Oleh : Fauzan Azima*
Sehari sebelum peringatan 14 tahun perjanjian damai GAM-RI, kita berduka atas berpulangnya ke Rahmatullah mantan anggota GAM Wilayah Linge, Teungku Sabardi alias Jenaka, semoga almarhum mendapat ampunan dari salah dan dosa serta mendapat tempat di surga bersama Baginda Nabi Muhammad SAW, dan kepada keluarga besar KPA (Komite Peralihan Aceh) untuk bersabar dalam duka yang sangat mendalam.
Teungku Sabardi adalah salah seorang anggota GAM yang masih sangat belia ketika kami bertemu beliau awal tahun 2000 di daerah Camp, Kecamatan Permata, Kabupaten Bener Meriah. Pada waktu itu, kalau bersekolah, beliau masih SD kelas V. Di tengah-tengah pasukan dewasa, beliau selalu menjadi bahan candaan karena berwajah imut, lucu, sok tahu, berani, jenaka dan sangat menghormati pimpinan. Siapapun yang berkenalan dengannya akan menjadi sahabat karena sikap empatinya kepada siapapun; baik kepada lawan, apalagi kawan.
Beliau tumbuh dewasa dalam peperangan. Tidak lekang dari ingatan kami perubahan tubuhnya dari masa anak-anak dalam peperangan hingga menjadi dewasa pada saat Aceh damai pada 15 Agustus 2005. Hampir semua peperangan besar di Gayo; Bener Meriah, Aceh Tengah, Gayo Lues, Aceh Tenggara, bahkan Tanah Karo beliau terlibat. Pantang baginya surut kalau perang sudah memanggilnya.
Teungku Sabardi memang berdarah pejuang. Ayahnya Suryadi alias Pawang juga salah satu pimpinan GAM Wilayah Linge dan salah seorang pamannya syahid dalam peperangan di daerah Kecamatan Permata, Kabupaten Bener Meriah. Kesetiaan dan kemampuannya dalam berperang tidak diragukan lagi.
Keterlibatan “anak-anak” dalam pasukan bukanlah restu dari pimpinan GAM, tetapi “diusirpun” beliau selalu hadir bahkan dimanapun pasukan bersembunyi beliau tahu dan waktu demi waktu akhirnya Jenaka menjadi salah seorang pasukan.
Pada saat pasukan Muallim Muzakkir Manaf beserta pasukan yang berjumlah 13 orang, termasuk Teungku Petrus (Fadhli Abdullah Adam) sementara berlindung di Bukit Rebol, Kecamatan Bener Kelipah, Kabupaten Bener Meriah antara Agustus sampai dengan Desember 2004, beliau menjadi pasukan pengawal Muallim dan menyediakan logistik.
Meskipun umurnya masih belia, selama “musim perang” antara tahun 2000 sampai dengan tahun 2005 Jenaka tidak pernah mengeluh. Dalam beberapa kasus, beliau justru menenangkan pasukan dewasa agar bersikap bijak dalam melihat persoalan karena itu saya sering menyebutnya, “Tubuhnya anak-anak tapi isinya orang tua.”
Seperti kehidupan mantan pasukan GAM Wilayah Linge lainnya, kehidupan Sabardi tidak berlebihan, bahkan rumahpun tiada. Hidup masih mengelana dari rumah sahabat ke rumah sahabat lainnya, tidak ada yang menolak kehadirannya karena beliau hadir sebagai keluarga sejati. Seluruh pendapatannya didekasikan untuk membantu orang-orang miskin, terutama mantan kombatan yang tidak memperoleh pembinaan sehingga kurang sejahtera.
Selamat jalan Teungku Sabardi, kami tidak akan pernah lupa kebersamaan kita dalam perang, duka dan lapar serta kebaikanmu yang insha Allah menjadi amalmu di akhirat akan selalu kami kenang. Hari ini, 14 tahun damai Aceh adalah awal kita tidak bersama memperingatinya. Sebagai sahabat maupun Ama hanya do’a yang bisa kami kirimkan agar sejatimu kelak mendapatkan surga. Amin Ya Allah bersama rahasia-Nya.
(Wilayah berdaulat, 15 Agustus 2019)
*Mantan Panglima GAM Wilayah Linge