Cendekiawan Bernafaskan Islam dan Bermental Iblis

oleh

Oleh: Husaini Muzakir Algayoni*

Dalam tulisan ini akan dibahas perbedaan orang yang mempunyai ilmu, disatu sisi orang yang punya ilmu memberi manfaat kepada orang lain dan disisi lain juga dengan ilmu yang ia miliki memberi mudharat kepada khalayak ramai. Ilmu memberi manfaat dan mudharat, dalam kajian filsafat disebut dengan aksiologi, suatu aliran filsafat yang membahas tentang nilai atau manfaat dari ilmu pengetahuan itu sendiri.

Ulil Albab dalam surat Ali-Imran ayat 190 dinamakan dengan cendekiawan yang bernafaskan Islam, yaitu orang-orang yang mempunyai akal, daya pikir dan daya tanggap yang peka, daya banding yang tajam, daya analisis yang tepat, dan daya cipta yang orisinil. Sementara menurut Kissenger, cendekiawan adalah “Mereka yang telah melibatkan diri, mereka berusaha untuk memperoleh ilmu pengetahuan yang cukup banyak.”

Adapun ciri-ciri cendekiawan yang bernafaskan Islam, yaitu: adanya keterbukaan, kesediaannya mendengarkan segala macam paham dan pendapat orang lain dengan tenang, tidak lekas naik pitam bila mendegar sesuatu yang tidak setuju dihatinya, dan menganalisisnya untuk memisahkan mana yang baik dan mana yang benar, dan diambil mana yang terbaik dari apa yang ditanggapinya. (Munir dan Sudarsono: 1994).

Dari uraian di atas dapat dipastikan bahwa cendekiawan bernafaskan Islam mempunyai wawasan yang luas, jalan berpikirnya maju, dinamis, dan tidak jumud. Cendekiawan seperti ini, memberi manfaat kepada orang lain dengan ilmu yang ia miliki dan menjadi lilin yang memberi cahaya di tengah kegelapan.

Sementara cendekiawan bermental iblis berangkat dari istilah bahasa Yunani Kuno “diabolos” yang berarti iblis, maka diabolisme berarti pemikiran, watak dan perilaku seperti iblis ataupun pengabdian kepadanya. Sementara Naquib al-Attas mengatakan bahwa “Kesalahan iblis bukan karena tak tahu atau tak berilmu, kesalahannya karena membangkang dan melawan perintah Tuhan.

Syamsuddin Arif dalam bulkunya “Orientalis dan Diabolisme Pemikiran” menyebutkan bahwa ciri-ciri cendekiawan bermental iblis, yaitu: selalu membangkang dan membantah, intelektual diabolic bersikap takabur (sombong, angkuh, congkak dan arogan), mengaburkan dan menyembunyikan kebenaran. Cendekiawan diabolic bukan tidak tahu mana yang benar dan mana yang salah. Namun sengaja memutarbalikkan data dan fakta. Yang batil dipoles dan dikemas sedemikian rupa sehingga tampak seolah-olah haq.

Sebaliknya yang haq digunting dan dipreteli sehingga kelihatan seperti batil ataupun dicampur aduk dua-duanya sehingga tidak jelas lagi beda antar yang benar dan yang salah. Strategi semacam ini memang sangat efektif untuk membuat orang lain bingung dan terkecoh.

Cendekiawan yang sombong memandang rendah orang lain dan melihat dirinya serba baik, sebagaimana suatu kisah diceritakan ada seorang ahli ibadah, bertahun-tahun mendekatkan diri kepada Tuhan dan suatu hari ia berkelana untuk berdakwah menyampaikan kebenaran agamanya.

Sampailah ia di kampung orang-orang ateis, ia berceramah tentang agama dan banyak warga tertarik sehingga warga setempat berubah menjadi manusia yang berbudi pekerti dan kehidupan yang religius.

Setahun kemudian si ahli ibadah berkelana kembali ke daerah lain, singgahlah ia di suatu kampung yang mana kampung tersebut warganya hidup dengan pergaulan bebas, berdiri aneka warung remang-remang dan kegiatan prostitusi sehingga si ahli ibadah merasa jijik.

Batinnya bergumam “Bagaimana bisa, manusia berbuat dosa di depan umum.” Di tengah gumamnya tersebut, tiba-tiba datang seorang perempuan cantik dengan dandanan yang cukup menggoda. Ia menghampiri si ahli ibadah tersebut dengan tujuan untuk bisa mengubah hidup yang bergelimang dosa menjadi bergelimang kebajikan. Ahli ibadah tersebut malah mengatakan “Ada apa kau datang kesini wahai wanita yang terkutuk, jangan mendekati aku wahai wanita kotor. Kamu tidak pantas mendekatiku.”

Wanita tersebut menangis tersedu menyesali nasibnya, mengapa niatan baiknya berbalas cacian?

Demikianlah jika kesombongan sudah masuk ke dalam hati. Ia akan memandang rendah orang lain, memandang hina orang lain dan melihat dirinya serba baik, serba suci dan pantas dihormati. Tidak ada orang pantas mendekatinya, kecuali memiliki level yang sama. (Cerita bisa baca di buku “Hidup Jangan Seperti Babi dan Kera, karya Abdillah Firmanzah Hasan).

Watak berpikir cendekiawan bermental iblis berasal dari kesombongan, keangkuhan, dan kejumudan berpikir, ketika mendapatkan satu kebenaran maka itulah satu-satunya kebenaran, tidak ada yang lain. Watak seperti ini juga menggambarkan bahwa memandang orang lain rendah (tidak terhormat) sehingga tidak pantas untuk didekati.
Belajar dari Abu Thalib dan Abu Lahab
Abu Thalib dan Abu Lahab merupakan paman dari Nabi Muhammad Saw dan keduanya sama-sama tidak mengikuti ajaran agama Islam. Abu Thalib, mengasuh dan membesarkan Nabi Muhammad Saw dari kecil, biarpun tidak masuk Islam, tetapi tetap memberikan perlindungan dan pembelaan kepada Nabi Muhammad Saw. Sementara Abu Lahab, menolak keras ajaran agama Islam.

Melihat sikap Abu Lahab dan Abu Thalib yang sama-sama tidak masuk Islam, menurut hemat penulis disinilah letak cara berpikir keduanya, Abu Lahab yang kolot dan sempit hanya melihat dari satu sudut pandang yaitu tidak melihat sisi-sisi kebaikan yang dibawa Rasulullah, menurut A. Syalabi, terdapat lima faktor yang menyebabkan masyarakat Quraisy menolak dakwah Nabi Muhammad Saw, salah satunya adalah saudagar-saudagar patung (berhala) memandang Islam sebagai penghalang rizki. Sementara Abu Thalib melihatnya dari sudut pandang yang berbeda. Dari sini, bisa kita mengambil pelajaran bahwa berpikir sempit tidaklah baik dalam kehidupan sosial, terlebih lagi para insan yang menuntut ilmu.

Dua sisi yang berbeda, orang yang mempunyai ilmu. Cendekiawan yang bernafaskan Islam akan selalu membuka ruang dalam ilmu pengetahuan, membawa kreativitas pemikiran, ide, dan gagasan serta mempunyai integritas sebagai seorang cendekiawan muslim. Apa pun ilmu yang digelutinya dapat memberi manfaat kepada khalayak ramai.

Sementara cendekiawan bermental iblis, dengan intelektual diabolicnya bersikap takabur (sombong, angkuh, congkak dan arogan).

Apapun profesi pekerjaan, baik itu sebagai guru, mahasiswa, petani, pedagang, dan lain sebagainya dengan ilmu yang dimiliki dapat memberi manfaat kepada orang lain, terkhusus untuk diri sendiri. Maka selama itu, kita adalah seorang cendekiawan muslim yang bernafaskan Islam. Semoga!

*Penulis, Kolumnis LintasGAYO.co, Mahasiswa Program Pasca Sarjana UIN Ar-Raniry, Prodi Ilmu Agama Islam (Konsentrasi Pemikiran Dalam Islam).

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.