak ada yang mau tahan lapar, apalagi melakukan “uzlah” menjauhkan diri dari hingar bingarnya duniawi adalah mustahil, semustahil gajah bisa terbang.

Sosok tahan lapar, beruzlah dan rela mati demi mempertahankan keyakinannya telah lama tiada; Teungku Ilyas Leube, Abu Wahab Seulimum, dan banyak tokoh-tokoh Aceh yang patut menjadi teladan dalam hal keyakinan “Hari ini A, sampai kiamat tetap A” atau “tapeubut lage tapeugah atau tapeugah lage tapeubut” yang jarang kita temukan sosok seperti itu, jangankan di negeri lain, sekarang di Acehpun hampir tiada lagi.

Maklumlah, kita sendiri menyandang gelar generasi berpenyakit tidak tahu diri stadium III. Seperti beberapa telor ayam yang diaduk sehingga kita tidak tahu lagi berasal dari induk yang mana. Inilah keberhasilan Belanda sejak tahun 1920 merubah Bangsa Aceh menjadi “Bangsa hana tusoe droe” lagi walau secara de facto Aceh tidak pernah dijajah penuh, tetapi kerusakan dari segi “bathin” jauh lebih menyengsarakan karena menjauhkan kita dari Iman, Islam dan Ihsan.

Sepatutnya usai perang (15 Agustus 2005) Aceh sudah benar-benar kembali kepada kejayaan dalam hal tazkiatun nafsi karena telah kembali dari “mandi darah” yang merupakan satu-satunya obat untuk “tusoe droe” kembali.

Indikator tusoe droe atau kenal diri mengetahui dengan jelas jalannya cerita “Panggung sandiwara,” dari penulis naskah, sutradara, pemeran, skenarionya dan jalan ceritanya, bahkan sebelum ditayangkan. Hebatnya kita juga bisa menjadi sutradaranya; membuat peperangan antara dua kubu hanya untuk mengetahui kesetiaan prajurit.

Sayangnya, perang selama 32 tahun tidak menjadikan masa itu sebagai laboratorium perbaikan bathin, bahkan kesininya, karakter ke-Aceh-an yang konsisten terus tergerus dan cenderung tersedot oleh kuatnya magnet inkonsiten dan menjadi pengikut yang selama ini dicaci maki dan merendahkannya dengan stikma negatif yang kita sendiri sekarang menjadi penganutnya.

Hari ini, entah sadar atau tidak kita telah menjadi semut yang terinjak-injak ketika gajah berkelahi atau kita seperti melihat suami istri yang berperkara dan kita ikut-ikutan membuat blok. Satu pihak membela sang istri, di pihak lain membela sang suami. Kemudian suami istripun berdamai dan melanjutkan ceritanya di peraduan, sementara kita yang sudah terlanjur membela salah satunya dibuat terbengong-bengong.

Apapun yang terjadi layar “Panggung sandiwara” telah ditutup, lampu studio sudah dinyalakan sebagai isyarat penonton segera bubar. Cerita “Panggung sandiwara” dunia politik memang demikian, bagaimanapun bencinya, hancurnya, sumpah serapah, tipu menipu dan liciknya, akhirnya kita sebagai penonton harus ikhlas walaupun “Panggung sandiwaranya” tidak lebih menarik dari cerita novel roman picisan.

(Mendale, 23 Oktober 2019)

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.